Berita Kehilangan

Kepulangan Jendra memang akhir dari hidupnya tapi hal itu pula yang diamini masyarakat sebagai pertanda agar lahir kembalinya reformasi setelah lama dikorupsi oleh para elit yang duduk nyaman di kursi dewan. Tak ada tangis air mata yang membanjiri tubuh kaku Jendra, bahkan dari sang ibunda. Beliau hanya sibuk merapal doa untuk kepergian sang buah hati tercinta. Almamater kebanggaan Jendra tergantung di dinding ruang keluarga kediamannya. Noda memerah masih membekas di bagian dada, juga di ingatan 

"Buk, Jendra berangkat!" suara teriakan terakhir Jendra dari teras rumah masih terngiang di telinga. Ia sudah siap menggeber motor bebeknya menuju meeting point yang disebar luaskan sejak malam sebelumnya. Tak lupa jas identitas kampus ia masukan kedalam tas punggungnya. Ibu Dewi—ibu Jendra, tak memiliki pertanda buruk apapun mengenai kepergian Jendra. Pagi itu ia hanya mengingatkan Jendra untuk pulang tak terlalu larut malam.

Jendra mencium tangan Ibunya. Mimiknya tak menunjukan kejanggalan. Jam tidurnya yang tersita oleh urusan kampus tercermin dari kantong mata yang kian menghitam. Kaos hitam polos kesayangan, Jendra kenakan.

Sebagai mahasiswa jurusan hukum, Jendra aktif mengawasi kinerja rezim sekarang. Ia sering buka suara mengenai legislasi yang dikeluarkan anggota dewan. Tak hanya yang mengundang kontroversi, Jendra juga menitikberatkan substansi di dalamnya. Tak segan ia sering berdebat dengan dosen mengenai kebijaksanaan pemerintah yang sekiranya tak berpihak pada rakyat. Tak konsisten dengan janji politik, katanya.

"Pokoknya besok kita turun ke jalan! Ini bukan semata karena retorika demi negara. Ini benar karena panggilan jiwa." seru Jendra.

Beberapa kawan yang setuju akan aspirasinya bersorak. Moderator yang memimpin pertemuan tersebut berusaha menenangkan massa. Ia tahu akan kalah suara dengan Jendra yang notabene seorang aktivis yang cakap dan tak asal ngomong, semua pasti berlandaskan alasan yang logis dan relevan. Manuver Jendra sebagai aktivis di kampus juga tak main-main, ia sering mengikuti berbagai gerakan kepemudaan yang sensitif akan perjuangan melawan HAM.

"Logistik sudah siap semua, Zein?" tanya Jendra pada kawan seperjuangannya. Zein mengangguk penuh keyakinan. "Masih ada tambahan lagi nanti. Jam makan siang kita bongkar. Kampus sebelah juga bawa masing-masing. Cukuplah kalau buat orang kita sendiri." jawabnya.

"Jangan bergantung sama bantuan orang lain. Kita harus siapin amunisi buat perang sendiri. Medis gimana?"

"Udah, ada sepuluh paket kita siapin. Udah ada list relawan yang mau bantu juga. Mereka siap perang di lokasi. Beberapa lagi on the way."

"Oke. Aman ya?"

Zein mengacungkan kedua jempolnya. Senyum lebar menghiasi wajah Jendra. Ia nampak puas dengan apa yang sudah dipersiapkan. Kertas karton bertuliskan petisi juga sudah dikantongi Jendra. Tinggal tunggu waktu pertunjukan.

Jendra berbaris di barisan paling depan. Ia membawa toa untuk membakar semangat kawan-kawan lain yang juga ikut dalam gerakan. Ia naik ke mimbar yang dibawa dari ruang himpunan. Lagu-lagu kebangsaan dinyanyikan. Tak lupa doa mereka panjatkan. Tujuh tuntutan gerakan mahasiswa, siang itu dibacakan.

"Jangan mau gerakan ini ditunggangi! Gerakan ini untuk menuntut reformasi bukan menurunkan Jokowi! Ingat inti petisi!" teriak Jendra ketika mendengar seruan mahasiswa keluar dari intisarinya.

"Komitmen parlemen telah lama mati! Anggotanya tak lagi bersinergi! Hidup mahasiswa! Hidup mahasiswa! Hidup mahasiswa!" pekiknya diikuti ribuan mahasiswa lain yang memakai atribut berbagai kampus. Suara lantang yang kini mulai langka akhirnya mengudara dan terpecah di langit Indonesia. Gerakan dari kaum intelektual yang tak akan digerus jaman.

Ketika sore menjelang, Jendra dan Zein tengah beristirahat sejenak di pinggir jalan. Zein hanya mengangguk-angguk tanpa kata menanggapi ocehan Jendra. Ia sudah cukup lelah sedari tadi menjerit meminta reformasi tak dikorupsi. 

"Zein, besok pagi kamu ke rumah ya! Bawakan semua barangku yang ada di loker himpunan, kasih ke ibuku!" perintah Jendra.

"Kenapa nggak bawa sendiri? Nanti malam aku antar mampir kampus."

"Sudah, kamu nurut saja. Nanti malam sudah tak sempat."

Jendra masih tak berhenti bicara. Ia kini memberikan aspirasinya kepada Zein, "Representasi negara sudah membiarkan pewajaran. Gerakan mahasiswa sebesar ini, entah didengar atau tidak. Pemerintah udah tutup mata, tutup telinga soal keadilan."

"Kan sudah ada media yang ikut andil besar dalam gerakan ini, Ndra. Seharian timeline, headline, berita di televisi, internet, sosial media cuma gerakan ini isinya. Masih kurang?" jawab Zein.

"Kamu tahu, dua belas tahun aksi kamisan berlangsung buat cari keadilan. Banyak aktivis sembilan delapan yang entah mati atau hilang kemana, cuman sekali masuk ke istana. Nihil hasilnya. Mau media gembar-gembor sekeras apa kalau pemerintah pura-pura buta dan tuli ya, percuma. Ditambah lagi, aku takut gerakan ini ditunggangi, nanti aktivis dikriminalisasi, dan bisa-bisa jurnalis dibungkam."

Zein menarik napas panjang. Benar juga perkataan Jendra. Tak salah kalau dia jadi pemimpin orasi gerakan mahasiswa. Baru beberapa menit duduk bersama, Zein terasa dicuci otaknya. 

"Gerakan serasa sia-sia kalau penumpang gelap ikut-ikutan. Belum lagi penguasa yang terus membela diri dan merasa manusia dewa yang selalu benar. Belum lagi pasti ada upaya terselubung pemerintah untuk menggembosi aksi kita. Masa konsolidasi massa kurang lama." tambah Jendra.

"Susah kalau lawan konfrontasinya Jendra. Sudah pasti salah langkah. Kamu gantiin mereka di parlemen aja besok!" canda Zein.

"Enggak! Melenggang ke Senayan bukan langkah untuk jadi corong aspirasi masyarakat. Masih ada kepentingan kelompok yang harus didahulukan di atas kepentingan rakyat. Belum mahar politiknya yang luar biasa besar. Mau nggak korupsi darimana?"

"Bener juga kamu, Ndra. Pantas mereka ngiler kalau bahas anggaran."


"Kalau ada yang besok hilang, bilang ke keluarga mereka untuk memaafkan dan merelakan. Sebar berita kehilangan ke pelosok negeri. Dia akan jadi sejarah baru di negeri ini. Namanya akan sama abadinya dengan reformasi yang masih sekedar janji."

Petang menjelang, suasana di depan gedung dewan berubah jadi ricuh. Kepulan gas air mata mengepung segerombolan mahasiswa yang terus bersuara. Aparat memukul mundur massa yang rusuh. Tembakan peluru karet tak berhenti dilesatkan.

Zein kehilangan jejak Jendra. Padahal sejak pagi mereka selalu kompak berdua. Dering ponsel Ibu Dewi berkumandang. Beberapa dari kawan Jendra yang menanyakan posisi Jendra. Ibu Dewi sempat merasa gundah. Firasatnya mulai tak enak. Tak ada yang dapat ia lakukan. Lantunan doa tak berhenti ia panjatkan. "Semoga selamat." ujarnya.

Zein menyelusuri tenda tim medis sekitar lokasi satu-persatu. Tampak beberapa mahasiswa yang mengikuti gerakan ini terluka. Beberapa terluka ringan seperti lecet, goresan, memar akibat terpeleset atau terjatuh. Beberapa yang terluka berat segera dilarikan ke rumah sakit terdekat.

Baku hantam aparat dan mahasiswa tak dapat dihindarkan. Beberapa provokator diamankan. Mereka dianggap sebagai dalang terjadinya kerusuhan. Zein tak dapat melapor ke pihak berwajib atas hilangnya Jendra. Prosedur bilang satu kali dua puluh empat jam.

Zein tak tenang. Ia kalang kabut mencari keberadaan kawannya. Malam semakin larut, kondisi semakin membabi buta. Aparat tak segan menembakkan water canon ke arah mahasiswa. Alasannya sederhana, memukul mundur massa.

"Jendra dimana, Zein?" tanya Ibu Dewi khawatir.

Dari ujung sambungan, Zein menjawabnya, "Masih Zein usahakan cari. Zein dan kawan-kawan bagi tugas untuk cari Jendra ke rumah sakit rujukan. Nanti Zein kasih kabar tante. Tante di rumah saja."

Mahasiswa lari tunggang langgang menghindari pukulan. Aparat bersenjata sweeping di jalanan Senayan. Gerakan pecah menjadi kerusuhan yang membuahkan korban jiwa. Semakin malam, suasana semakin memanas.

Tak hanya water canon, aparat menebas mahasiswa dengan gas air mata. Aksi saling lempar bom molotov terjadi. Aparat merapatkan barisan. Massa kocar-kacir menyelamatkan dirinya. Merah putih tetap berkibar.

Zein terkena luka bakar di kaki kirinya. Ia harus dilarikan ke rumah sakit terdekat. Upayanya mencari Jendra harus berhenti sejenak. Beberapa kawan yang ia hubungi belum menemukan titik terang akan keberadaan Jendra.

Berita yang ditunggu akhirnya tiba. Pagi-pagi buta, sebuah mobil berhenti di muka rumah. Ibu Dewi yang sendirian memberanikan diri melongok melalui jendela. Sedan berwarna kelabu milik aparat terparkir di balik gerbang. Ibu Dewi segera beranjak.

Dua orang berseragam menyerahkan barang-barang yang Ibu Dewi yakin benar milik Jendra. Mereka memberikan sepucuk surat dari rumah sakit yang menangani Jendra. Sepersekian detik pikirannya melayang. Benar firasat yang ia rasa. Jendra telah tiada. Tak lama, petugas berpakaian serba putih membopong jasad yang ia yakini putranya. Tak ada tangis, sedih, kecewa, marah ataupun sesal. Ibu Dewi paham benar apa yang diperjuangkan putranya hingga berkorban nyawa.

Reformasi nyatanya mengalami kemunduran. Apa yang dialami suami Ibu Dewi kembali terjadi pada putra semata wayangnya. Air mata telah surut, menangisi kepergian suaminya di masa lalu. Kini amanah yang diserahkan dari suaminya juga direnggut.

Zein dan kawan-kawan lainnya ikut melayat. Bukan kepergian Jendra yang mereka tangisi tapi keberadaan keadilan yang benar-benar tiada. Lubang di dada kiri Jendra jadi bukti. Kematiannya tak akan sia-sia, namanya akan kekal abadi. 

Pemakaman Jendra Adhiguna didatangi ribuan aktivis, relawan, dan mahasiswa. Kepergiannya menjadi duka Indonesia. Kepergiannya menjadi bukti kalau janji reformasi belum ditepati. Nama Jendra Adhiguna tak akan sia-sia.

Zein membagikan percakapan terakhirnya bersama Jendra. Ia juga memberikan barang-barang Jendra dari loker himpunan. Salah satunya terdapat sepucuk surat yang selalu Ibu Dewi bacakan tiap acara kamisan berlangsung. Lantang, Ibu Dewi membacakan kenangan terakhir dari putranya.

"Ibuk, banyak cara taklukan malam dan mungkin ini salah satunya. Relakan dan ikhlaskan kepergian Jendra. Maafkan mereka yang belum tahu kesalahannya. Lukamu akan mengering perlahan. Ini sudah jadi resiko menantang cakrawala. Surya tahu kapan waktunya untuk bersinar."

Tekad Jendra menjadi pemicu semangat aktivis lainnya. Ia menabur biji yang akan menjadi tunas baru di seluruh penjuru Indonesia. Kelak, semua akan tumbuh, dituai, dan menghancurkan pemerintah yang lupa akan rakyatnya. Hari belum selesai, tunggu waktu yang tepat untuk kembali berangkat.

Postingan populer dari blog ini

ada hari yang patut disyukuri.

tangis yang kusimpan sendiri.

semua harus usai malam ini.