semua karena bacotmu yang jahat.
"Janji ga marah?"
"Iya, emang kenapa dulu tapi?"
Aku hanya tertawa mendengar cerita dari Ibuk. Bingung saja harus merespon bagaimana. Apa aku perlu mengirim kue ke rumahmu untuk ucapan terima kasih? Atau aku harus bagaimana?
Gimana aku bisa marah? Katamu aku bisa kesana karena kamu memintakan doa ke 'orang pintar'. Terus, bagaimana dengan doa orang-orang yang memang tulus mendoakanku tanpa aku minta? Bagaimana dengan usaha belajarku siang dan malam sampai aku mengurangi waktu tidur, scroll, dan nongkrongku? Bagaimana dengan kursus online dan try out berbayar yang kuusahakan agar hidupku lebih baik dari hari ini? Apa Tuhan hanya mendengar doa dari 'orang pintar' mu itu saja?
Tapi kalau di tarik mundur jauh ke belakang, apa yang bisa aku capai sampai sekarang ini memang karena bacotmu yang jahat. Omonganmu memang jadi bahan bakarku untuk hidup lebih baik darimu tanpa meminta bantuan dari orang lain. Hinaanmu jadi semangatku untuk belajar lebih giat, bisa masuk sekolah favorit, masuk perguruan tinggi negeri dengan jurusan teknik tanpa amplop, orang dalam, atau jalur-jalur yang entah apa itu.
Dari dulu aku terlalu diam sampai aku yang sekarang sudah tak peduli lagi denganmu. Aku sudah terbiasa tak dianggap jadi kalau sekarang kamu menganggap kenal denganku justru aku heran. Sepertinya aku malah berharap itu tak pernah terjadi saja. Untuk apa apresiasi darimu? Aku tidak butuh validasimu itu, tak kenal dan tak dianggap olehmu malah sudah menjadi hal yang lurah untukku. Aku tak semembanggakan itu kok. Tetap kamu yang paling dan terhebat. Tapi tak apalah, aku memang harus berterimakasih kepadamu ternyata.