Postingan

Menampilkan postingan dengan label Catatanku

lima menit tentangmu.

aku tak tahu apa yang ada di kepalamu. aku berusaha dengan keras mengisi kepalaku sendiri. kita hanya dua orang asing yang tak sengaja bertemu dan kamu tak mungkin bisa melangkah lebih dekat ke arahku. aku bukan siapa-siapa. tapi apa? setiap aku berpikir tentangmu, notifikasimu muncul. dua kata biasa saja yang membuat perutku terisi kupu-kupu. sudah makan? sebenarnya kamu menganggapku apa? sekali dua kali kamu lakukan itu, aku masih kokoh dengan pikiranku. kita bukan siapa-siapa, tak mungkin orang sepertimu menyukaiku. cerita tentangmu memang banyak ku dengar. seringkali dari mulutmu sendiri malah. aku yang sibuk menahan semuanya hanya bisa menimpali seadanya. aku tahu batasan diriku. sekarang cerita tentangmu sudah selesai. apa aku ada kesempatan untuk bisa lebih? tapi apa bisa? aku tak pernah sebanding dengan masa lalumu tapi aku tak selamanya aku bisa menahan semuanya.

aku menyukai hal yang rumit.

Hai, kamu! Apa kabar? Apa sudah ada kabar lain yang kau tunggu? Apa sudah ada hati lain yang mengisi kekosonganmu? Apa sudah ada yang mengingatkanmu untuk hal-hal remeh yang sering kau lupa? Apa sudah ada yang mendengarkan celotehmu? Apa sudah ada yang mengkhawatirkanmu sepanjang hari? Apa sudah ada yang gantikanku? Kuharap semua itu belum terjadi. Kuharap kamu masih sama seperti yang kukenal. Kuharap kamu merasakan juga apa yang aku rasa. Kuharap kamu baik-baik saja. Harapku terlalu tinggi padamu. Semua ekspektasiku runtuh ketika yang ku harap tak terjadi sama sekali. Aku masih tak apa-apa. Toh, aku terbiasa melewati semuanya sendirian. Sembuh, sepertinya jauh dari bayanganku. Aku malah tak pernah merasa se-sehat ini. Aku hanya membiasakan hidupku tanpa kehadiranmu dan semua berjalan seperti biasa walau kadang air mata yang menemani. Mengapa semua tak kuketahui sejak awal saja? Paling tidak, aku bisa menyiapkan hati untuk patah kembali. Ya, aku tetap akan melakukan seperti yang kemar

hidup yang begini-begini saja.

Gemericik kolam koi memenuhi telinga, sesekali suara decit burung ikut meramaikan isi kepala. Hembusan napas mulai terasa berat, pukul lima masih lumayan lama. Aku mulai bosan dengan rutinitas yang itu-itu saja. Pekerjaan yang sebenarnya diada-adakan. Seharian aku hanya memandangi jarum jam, berharap semua segera berakhir dan aku kembali ke liangku. Begitu terus sampai tak terasa sudah dua tahun aku disini. Jemariku semakin handal mengetik cerita, lidahku mulai lihai bersilat. Ilmu menghilang dan jurus mencuci tanganku semakin handal. Banyak orang menjadi panutanku dan banyak guru yang mengajariku. Tapi bukan itu semua yang ingin kudapatkan sebenarnya. Scroll sosial media menjadi salah satu jalan untuk menghabiskan waktu. Hingga satu hal yang mengganjal di hatiku dan terus berputar di benakku. Aku banyak tertinggal diantara yang lain. Handphoneku yang butut. Tasku yang tak semahal milik yang lain. Pakaianku yang itu-itu saja. Sepatuku yang tak pernah ganti. Saldo rekeningku yang tak pe

your going to be ok.

Isn't it crazy, how we can put so much effort into someone who don't have same energy? You just keep lying to yourself hoping it will get better but in reality it's just getting worst. You just denial with everything what you feel, what you watch, and what you do. Sometimes you feel happy just because he do the small thing to you like respond your chat quickly or keeping his promise to give you a call.  But in the other day, you realise that he do the same with the other too. That's a sign but you keep trying to hurt yourself. How stupid you are! When you getting tired, you wanna give up on that one person but in the end of the day you going back, keep thinking that everything will be okay and everything will be change.  He ain't worth those tears. You have to love yourself before you can love somebody else. Stop worrying about that one person who ain't puttin effort into you. You learned that hard way, they may be going through things and you wanna help but som

the last person I was thinking about before I go to bed.

Ini aku tulis untukmu yang namanya tak akan lagi aku sebut. Perjalanan kita akhirnya selesai setelah semuanya berjalan di tempat. Aku dan kamu yang tak berujung menjadi kita. Aku dan kamu yang akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan hidup masing-masing. Pertemuan kita seolah sudah diatur semesta. Semua terancang mudah seakan memang sudah jalannya. Tapi ternyata badai menghancurkan semuanya. Rasa yang tumbuh perlahan seolah hilang hanya semalam. Teriakan masih membekas di tenggorokan, sembab di mata masih membekas, dan dirimu sudah pergi dari dekapan. Aku dan kamu yang terlalu sibuk dengan dunia kita masing-masing tanpa ada yang sadar bibit curiga mulai tumbuh. Ia menjadi gulma di pohon yang kita tanam sejak lama. Semua resah membaur tanpa kejelasan yang padahal kita sudah tahu bagaimana cara untuk menjawabnya. Aku ikut andil memupuk luka untukku sendiri sedangkan dirimu punya tanggung jawab merawat lukaku. Jarak yang tadinya tak jadi masalah kini menjelma menjadi alasan mengap

another timeline, another life.

Setelah siang hari aku belagak kuat, malamku dihiasi hujan air mata tanpa ada tanda-tanda mendung sebelumnya. Pojok kamar lembab dan bantal tidurku menjadi saksi bisu. Semua yang tak bisa kukatakan meluap begitu saja. Hingga kadang aku lelah dan tak sadar pagi kembali datang dan aku versi yang lain muncul. Kukira itu semua karena beban pekerjaan yang tak ada hentinya di pabrik tahu bulat tapi nyatanya ketika pabrik sepi, aku tetap seperti itu. Lelapku enggan datang. Hanya ada aku dan lelehan kesedihan yang menemani. Aku masih berusaha mencerna semua yang terjadi. Mungkin aku terlalu berjarak dengan yang Kuasa. Obat yang lama tak kusentuh nyatanya malah kembali rutin ku jamah. Seminggu tak berdaya di dalam kamar membuatku semakin merasa tak punya siapa-siapa. Notifikasi handphone kuabaikan. Paling hanya ibu mess yang sesekali menyuruhku untuk makan atau satu dua orang teman yang mengirimiku makanan. Ya, hanya karena tak ada notifikasimu aku merasa tak punya siapa-siapa. Kukira aku sudah

orang hanya percaya dengan apa yang mereka lihat

Setelah semua yang terjadi, aku percaya kalau semua orang berwarna abu-abu. Tak ada dari mereka yang berwarna putih atau hitam setelah mereka membaur menjadi satu di sini. Mereka yang awalnya berwarna putih akan menjajal dunia hitam. Walau kadarnya berbeda, toh mereka akan menjadi keabuan. Sedang mereka yang berwarna hitam, tak mungkin selamanya hitam. Ada beberapa sisi yang masih berwarna putih, kembali lagi dengan kadar yang berbeda juga. Setiap sikap baik yang mereka lakukan berbumbu curiga. Tak tahu apa motifnya, pikiranku selalu menjadi negatif. Aku tak percaya ada ketulusan hati disetiap sikap yang mereka tunjukan. Pasti ada secuil maksud yang mereka inginkan. Aku sebenarnya tak ingin sikap ini mematikan langkahku lagi. Lama-kelamaan ini bisa menjadi racun untuk aku sendiri. Aku takut aku tertular sikap mereka yang selalu ada maksud ketika dekat dengan orang lain. Tapi bagaimana aku bisa membangun percayaku kalau tiap kali semua sudah siap harus dihancurkan dengan sikap mereka? H

perayaan patah hati.

Aroma solar, rokok, pop mie, dan air laut bercampur. Gemuruh suara mesin dan teriakan pedagang menjajakan dagangannya diselingi dengan suara Nadin yang tak lelah menemani. Barisan pulau, lampu kota yang berkedip malu, dan penumpang yang lalu lalang mencari posisi terbaik meramaikan pemandangan. Semua berdendang indah selaras dengan gerak tenang ombak Selat Sunda. Gerimis kembali menyapa. Alam seolah menyemarakkan perayaan patah hatiku. Aku turut senang, kamu menemukan belahan jiwamu. Orang yang selama ini kamu perjuangkan dan tunggu. Tak ada yang salah dengan ini semua. Hanya ada aku dan ekspektasiku yang menenggelamkanku dalam kepedihan yang berlarut. Paling tidak dengan kehadiranmu yang sebentar, aku menjadi tahu kalau aku tidak sepenuhnya mati rasa. Masih ada sisa-sisa perasaan yang sementara ini kembali kosong. Sembari aku membersihkan serpihan lukaku, ijinkan aku merayakan kesedihanku agar nanti ketika seseorang datang, aku tak melukainya dengan puing peninggalanmu. Sekali lagi se

perjalanan mencari rumah.

Badai yang katanya datang menghantam tak kunjung mereda. Semua sibuk mengitariku. Tak hanya satu atau dua, masalah datang beramai-ramai. Semua berotasi seolah aku sumber dari segala sumber. Air mata sudah tak mampu melegakan pikiran. Aku kembali lagi menguji lambung lewat air perjamuan. Apa semua akan reda setelahnya? Paling tidak aku bisa melupakan semuanya sesaat. Entah ini sarapan atau makan malam, semua jadi tak ada bedanya buatku. Sayup suaramu jauh di sambungan telepon tapi aku terus menguatkan iman kalau dirimu bukan milikku dan aku bukan siapa-siapa bagimu. Semua yang ada nyatanya fana. Aku hanya seseorang yang mampir di teras rumahmu dan kamu menyapaku dengan ramah. Aku yang tak pernah dianggap menjadi merasa besar kepala dan menganggapmu hanya seperti itu kepadaku. Setelah pintu terbuka, aku melihat deretan fotomu bersama wanita lain dan aku langsung tersadar. Ternyata kamu bukan rumah yang aku cari. Aku sudah tak terlalu bersedih bukan karena ini bukan kali pertama, bukan ka

maaf, aku belum bisa menjadi rumah yang nyaman untuk diriku sendiri.

Hari ini sebenarnya hari yang sudahku tunggu. Tapi entah mengapa semua yang tadinya menggebu menjadi melambat. Satu persatu menghilang. Semua yang tadinya menghadang ikut melawan. Aku meringkuk di kamar seorang teman. Aku terpaksa mengungsi karena banyak hal yang aku takutkan. Aku tak berani menatap dan datang ke medan perang. Nyaliku tak sekeras suaraku. Aku lebih memilih bersembunyi ketimbang menghadapinya (mungkin) untuk yang terakhir. Semua orang akan kalah dalam perang. Saat ini aku sudah tak peduli siapa yang kalah atau yang salah. Aku hanya ingin menata hati agar aku tak jatuh terlalu jauh lagi. Semua yang berantakan sudah tak bisa lagi aku satukan. Semua yang hilang tak bisa kembali kalau memang bukan aku rumahnya. Semua yang kusentuh tak ada lagi rasanya. Semua yang kugenggam malah pergi menjauh. Melihat mukanya lagi setelah sekian lama tak bertemu serasa menguji adrenalin. Seluruh tubuh mengejang seolah tahu hatiku. Degub jantung tak mau berhenti. Seharian sibuk memperhatika

menyapa yang lama terabaikan.

Aku baru menyadari perubahan besar yang ada di diriku barusan. Mungkin kalau tidak ada seorang teman ini aku tidak menyadarinya sama sekali. Atau bisa jadi aku akan terus melakukannya hingga sadar ketika semua semakin jauh. Aku sudah tidak pernah lagi ada waktu untuk menanyakan kabar tentang diriku sendiri, menikmati secangkir kopi sendiri, bersepeda keliling kota sendiri, atau sekedar belanja sendirian. Siang hariku sibuk mengerti keadaan orang lain sedang malamku sudah terlalu lelah bahkan untuk membasuh lukaku sendiri. Tawaku masih rutin terdengar, terutama ketika matahari masih menyingsing. Ketika malam mendekap, aku dan pojok lembab kamar kesepian menanti matahari datang. Dalam senyap, air mata menetes. Ia tak memberiku ruang untuk beristirahat. Isi kepalaku berputar memikirkan yang mungkin tak memikirkanku. Aku sering merasa kesepian dan tak nyaman berlama-lama sendiri. Kadang aku merasa ketika aku butuh teman, mereka tak benar-benar hadir. Namun sebaliknya ketika mereka butuh, a

merayu Tuhan

Apa salahnya menaruh harapan ke Tuhan. Toh, Dia sendiri yang bilang Matius 7:7 (TB) "Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu." Tuhan, aku tak tahu lagi harus bagaimana aku merayu-Mu. Entah caraku yang salah, entah aku yang tidak bisa mendengar-Mu, atau memang Engkau belum menjawab doaku yang satu ini. Aku tahu kalau Engkau sudah tahu apa yang aku mau sebelum aku merayu-Mu lewat tulisan yang bisa saja dianggap banyak basa-basi menurut orang lain. Tapi tak tahu apa, ada sesuatu yang menggerakan hatiku untuk menyelesaikan tulisan ini. Tuhan, jalan yang aku lewati memang belum jauh, masih banyak hal yang belum aku lalui, coba, atau bahkan aku ketahui. Tapi jujur aku sudah lelah berpura kuat, menahan air mata, dan berjalan sendirian. Aku sudah capek menghadapi dunia ini sendirian. Aku lelah hanya menjadi pendengar cerita-cerita romansa orang lain. Aku lelah hanya menjadi penonton kisah cinta mereka. Jauh

tangis yang kusimpan sendiri.

Sampai sekarang aku masih belajar bagaimana cara meluapkan sedihku. Aku tak pernah menangis di depan seseorang. Aku tak tahu mengapa air mataku malu pada matahari sampai ia harus lelah menanti gulita. Aku tak mengerti mengapa ia begitu kuat tertahan padahal sesak di dada sudah tak sanggup di rasa. Hatiku koyak tercabik keadaan tapi mulutku selalu bilang tak apa. Entah mengapa sulit berkata yang sejujurnya tentang perasaan. Aku tak terbiasa bicara apa adanya tentang apa yang aku rasa. Suara berisik yang hanya ada di kepala tak bisa aku redam. Semua seakan berputar di situ saja. Siangku lelah dengan kesibukan tapi malamku diteror dengan rasa kesepian. Rutinitas, menu makanan, dan topik pembicaraan yang mulai membosankan menjadi bahan bakar overthinking ku. Sulit untuk melepas topengku satu-persatu. Ikatan mereka terlalu kuat di bibirku. Aku langsung merasa bersalah ketika lupa mengenakannya sebelum bangun dari tempat tidur. Aku tak berani melepaskannya barang sebentar sebelum semua orang

semoga yang tak kunjung sampai.

Aku mencoba sekuat tenaga menghentikan segala imajinasi liar. Detak jantung semakin kencang tiap kali notifikasi berbunyi belum lagi getaran ponsel yang semakin membuatku gemetar. Tanda-tanda ini muncul kembali. Semua yang sudah pernah kukubur kembali bangkit dari liangnya. Ambang warasku samar. Jam tidurku semakin kacau. Hari yang biasanya kulalui biasa saja menjadi mencekam. Suasana damai di kantor namun tidak dengan isi kepala yang meracau. Aku takut halusinasi ini berubah menjadi ekspektasi yang tak direstui semesta dan membuatku semakin menggila. Di sela gelisah, aku tetap mengalihkannya untuk bekerja. Dalam kebisuan, aku berusaha menata hati yang tak tahu apa maunya. Mungkin sebentar lagi ini semua akan selesai. Mungkin besok aku sudah kembali atau mulai terbiasa. Tiap hembusan nafas selalu terasa salah. Tiap gerak selalu ada mata yang mengintai. Aku ingin segera lepas dari perasaan ini. Rasa yang tidak bisa aku bilang sedih atau marah. Rasa yang  kadang bisa mendorong emosiku un

ada hari yang patut disyukuri.

Aku tahu kalau namaku dijual agar dia tak berlama-lama dan tidak berakhir yang bukan-bukan disana. Tapi aku bersyukur, ternyata tanpa aku minta dan sadari, semua yang aku panjatkan dipenuhi dan ditambah oleh pencipta. Orang-orang sepeduli itu denganku. Masih ada namaku di hati mereka. Selama ini aku sadar diri kalau aku bukan siapa-siapa. Aku juga tahu kalau aku orang baru dan antah berantah yang datang di sepertiga akhir proyek. Aku minoritas dan aku tidak berekspektasi kalau mereka akan menerima aku sebegininya. Aku terlanjur membuat batas yang jauh. Aku sering menghilang dan bersikap bodo amat kepada mereka. Aku terlalu takut untuk dekat karena aku cukup tahu aku siapa.  Sampai aku perlu seseorang diantara mereka. Entah darimana keberanian itu timbul. Mulutku yang jarang memohon pertolongan, lancar saja meminta. Aku perlu kehadirannya agar aku merasa nyaman duduk di sana seharian. Entah dia hanya tidur atau bermain handphone karena aku hanya butuh keberadaannya. Lepas itu semua, kem

bolehkah aku bercerita?

Aku tahu sedihku tak sesedih milikmu, keluargaku tak sesibuk keluargamu, kisah cintaku tak serumit dirimu, atau traumaku tak sedalam traumamu. Tapi apa kau pernah mendengarkan ceritaku? Lalu, darimana kamu menilainya? Bagaimana kamu membandingkannya?  I don't know what happen to me. But I feel this is the right time to explode. This is the time i must tell you my opinion. So please listen to me carefully because aku hanya akan mengatakannya sekali saja.  Kamu yang mengaku sangat tahu aku dan aku percaya itu. Sekian lama aku hanya diam dan mengikuti alur ceritamu, sekarang aku sudah merasa tak sejalan dan semoga semua akan tetap baik-baik saja setelah aku mengatakan apa yang ada di kepalaku. Aku tahu, kamu juga lelah. Kamu juga berat menjalani ini semua. Tapi yang harus kamu tahu, aku juga merasakannya. Bukan hanya kamu. Aku seperti kembali ke cerita yang lalu. Berada di pusaran badai yang sama. Keduanya saling diam dan aku yang di dalamnya dipaksa memilih untuk ikut yang mana. Tapi

read this when you sad.

Enjoy your feeling! Nikmati itu selagi kamu bisa bersedih. Menangislah selagi air matamu ada, kalau hal itu bisa melegakan hatimu. Apalagi beberapa hari lalu, sesak di dadamu sulit mereda karena kamu tak bisa menangis. Jadi nikmati dan syukuri apa yang kamu rasakan hari ini. Tapi yang perlu kamu ingat, masih banyak hal yang patut membuatmu bangga atas segala hal yang sudah kamu lalui. Masih banyak orang yang sayang dan peduli padamu walau cara mereka untuk mengungkapkannya berbeda-beda. Masih banyak tempat yang belum kamu kunjungi. Masih banyak barang yang pengen kamu beli. Sudahi sedihmu malam ini, ya. Ga usah kebanyakan mikir omongan orang lain, mereka kalau ngomong juga nggak pake mikir kok dan memang ga semua orang perlu kamu baikin. Kamu ga bisa bikin semua orang bahagia, kamu ga akan mampu.  Sudah, besok kamu harus kembali berperang. Kembali menjadi kamu yang bodo amat dan sok misterius. Jadi kamu yang mulai berani membenci orang dan gak peduli sama asumsi orang lain yang nggak b

sepiring nasi goreng untukku sendiri.

Biasanya aku tak mengapa duduk sendirian menghabiskan sepiring nasi goreng. Tak papa, menikmati secangkir kopi sendiri. Berani berjalan keluar sendirian kemana-mana. Tapi aku yang hari ini sedang tak ingin sendirian. Aku yang hari ini butuh seorang teman bercerita.  Aku sedang lelah mendengar cerita yang sebenarnya membebaniku. Cerita cinta sepasang manusia yang sebenarnya hanya terhalang oleh gengsi dan ego masing-masing. Bertanya harus berbuat apa namun sebenarnya ia hanya butuh validasi kalau apa yang ia perbuat selalu benar. Kisah hubungan orang tua dan anak yang tak selalu baik-baik saja. Ataupun pengalaman hidup yang sebenarnya lebih pahit dari yang aku simpan. Semua beradu seolah yang paling gelap. Apa mereka mau bertanya bagaimana dengan ceritaku? Aku yang hari ini tak sedang ingin mendengar. Aku yang hari ini sedang berada di puncak egoku hanya ingin di dengar oleh seseorang. Namun semua seakan menghindar ketika egoku di ujung lidah. Tapi aku masih tak bisa meminta. Semua keta

masih ada yang peduli aku?

Hari ini katanya kamu punya teman. Tapi kamu malah makan sendirian di tempat biasa kita membicarakan kehidupan. Kamu yang jarang meminta untuk ditemani makan, mengecek ombak untuk pertama kalinya. Kamu menahan napas, berharap jawaban sesuai yang ada di kepala. Ternyata masih ada yang menganggapmu sebagai teman. Label itu tidak bertepuk sebelah tangan. Kamu masih tenang sepanjang perjalanan pulang. Paling tidak nanti malam aku tidak merasa sendiri. Kamu yang sudah mengangkasa tidak ingin terjatuh. Kamu mengikat erat semua yang bisa kamu genggam. Namun semakin erat kamu menggenggamnya, semua berhamburan seperti pasir. Semua pergi satu-persatu.  Kamu tak tahu mengapa ketika aku yang punya suara semua senyap. Namun ketika kamu hanya menjadi pengikut, semua berjalan lancar begitu saja. Apa ini hanya perasaanmu saja. Kamu masuk ke dalam grup tetapi tidak satu circle. Duduk sendirian di tengah keramaian kedai kopi ini seperti mengingatkan kalau pada akhirnya, kamu akan sendirian. Tak peduli s

aku belum bisa membencimu.

Hal yang sedari dulu aku hindari malah terjadi dengan manusia yang tak pernah kuduga sepertimu. Iya, dulu aku paling benci dengan hal yang berbau cinta. Seolah semua yang bersinggungannya akan menghancurkanku perlahan suatu hari nanti. Tak ada yang kekal dengan cinta kecuali deritanya.  Banyak pertanyaan kupendam sendiri. Apa semua makhluk diciptakan berpasangan? Kalau benar mengapa rasio perbandingan lelaki dan perempuan tak seimbang? Mengapa manusia harus berpasangan bila bisa mendapatkan bahagianya sendiri? Itu yang terus aku patri dalam kepala sampai orang aneh sepertimu melepasnya paksa.  Lucu ya, aku luluh dengan orang sepertimu. Seseorang yang biasa saja namun pesona bagai pangeran yang memberiku harapan, buaian cinta, dan masa depan. Kamu terlalu mudah untuk dikagumi baik lewat tindakan sederhana yang selalu berhasil membuatku terheran, tutur katamu yang tajam namun selalu benar, atau wajahmu yang tak terlalu tampan tapi juga tak pernah membosankan. Semua yang ada dalammu hampi