Postingan

Menampilkan postingan dengan label Catatanku

banyak yang mereka tak sadari.

Mereka menudingku dingin, tak peduli, tanpa perasaan. Kata-kata itu sering dilempar dengan mudah, seolah mereka tahu seluruh isi diriku hanya dari permukaan. Tapi tak ada yang bertanya kenapa aku menjadi seperti ini. Tak ada yang benar-benar mau melihat ke dalam—melihat bahwa di balik sikapku yang tampak tak peduli, ada kelelahan yang terlalu sering dilupakan. Aku tidak memilih jadi seperti ini; aku bertahan. Bicara enteng aku nir-empati tapi mereka tak sadar kalau itu mereka yang ciptakan. Dulu aku mencoba peduli. Aku merasa, aku menangis, aku berusaha memahami semua orang, meskipun seringkali tak dimengerti balik. Tapi kepedulianku tak pernah cukup. Empatiku dibalas tuntutan. Kebaikanku disambut pengkhianatan. Lama-lama aku belajar menyimpan air mata, membungkam empati, dan mengganti pelukan dengan jarak. Bukan karena aku tak bisa merasa, tapi karena merasa terlalu banyak pernah hampir menghancurkanku. Mereka bilang aku berubah. Tapi mereka tak sadar bahwa mereka juga bagian dari pe...

new chapter of my life.

Gambar
Rasanya masih aneh bisa di posisi sekarang ini. Berdiri bersama orang-orang yang jauh dari ekspektasiku. Disini aku makin merasa "kecil" secara ilmu apalagi melihat belakang nama mereka yang sudah panjang. Apalah aku yang dari dulu yang penting hadir, cari ijasah, laku buat kerja. Berbeda dengan mereka yang dari public speakingnya saja beda level jauh denganku. Apa semua yang sudah di pertaruhkan sepadan dengan apa yang aku dapat sekarang? Aku masih belum bisa menjawab ini semua. Aku masih mempertanyakan kapasitasku sehingga bisa minimal sejajar dengan mereka yang ada disini. Orang-orang yang benar memberikan support, percaya itu. Tapi di hati kecilku kadang meraung tak percaya diri. Semoga semua yang terjadi ini bisa aku lalui tanpa ada badai-badai yang mengamuk.

ketika manusia bodoh berkumpul

Gambar
Sebenarnya obrolan ini sering terjadi diantara kami. Terakhir menghabiskan waktu 6 jam lebih untuk saling berkabar. Obrolan yang awal mula hanya saling menanyakan kabar berujung saling adu nasib dan menertawakan kebodohan kami masing-masing. Seusai long weekend, ia bercerita panjang tentang hts-nya. Bukan untuk yang pertama kali karena jujur saja aku sudah cukup muak untuk mendengarkannya. Dua orang yang saling menyayangi tapi tak ada yang berani untuk melangkah. Ya, itulah premisnya. Kisah cinta semua orang terdengar mulus di telingaku. Rasa cinta tumbuh begitu saja dan mereka melenggang ke hubungan yang lebih jauh. Halangannya paling mbak-mbak lc dan jarak. Tidak ada terhalang agama yang berbeda, restu orang tua, atau adat. Terlihat mudah tapi aku merasa sulit untuk menjalaninya. Cerita yang sudah orang lain alami bisa jadi pelajaran berharga buatku. Awal mula aku merasa tak punya value apa-apa sehingga orang lain perlu memperjuangkanku. Tapi lama kelamaan setelah bertemu...

saat itu tiba.

Aku tak asing dengan situasi ini. Dua orang perempuan yang saling bicara tanpa ada rasa tak enak dan yang ditutupi. Semua mengalir begitu saja tanpa ada basa-basi kita bisa tahu bagaimana suasana hati lawan bicara kita. Tanpa sentuhan tapi setiap kata yang keluar dari mulut kita benar-benar didengarkan terlebih dahulu baru opini keras yang menampar dilontarkan namun tak ada sakit hati atau apapun itu. Dulu setiap Mak Wah datang, ibu akan selalu begadang di malam pertama. Bukan untuk mengerjakan sesuatu tapi mereka terus bicara tanpa henti. Meski sudah berbaring di atas kasur dan berbeda kamar, suara mereka masih terdengar semalaman. Aku kadang tak paham apa yang mereka bicarakan. Kadang mereka bicara tentang tingkah aneh tetangga mereka dulu, mengenang orang-orang yang mereka kenal, atau tentang apapun itu sampai salah satu diantara mereka tertidur. Esok harinya, dimanapun ada ibuk disitu juga pasti ada Mak Wah yang masih dengan ceritanya atau sebaliknya. Dalam hatiku, apa aku bisa sep...

semua karena bacotmu yang jahat.

"Janji ga marah?" "Iya, emang kenapa dulu tapi?" Aku hanya tertawa mendengar cerita dari Ibuk. Bingung saja harus merespon bagaimana. Apa aku perlu mengirim kue ke rumahmu untuk ucapan terima kasih? Atau aku harus bagaimana?  Gimana aku bisa marah? Katamu aku bisa kesana karena kamu memintakan doa ke 'orang pintar'. Terus, bagaimana dengan doa orang-orang yang memang tulus mendoakanku tanpa aku minta? Bagaimana dengan usaha belajarku siang dan malam sampai aku mengurangi waktu tidur, scroll, dan nongkrongku? Bagaimana dengan kursus online dan try out berbayar yang kuusahakan agar hidupku lebih baik dari hari ini? Apa Tuhan hanya mendengar doa dari 'orang pintar' mu itu saja?  Tapi kalau di tarik mundur jauh ke belakang, apa yang bisa aku capai sampai sekarang ini memang karena bacotmu yang jahat. Omonganmu memang jadi bahan bakarku untuk hidup lebih baik darimu tanpa meminta bantuan dari orang lain. Hinaanmu jadi semangatku untuk belajar lebih giat, ...

the romantic part of my life is just beginning.

Aku duduk di coffeeshop yang baristanya sudah hafal pesananku. Tanpa banyak kata, aku membayar dan duduk di tempat biasanya. Usai menelepon, aku memutar album baru Hindia yang belom aku dengarkan semuanya. Walau puasa, tempat ini tetap ramai dengan orang-orang sibuk yang mengadakan meeting di luar kantor. Tak lama hujan turun. Aku hanya bisa mendengarkan suara Baskara, samar rintik hujan dan omongan tak jelas orang-orang yang mengomongkan topik yang menurut mereka penting. Detik itu aku merasa seperti di dalam film. Dibayanganku, aku seperti Bella Swan yang sedang duduk di depan jendela besar. Kamera berputar mengelilingiku, menangkap ekspresiku yang sebenarnya biasa saja tapi tak tahu detik itu aku merasa senang saja. Speed diperlambat sekian milidetik. Soundtrack hindia, everything you are sayup mulai terdengar. The romantic part of my life is just beginning . Satu persatu doaku tembus ke langit. Aku takut perayaan ini terlalu cepat. Aku takut salah menangkap perasaanmu. Aku takut p...

semua yang kulihat seperti film fiksi yang tidak benaran terjadi.

Aku kembali dari perjalanan yang pernah kubayangkan tapi tak pernah aku harapkan datang secepat ini. Malam itu semua berjalan seperti biasa. Video call dari orang rumah menemani makan malamku. Aku ingat hari itu aku gofood ayam madura dari kantor yang sempat aku tawarkan kepadamu yang sudah terbaring lemah. Namun aku tak pernah tahu kalau itu makanan terakhir yang aku tawarkan kepadamu. Kamu mungkin sudah sadar akan ada hari ini sebelumnya namun sikapku masih saja dingin tak tahu apa-apa. Sehari sebelum Natal sampai aku kembali dari libur Tahun Baru Islam sikapku masih acuh tak acuh kepadamu. Syukurnya, aku masih sempat membelikan kurma terakhir untukmu dan semangkuk bubur Ta-wan yang sudah kamu minta sebelum kamu sampai di Semarang. Ibu bahkan sudah mewanti-wanti untuk menuruti semua pintamu agar tak ada penyesalan bila ini menjadi permintaan terakhirmu. Ternyata yang dibilang Ibu, benar terjadi. Semua seperti mimpi yang sampai sekarang masih belum aku cerna dengan baik. Perasaanku ya...

apa ini bahagia yang sebenarnya aku cari atau aku bahagia karena melihat mereka bahagia?

Malam-malam setelah pengumuman pra sanggah, pikiranku malah berkelana entah kemana. Sekian lama aku menantikan namaku ada di peringkat teratas tapi setelah terjadi aku malah meragu. Apa ini benar-benar yang aku mau? Apa aku akan bahagia menjalaninya? Perjalanan ini sudah kumulai sedekade lalu. Tahun demi tahun aku hanya bisa menelan kecewa. Usaha yang aku lakukan, doa yang aku panjatkan, dan harapan orang tua yang setinggi langit seolah hancur ketika pengumuman akhir berkumandang. Jujur, aku tak tahu apa yang sebenarnya harus ku perbuat. Sedari awal, aku hanya mengikuti semua sabdanya, "Semua akan baik sampai kamu mati jika kamu berada disana." Aku tak bisa melawan. Aku menjadikan ini event tahunan yang harus aku lalui walau akan berakhir dengan kekecewaan mereka. Lambat laun aku mulai terbiasa. Aku mulai merasa kecewa mereka hanya sementara dan kemudian aku melanjutkan hidup yang aku pilih sendiri. Pikirku aku akan melalui ini lima kali lagi. Lalu aku bisa menggambar sesuatu...

selalu ada cerita tentangmu dan namamu yang selalu ada di belakangku.

Seandainya Bapak tahu, ini adalah cerita tentang kita. Cerita yang kebanyakan orang tidak tahu atau bisa saja Bapak tidak pernah tahu juga. Sepanjang aku hidup tiga puluh tahun ini sepertinya tak sampai setengahnya aku bersamamu. Kita seperti sebuah obyek yang sedang bercermin. Beberapa hal kita memang mirip. Gengsi kita terlalu tinggi ya, Pak tapi kita malu untuk mengakuinya. Keras kepala kita sama, rasanya tak ada yang mengalahkannya. Cuma manusia-manusia yang dengan kadar sabarnya luar biasa yang bisa mengerti itu. Aku tahu Bapak sayang aku, begitupun aku tapi cara komunikasi kita memang berbeda. Aku dengan nadaku yang meledak-ledak dan Bapak dengan mode senyapnya.  Dulu aku sering berujar kalau aku bisa memilih, aku lebih ingin jadi keponakanmu bukan jadi anakmu seperti sekarang. Aku tarik ucapanku itu ya, Pak. Sepertinya jadi keponakanmu jauh lebih tak enak karena harus membenci anak-anakmu yang terlalu memelukmu erat. Belum lagi mereka tak bisa benar-benar memilikimu. Walau k...

apa aku boleh bahagia?

Disaat orang lain terlihat bahagia dengan hidupnya, aku malah semakin sesak dengan apa yang sedang kujalani. Sejujurnya semua pertanyaan yang mereka tanyakan juga sedang aku tanyakan ke diriku sendiri. Aku juga ingin seperti mereka, punya teman bercerita, punya keluarga kecil yang selalu tertawa bersama. Tapi kalau memang hal-hal itu belum waktunya atau bahkan tak bisa aku miliki, aku bisa apa? Sulit buatku untuk percaya lagi ke seseorang. Sejak aku bisa memahami apa itu ditinggalkan, semua terasa tak ada yang benar-benar bisa melekat. Apalagi semua yang ada di muka bumi ini ada masanya masing-masing. Buatku membuka hati tidak semudah apa yang mereka katakan. Meskipun dia sudah bersamaku dan punya label milikku, tak ada jaminan kalau dia tidak akan meninggalkanku. Aku sudah mencobanya berulang kali, yang awalnya sangat percaya diri bisa membuka diri, membuka hati, membuka kisah baru, yang ada aku malah semakin tenggelam di pikiranku sendiri. Luka yang kukira sudah mulai sembuh nyatanya...

perjalanan (kembali) mencari rumah

Badai kembali datang. Aku yang sadar kakiku penuh lumpur berlari menerjang badai ke teras di ujung jalan yang gelap. Temaram lampu kuning yang terkadang berkedip menjadi satu-satunya hiasan di teras yang penuh debu. Aku segera membersihkan kakiku dari debu sebelum menginjakan kaki ke lantai teras berlapis kayu coklat tua. Pemandangan ini seperti tak asing buatku tapi aku yang sudah terlalu lelah tak menghiraukannya. Usai kakiku bersih, aku duduk di teras itu. Debunya belum terlalu tebal, mungkin belum terlalu lama di tinggalkan. Tapi rumput di halaman depan sudah mulai meninggi. Pot bunga yang berjajar di pinggir teras juga berantakan. Tak terasa hujan mulai rintik. Dari kejauhan cahaya putih datang menghampiri. Sepertinya pemilik rumah datang. Ia turun dari mobil bagusnya. Payung hitam menutup setengah wajahnya sehingga aku tak terlalu melihat wajahnya. Aku sudah menyiapkan senyum dan menyusun permohonan maaf untuknya. Benar, belum sempat aku berucap wajahnya nampak dari balik payung....

aku dan keruwetan kepalaku.

Bukan kamu orang pertama yang mengomentariku seperti itu. Telingaku sudah biasa menerimanya. Mulutku juga hanya bisa terkatup. Aku memilih untuk tidak melawan karena memang begitu adanya. Ruwet. Aku terbiasa terlihat baik-baik saja, gampang mengumbar senyum, tertawa tiap guyon receh yang orang lontarkan. Pokoknya aku bisa bersikap asyik ke semua orang. Aku seorang pendengar yang baik. Apa saja masalahmu mau dari percintaan, orang tua, perekonomian, sampai politik aku siap mendengar. Setiap kali kamu menelepon, aku akan angkat sekalipun aku berada di tengah badai. Kalaupun aku terlewat, aku akan segera meneleponmu balik atau mengirim pesan agar kamu tak kepikiran. Tapi, mungkin cerita tentangku akan sangat sedikit. Semua yang berenang di kepalaku terlalu sulit untuk kuterjemahkan. Setiap kata yang mau kuucap seakan percuma. Aku tak pernah melihat kalian antusias mendengarkan ceritaku. Entah karena lidahku yang belibet atau memang ceritaku tak sebanding dengan milikmu. Kadang aku juga me...

aku tolol, ya.

Ga tau lagi kenapa kepalaku penuh dengan kamu. Padahal setelah pertemuan sebelumnya aku sudah berjanji untuk tidak memikirkanmu dan menghilang. Tapi kamu menghancurkan seenaknya. Semua hal yang kulakukan kemarin seolah percuma. Kamu tahu aku. Mulutku selalu sulit untuk menolak ajakanmu apalagi kalau sudah ada namamu di notifikasiku. Beberapa hari ini aku menunggu notifikasi darimu lagi. Aku tolol, ya. Aku juga ga tau kenapa aku melakukannya. Semua terjadi begitu saja. Aku tahu diri. Aku sadar posisi. Tapi kalau memang kamu yang aku suka, aku bisa apa? Iya, kamu sudah ada dia. Aku tahu tembok kita juga terlalu tinggi. Semua tak mungkin terjadi. Tapi beri aku waktu untuk melepaskan semuanya perlahan. Semua terlalu cepat, sampai aku tak sempat untuk mencernanya. Di pikiranku, aku yang memang tidak pantas untuk menerima kebaikanmu. Aku memang tidak layak untuk mencicipi bahagia dari orang lain. Sampai aku mengira kalau kamu orang yang aku tunggu untuk melepas dahagaku. Sebentar kamu menena...

tidak semua harus menjadi sesuatu.

"Banyak-banyak terima kasih Tuhan buat berkat-Mu yang terus ada sampai sekarang. Meskipun sempat aku ragu akan keberadaanku, aku percaya perjalanan ke tempat ini akan buat pengalaman yang lebih baik daripada hari ini." Enggak tahu kenapa bisa berdoa kayak gitu pas bermalam di Baduy Dalam. Seharian jalan kaki menikmati ciptaan Tuhan seharusnya aku capek dan langsung tidur tapi kayaknya suasana bikin aku mikir jauh lagi. Hari ini terlalu banyak ilmu baru yang masuk ke otak ini. Perjalanan yang sebenernya sudah lama aku pengen ini punya banyak hal yang harus mulai aku lakukan. Baduy sebenarnya punya banyak potensi buat jadi tempat wisata yang punya ciri khasnya. Masyarakat bisa kok jadi sama kayak masyarat luar lainnya. Nyatanya pemerintah setempat juga sudah hadir buat mereka. Tapi mereka menolaknya dengan halus. Mereka memilih hidup sederhana seperti ajaran yang mereka yakini. Pilihan mereka justru yang membuat mereka terlihat berbeda dengan yang lainnya. Sampai di Baduy Dalam...

belum ada cerita tentangku.

Semalaman aku mencari kesalahan apa sampai aku berada di titik ini. Sepertinya sudah cukup buatku untuk selalu mengerti orang lain. Sudah cukup untuk selalu menyenangkan hati mereka. Sudah cukup untuk menuruti kata mereka. Aku tak sampai hati mengatakan kalau aku muak dengan cerita kalian. Aku tak pernah bisa bilang kalau aku pun pernah berada di titik yang lebih rendah dari kalian walau tampilanku haha-hihi setiap hari. Aku tak bisa meminta tolong karena aku diam saja selalu salah. Aku terbiasa tidak dianggap, sehingga aku akan diam saja sampai kalian yang bertanya. Aku terbiasa tak didengar sehingga tiap kalian minta ku bercerita, aku tak pernah bisa. Wajar saja kalau kalian kira aku bisu. Aku tak berhak menuntut karena aku tahu aku bukan siapa-siapa. Kembali ku mengingat sebab mulutku ini terkunci. Mungkin aku tak mau mengiba, mungkin aku tak suka orang tahu siapa aku sebenarnya, atau mungkin aku sudah terbiasa untuk tidak bercerita. Aku kembali menggali semua dosa yang pernah kulak...

gambar seorang anak perempuan.

Seorang anak perempuan sedang menggambar sebuah rumah. Tak muluk-muluk yang ia ganbar dengan pensil hitamnya. Tangan mungilnya mulai menarik garis yang tentu saja tak serapi bila ia menggunakan penggaris. Ia memulai membuat garis horisontal yang membagi kertas itu menjadi dua bagian. Lalu ia membuat dua garis vertikal diatasnya. Garis itu sejajar, tak terlalu panjang sampai membagi bagian atas garis horisontalnya. Jaraknya pun cukup dekat. Diatas kedua garis vertikal tersebut, ia membuat segitiga yang tak terlalu tinggi. Kemudian ia menghias isi persegi tersebut dengan persegi lain dengan satu berukuran lumayan besar dan empat lagi yang berhimpit dengan ukuran yang lebih kecil. Tak lupa ia menggambar beberapa tanaman rumput perdu dan pepohonan di samping kanan kiri gambarnya. Anak perempuan itu tak terlalu suka mewarnai. Ia membiarkan gambarnya berwarna hitam putih. Ia hanya memulas pensil warna hijau di samping kanan kiri dan bawah gambarnya. Di bagian atas gambarnya, ia memulaskan wa...

episode mengagumimu sudah selesai.

Aku berada di tengah percakapan makan siang bersama beberapa teman yang kamu kenal. Kemudian wallpaper handphoneku berubah menjadi foto profilmu. Beberapa teman sempat ikut melirik dan membaca nama lengkapmu yang tertera di layar.  "Posisi?" tanyamu begitu aku mengangkat panggilanmu. Kamu masih dengan pertanyaan yang sama sejak awal kita berteman. Aku hanya menjawab singkat, "Bekasi." "Ngapain?" "Dolanlah. Nyapo?" "Reti rak?" Password dari semua intro cerita pun sudah kamu ucap. Aku yang tadinya biasa saja jadi antusias. Namun mengingat banyak mata dan telinga yang mengintai aku belagak tak terlalu senang. "Dan terjadi lagi." "Apane, pak?" "Ga jadi, nanti sore wae. Dah." singkat, padat, dan mengundang pertanyaan. Itulah kamu dari awal kukenal. Aku kembali melanjutkan kegiatanku hari itu. Tak penasaran, tapi aku cukup tahu diri. Apalagi posisiku sekarang tak berada di dekatmu lagi. Beberapa hari kemudian kam...

sekalipun aku menghilang, kalian tidak akan menyadarinya.

Aku tak tahu apa yang dibicarakan di belakangku. Omongan miring, tegak lurus atau bisa saja diagonal tentangku. Aku biasanya bodo amat. Peduli setan dengan omongan mereka. Toh tak membuat rekening tabunganku berkurang. Tapi akhir-akhir ini banyak hal yang baru aku sadari. Porsi cerita tentangku memang sedikit. Aku sadar diri kalau mau sesulit apa kisahku, pasti kalian akan menganggap kalau milik kalian yang lebih sulit because you only see the good side of me dan memang hanya itu yang ingin aku tunjukan saat itu. Lama-kelamaan, bibir yang terus tersenyum dan telinga yang selalu mendengar ini lelah. Walau aku bisa menyembunyikannya, sampai kapan aku bisa menahannya? Beberapa kali aku mengemis untuk meminjam telingamu. Tak apa hanya sebentar yang penting aku bisa lega setelah mengeluarkan semua yang lama tertahan. Sesekali aku juga menyelipkan ceritaku di tengah ceritamu yang selalu terdengar lebih menarik. Sampai aku hafal silsilah nenek moyangmu dan aku mengenal seisi duniamu tanpa ka...

maaf aku lupa dengan doaku sendiri.

Kadang aku cuma butuh tahu tentang apa yang aku rasakan saat ini sebenarnya memang benar atau hanya asumsiku sendiri saja. Aku memang tak berani untuk mengungkapkannya tapi aku merasa kalau dia yang aku sasar sadar akan apa yang aku rasakan. Aku tahu dia memang sepeka itu tapi apa benar dia benar sadar atau ini masih jadi asumsiku saja? Tapi pertemuan hari ini membuat aku menyimpulkan kalau dia sadar sehingga dia bisa bercerita seperti itu. Dia secara tidak langsung mengatakan alasan mengapa tidak bisa ada kita yang sebenarnya aku juga sudah tahu. Kisah ini terdengar rumit namun kalau dirunut sejak awal sebenarnya hanya dua orang yang kebetulan saling terikat karena pemikiran yang mirip yang dari awal tidak bisa bersatu karena beberapa hal yang memang tak bisa dipaksakan. Mungkin ini salah satu doaku yang terjawab namun kebetulan aku sudah lupa dengan doaku sendiri. Tapi setidaknya ini jawaban dari doa wajibku, jauhkanlah kami daripada yang jahat. Bisa jadi dia masuk kategori 'yang...

the last chapter in this place. finally i'm done.

Akhirnya perjalanan di tempat ini mencapai titik. Walau tak sesuai harapan, paling tidak semesta masih memberiku hal-hal baik yang mengiringi. Ini sebagian jawaban dari doaku dan sebagian lagi keinginan orang-orang yang menganggapku bukan apa-apa. Tapi tak apa, aku tetap merasa menang karena bukan aku yang menyerah namun keadaan yang memaksaku untuk pergi. Aku paham betul siapa aku dan bagaimana caranya aku bisa sampai ke titik ini, jadi aku bersyukur bisa ada di sini, di tengah keramaian tanpa istirahat yang seiring waktu meredup karena badai. Sedari awal aku sudah tahu kalau perpisahan ini akan terjadi tapi aku tak tahu kalau aku yang akan meninggalkan mereka, orang-orang yang ternyata memperhatikan dengan caranya masing-masing. Awalnya pun aku hanya ingin membubuhi koma di cerita ini. Aku sudah nyaman dengan semua yang ada, orang-orang yang sudah membuatku capek untuk heran, tempat nongkrong yang itu-itu saja, dan cuaca kota yang berubah tergantung moodnya. Namun memang tak ada yang...