Postingan

Menampilkan postingan dengan label Catatannya

untuk pahlawan yang namanya tersemat di ujung namaku.

Gambar
Bapak, Jarak menjadi musuh kita sedari dulu. Masa sekolah dasarku sempat menjadi tak berwarna karena ketidakhadiranmu. Tak ada foto bersamamu seusai aku pentas menari. Tak ada riuh tepuk tanganmu selepas aku beratraksi. Tak ada gemuruh tawamu menonton aku berlomba baca puisi. Tak ada pelukmu usai aku bersedih kalah lomba menulis. Bahkan tak ada tanda tanganmu di buku raporku. Hadirmu hanya kudapat melalui secarik surat yang rutin yang kau kirim di akhir bulan. Lewat secarik surat, kita mengenal dan memahami perasaan. Lewat tulisan, kau menyampaikan kasih yang ingin kau curahkan. Bukan hanya petuah yang menggurui tetapi juga obrolan yang menghangatkan. Lewat sana pula aku merasakan kasihmu yang nyata. Bapak, Aku tahu jarak menghalangi pelukmu untukku. Namun jarak tak cukup kuat untuk menghalangimu menjadi pahlawanku. Bapak tetap jadi lelaki pertama di dunia yang mencintaiku. Hingga menjadi yang utama dalam doaku. Puluhan surat yang aku kumpulkan kemarin telah menggunung. Sama tingginya

semangkuk wedang ronde.

Gambar

Dear Tante Lina: Panggil Aku, Please!

Badanku terbujur kaku jiwaku melayang-layang menunggu panggilan dari seseorang yang entah dimana dan siapa. Sehari, dua hari, seminggu, sebulan berlalu begitu saja. Tak ada kabar darimu sama sekali. Kolong plafon kamarku ini jadi saksi bisu. Enam bulan usai pesta pora atas prosesi pemindahan temali dari kiri ke kanan yang memakan waktu dan biaya yang tak sedikit berbanding terbalik dengan apa yang dapat kulakukan sekarang. "Nanti kalau prosesnya sudah selesai, kami hubungi via telepon atau e-mail. Ada yang mau ditanyakan lagi?" Senyum penuh misteri dipertontonkan olehmu kala itu. Aku hanya dapat membalasnya, "Sudah cukup." Aku merapikan kemeja merah mudaku, bergegas menyambar jabat tanganmu, dan meninggalkan ruangan bernuansa putih itu. Sepertinya bukan pertanda baik kalau dilihat dari ekspresimu tadi, sudahlah tunggu saja. "Semoga ini harinya." doaku setiap kaliku membuka mata. Semilir sepoi surgawi berhembus. "Iya, firasatku hari ini. Semog

perihal Jaya.

Gambar
Terinspirasi dari calon kantor baru, berharap banyak disana. Semoga awet dan tahan lama. Amin. Tadinya karya ini buat meramaikan raws festival tapi ditengah jalan, terseok-seok. Akhirnya ya udah. Berisi penggalan cerita perihal spesimen yang diberi nama Jaya dalam menjumpai ketaksaan dunia. Tak hanya mengangkat kegamangan hati, masih ada kisah lain yang mungkin bisa menjadi rhema. Tentang bagaimana ia jungkir balik melunasi tagihan kebutuhan, representasi rezim yang membiarkan kewajaran, ranah keluarga yang mengandung air mata, dan perkara hati yang sejatinya tak ingin di intervensi. Selamat datang di krisis seperempat abad. Imajinasi pada kesucian dunia akan berubah total karena jadi dewasa itu tak enak. Tak hanya raga yang berontak, pikiran diperkosa paksa peradaban, serta jiwa harus bertahan dijajah kebutuhan. Problematika hidup semakin bertambah. Dulu berharap jadi besar mudah, sekarang sudah tak relevan. Perlahan ilusi fatamorgana disingkap realita. Jaya, tak pernah mengira semes

Berita Kehilangan

Gambar
Kepulangan Jendra memang akhir dari hidupnya tapi hal itu pula yang diamini masyarakat sebagai pertanda agar lahir kembalinya reformasi setelah lama dikorupsi oleh para elit yang duduk nyaman di kursi dewan. Tak ada tangis air mata yang membanjiri tubuh kaku Jendra, bahkan dari sang ibunda. Beliau hanya sibuk merapal doa untuk kepergian sang buah hati tercinta. Almamater kebanggaan Jendra tergantung di dinding ruang keluarga kediamannya. Noda memerah masih membekas di bagian dada, juga di ingatan  "Buk, Jendra berangkat!" suara teriakan terakhir Jendra dari teras rumah masih terngiang di telinga. Ia sudah siap menggeber motor bebeknya menuju meeting point yang disebar luaskan sejak malam sebelumnya. Tak lupa jas identitas kampus ia masukan kedalam tas punggungnya. Ibu Dewi—ibu Jendra, tak memiliki pertanda buruk apapun mengenai kepergian Jendra. Pagi itu ia hanya mengingatkan Jendra untuk pulang tak terlalu larut malam. Jendra mencium tangan Ibunya. Mimiknya tak m

Renjani dan Psikotik Senja

Gambar
Langit sedang murka, warna darah yang menakutkan tanpa ampun mencabik keindahan langit biru. Siluet mesra dua insan tergambar jelas di bibir pantai. Keduanya saling peluk, cium, dan bergenggaman tangan. Adu tawa dan senyum mereka pertontonkan kepada senja. Hati bahagia Renjani jauh dari ekspektasi. Cekung di kedua pipi chubby nya berubah menjadi nestapa walau cincin emas bermata putih tetap menghias jari manisnya. "Diam sejenak agar aku bisa menikmati sore bersamamu. Jangan bergerak barang sejengkalpun! Tetaplah disana!" Cairan bening mengalir dari sudut-sudut netra Renjani. Bibirnya bungkam. Seluruh tubuhnya beku. Tiap rintih senyap malah menjadi bumerang baginya. "Kehadiranku tak pernah ada yang mengharapkan. Termasuk kamu." Suara parau seorang pria ditambah bebunyian lonceng yang menguar dari balik pintu merah di sudut ruangan menambah kengerian. Birunya langit mendadak sirna. Hangatnya matahari perlahan pudar. Sejuk angin berubah dingin

Oliv.

"Pertemanan itu bukan kayak rumus fisika atau matematika yang satu tambah satu sama dengan dua dan semua orang bakal agree hasilnya. Lo ngertiin gue dong. Kaku banget kayak kanebo kering lo!" seru Oliv, tepat di telinga kananku. Aku pun hanya diam merunduk tak berdaya. Entah mengapa, lidahku kelu bila bersamanya. Menurutku, apapun yang ia pinta serasa titah seorang ratu yang selalu aku laksanakan. Namun, selalu ada ragu dalam diri saat hendak mengungkapkan rasa yang telah lama mengendap di hati. Bagaimanapun, aku tak ingin kehilangan sahabat terbaik yang sudah dihadiahkan semesta. Olivia. Dia orang yang mengetahuiku sampai akar termurni dan tanpa diduga, dan harus kuakui kalau aku jatuh cinta padanya. Dia adalah saksi hidup kenakalanku yang kadang terasa tak masuk akal jika ditilik lagi hari ini sejarahnya. Dialah yang paling tahu keisenganku, bau khas seragamku yang terpanggang matahari karena belum kenal parfum yang wangi. "Liv, gue suka sama lo," ucapku dengan

Secarik Kertas di Akhir Bulan

Bagaimana kepala bisa pergi tanpa anggota tubuh yang lain. Aku kepala, kamu tubuhnya, dan anak-anak, sepasang kaki dan tangan yang selalu menopangku. Kita harus saling membantu dan bekerja sama. —Bapak. "Kalau gitu, aku sendiri yang pergi. Kamu di rumah jaga anak - anak. Biar mereka dapat pendidikan yang baik di Jawa. Aku jauh cuma badannya, pikiran sama jiwa masih ada di sini, sama kamu, sama anak - anak." Bapak berpamitan kepada Ibuk dan kami berempat untuk yang terakhir kalinya di Pelabuhan Tanjung Mas Semarang. Menjelang kepergiannya, Mbak Eka selalu menangis, selalu minta tidur dengan bapak. Berbeda dengan aku, Arya, dan Nabil, sikap kami biasa saja saat itu. Seolah tak mengerti atau mungkin ada rasa tidak peduli dengan Bapak. Semarang, akhir tahun 2001. Ini menjadi awal dimana Ibuk dipaksa mengasuh kami sendirian. Seperti petir di siang bolong, Bapak mendapat Surat Keputusan kalau ia harus pindah ke Pontianak beberapa bulan lagi. Waktu itu aku mas