Postingan

Menampilkan postingan dengan label Catatanku

perjalanan (kembali) mencari rumah

Badai kembali datang. Aku yang sadar kakiku penuh lumpur berlari menerjang badai ke teras di ujung jalan yang gelap. Temaram lampu kuning yang terkadang berkedip menjadi satu-satunya hiasan di teras yang penuh debu. Aku segera membersihkan kakiku dari debu sebelum menginjakan kaki ke lantai teras berlapis kayu coklat tua. Pemandangan ini seperti tak asing buatku tapi aku yang sudah terlalu lelah tak menghiraukannya. Usai kakiku bersih, aku duduk di teras itu. Debunya belum terlalu tebal, mungkin belum terlalu lama di tinggalkan. Tapi rumput di halaman depan sudah mulai meninggi. Pot bunga yang berjajar di pinggir teras juga berantakan. Tak terasa hujan mulai rintik. Dari kejauhan cahaya putih datang menghampiri. Sepertinya pemilik rumah datang. Ia turun dari mobil bagusnya. Payung hitam menutup setengah wajahnya sehingga aku tak terlalu melihat wajahnya. Aku sudah menyiapkan senyum dan menyusun permohonan maaf untuknya. Benar, belum sempat aku berucap wajahnya nampak dari balik payung....

aku dan keruwetan kepalaku.

Bukan kamu orang pertama yang mengomentariku seperti itu. Telingaku sudah biasa menerimanya. Mulutku juga hanya bisa terkatup. Aku memilih untuk tidak melawan karena memang begitu adanya. Ruwet. Aku terbiasa terlihat baik-baik saja, gampang mengumbar senyum, tertawa tiap guyon receh yang orang lontarkan. Pokoknya aku bisa bersikap asyik ke semua orang. Aku seorang pendengar yang baik. Apa saja masalahmu mau dari percintaan, orang tua, perekonomian, sampai politik aku siap mendengar. Setiap kali kamu menelepon, aku akan angkat sekalipun aku berada di tengah badai. Kalaupun aku terlewat, aku akan segera meneleponmu balik atau mengirim pesan agar kamu tak kepikiran. Tapi, mungkin cerita tentangku akan sangat sedikit. Semua yang berenang di kepalaku terlalu sulit untuk kuterjemahkan. Setiap kata yang mau kuucap seakan percuma. Aku tak pernah melihat kalian antusias mendengarkan ceritaku. Entah karena lidahku yang belibet atau memang ceritaku tak sebanding dengan milikmu. Kadang aku juga me...

aku tolol, ya.

Ga tau lagi kenapa kepalaku penuh dengan kamu. Padahal setelah pertemuan sebelumnya aku sudah berjanji untuk tidak memikirkanmu dan menghilang. Tapi kamu menghancurkan seenaknya. Semua hal yang kulakukan kemarin seolah percuma. Kamu tahu aku. Mulutku selalu sulit untuk menolak ajakanmu apalagi kalau sudah ada namamu di notifikasiku. Beberapa hari ini aku menunggu notifikasi darimu lagi. Aku tolol, ya. Aku juga ga tau kenapa aku melakukannya. Semua terjadi begitu saja. Aku tahu diri. Aku sadar posisi. Tapi kalau memang kamu yang aku suka, aku bisa apa? Iya, kamu sudah ada dia. Aku tahu tembok kita juga terlalu tinggi. Semua tak mungkin terjadi. Tapi beri aku waktu untuk melepaskan semuanya perlahan. Semua terlalu cepat, sampai aku tak sempat untuk mencernanya. Di pikiranku, aku yang memang tidak pantas untuk menerima kebaikanmu. Aku memang tidak layak untuk mencicipi bahagia dari orang lain. Sampai aku mengira kalau kamu orang yang aku tunggu untuk melepas dahagaku. Sebentar kamu menena...

tidak semua harus menjadi sesuatu.

"Banyak-banyak terima kasih Tuhan buat berkat-Mu yang terus ada sampai sekarang. Meskipun sempat aku ragu akan keberadaanku, aku percaya perjalanan ke tempat ini akan buat pengalaman yang lebih baik daripada hari ini." Enggak tahu kenapa bisa berdoa kayak gitu pas bermalam di Baduy Dalam. Seharian jalan kaki menikmati ciptaan Tuhan seharusnya aku capek dan langsung tidur tapi kayaknya suasana bikin aku mikir jauh lagi. Hari ini terlalu banyak ilmu baru yang masuk ke otak ini. Perjalanan yang sebenernya sudah lama aku pengen ini punya banyak hal yang harus mulai aku lakukan. Baduy sebenarnya punya banyak potensi buat jadi tempat wisata yang punya ciri khasnya. Masyarakat bisa kok jadi sama kayak masyarat luar lainnya. Nyatanya pemerintah setempat juga sudah hadir buat mereka. Tapi mereka menolaknya dengan halus. Mereka memilih hidup sederhana seperti ajaran yang mereka yakini. Pilihan mereka justru yang membuat mereka terlihat berbeda dengan yang lainnya. Sampai di Baduy Dalam...

belum ada cerita tentangku.

Semalaman aku mencari kesalahan apa sampai aku berada di titik ini. Sepertinya sudah cukup buatku untuk selalu mengerti orang lain. Sudah cukup untuk selalu menyenangkan hati mereka. Sudah cukup untuk menuruti kata mereka. Aku tak sampai hati mengatakan kalau aku muak dengan cerita kalian. Aku tak pernah bisa bilang kalau aku pun pernah berada di titik yang lebih rendah dari kalian walau tampilanku haha-hihi setiap hari. Aku tak bisa meminta tolong karena aku diam saja selalu salah. Aku terbiasa tidak dianggap, sehingga aku akan diam saja sampai kalian yang bertanya. Aku terbiasa tak didengar sehingga tiap kalian minta ku bercerita, aku tak pernah bisa. Wajar saja kalau kalian kira aku bisu. Aku tak berhak menuntut karena aku tahu aku bukan siapa-siapa. Kembali ku mengingat sebab mulutku ini terkunci. Mungkin aku tak mau mengiba, mungkin aku tak suka orang tahu siapa aku sebenarnya, atau mungkin aku sudah terbiasa untuk tidak bercerita. Aku kembali menggali semua dosa yang pernah kulak...

gambar seorang anak perempuan.

Seorang anak perempuan sedang menggambar sebuah rumah. Tak muluk-muluk yang ia ganbar dengan pensil hitamnya. Tangan mungilnya mulai menarik garis yang tentu saja tak serapi bila ia menggunakan penggaris. Ia memulai membuat garis horisontal yang membagi kertas itu menjadi dua bagian. Lalu ia membuat dua garis vertikal diatasnya. Garis itu sejajar, tak terlalu panjang sampai membagi bagian atas garis horisontalnya. Jaraknya pun cukup dekat. Diatas kedua garis vertikal tersebut, ia membuat segitiga yang tak terlalu tinggi. Kemudian ia menghias isi persegi tersebut dengan persegi lain dengan satu berukuran lumayan besar dan empat lagi yang berhimpit dengan ukuran yang lebih kecil. Tak lupa ia menggambar beberapa tanaman rumput perdu dan pepohonan di samping kanan kiri gambarnya. Anak perempuan itu tak terlalu suka mewarnai. Ia membiarkan gambarnya berwarna hitam putih. Ia hanya memulas pensil warna hijau di samping kanan kiri dan bawah gambarnya. Di bagian atas gambarnya, ia memulaskan wa...

episode mengagumimu sudah selesai.

Aku berada di tengah percakapan makan siang bersama beberapa teman yang kamu kenal. Kemudian wallpaper handphoneku berubah menjadi foto profilmu. Beberapa teman sempat ikut melirik dan membaca nama lengkapmu yang tertera di layar.  "Posisi?" tanyamu begitu aku mengangkat panggilanmu. Kamu masih dengan pertanyaan yang sama sejak awal kita berteman. Aku hanya menjawab singkat, "Bekasi." "Ngapain?" "Dolanlah. Nyapo?" "Reti rak?" Password dari semua intro cerita pun sudah kamu ucap. Aku yang tadinya biasa saja jadi antusias. Namun mengingat banyak mata dan telinga yang mengintai aku belagak tak terlalu senang. "Dan terjadi lagi." "Apane, pak?" "Ga jadi, nanti sore wae. Dah." singkat, padat, dan mengundang pertanyaan. Itulah kamu dari awal kukenal. Aku kembali melanjutkan kegiatanku hari itu. Tak penasaran, tapi aku cukup tahu diri. Apalagi posisiku sekarang tak berada di dekatmu lagi. Beberapa hari kemudian kam...

sekalipun aku menghilang, kalian tidak akan menyadarinya.

Aku tak tahu apa yang dibicarakan di belakangku. Omongan miring, tegak lurus atau bisa saja diagonal tentangku. Aku biasanya bodo amat. Peduli setan dengan omongan mereka. Toh tak membuat rekening tabunganku berkurang. Tapi akhir-akhir ini banyak hal yang baru aku sadari. Porsi cerita tentangku memang sedikit. Aku sadar diri kalau mau sesulit apa kisahku, pasti kalian akan menganggap kalau milik kalian yang lebih sulit because you only see the good side of me dan memang hanya itu yang ingin aku tunjukan saat itu. Lama-kelamaan, bibir yang terus tersenyum dan telinga yang selalu mendengar ini lelah. Walau aku bisa menyembunyikannya, sampai kapan aku bisa menahannya? Beberapa kali aku mengemis untuk meminjam telingamu. Tak apa hanya sebentar yang penting aku bisa lega setelah mengeluarkan semua yang lama tertahan. Sesekali aku juga menyelipkan ceritaku di tengah ceritamu yang selalu terdengar lebih menarik. Sampai aku hafal silsilah nenek moyangmu dan aku mengenal seisi duniamu tanpa ka...

the last chapter in this place. finally i'm done.

Akhirnya perjalanan di tempat ini mencapai titik. Walau tak sesuai harapan, paling tidak semesta masih memberiku hal-hal baik yang mengiringi. Ini sebagian jawaban dari doaku dan sebagian lagi keinginan orang-orang yang menganggapku bukan apa-apa. Tapi tak apa, aku tetap merasa menang karena bukan aku yang menyerah namun keadaan yang memaksaku untuk pergi. Aku paham betul siapa aku dan bagaimana caranya aku bisa sampai ke titik ini, jadi aku bersyukur bisa ada di sini, di tengah keramaian tanpa istirahat yang seiring waktu meredup karena badai. Sedari awal aku sudah tahu kalau perpisahan ini akan terjadi tapi aku tak tahu kalau aku yang akan meninggalkan mereka, orang-orang yang ternyata memperhatikan dengan caranya masing-masing. Awalnya pun aku hanya ingin membubuhi koma di cerita ini. Aku sudah nyaman dengan semua yang ada, orang-orang yang sudah membuatku capek untuk heran, tempat nongkrong yang itu-itu saja, dan cuaca kota yang berubah tergantung moodnya. Namun memang tak ada yang...

apa yang orang salah kira tentangku.

Kembali lagi di pinggir kolam koi depan musholla setelah makan siang. Hari ini masih sendirian, kantor sepi, dan semoga tetap begini. Atau setidaknya aku masih tetap berada disini sampai ada panggilan pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Sejak mampir ke rumah, banyak hal yang mengganjal di pikiran. Entah apapun itu aku merasa banyak kesesakan. Mulut ini sudah ingin meluapkan semuanya ke kalian tapi aku selalu merasa ini bukan waktu yang tepat. Cerita kalian lebih rumit dan aku tak mau ceritaku malah menjadi beban untuk kalian. Kalau kalian coba pakai kaca pembesar mungkin kalian akan lebih tahu tentangku. Aku tak secuek yang kalian pikir. Justru aku hapal setiap gerak-gerik, fashion, atau bisa saja aliran musik yang kalian sering dengar tanpa kalian sadari. Aku tak sebodo amat yang kalian kira.  Setiap malam, apa yang kalian katakan pagi harinya seperti kaset yang ter-rewind di kepalaku malah kadang titik koma sampai helaan napasmu aku bisa ingat. Pita kaset itu sampai kacau kare...

rest area km 72

Datang ke sini lagi setelah hampir setahun rutinitas untuk kesini menghilang. Dulu aku masih bodoh. Senang senang saja bila diajak kesini, nongkrong sampai larut, kopi gratis, makan gratis kalau lagi beruntung. Paling tidak aku tak perlu mencari kegiatan di mess. Setelah orang-orang itu pergi, aku baru sadar kalau selama ini aku hanya diperdayakan. Ya, aku diajak hanya untuk memenuhi kuota. Atau untuk kamuflase mereka saja. Jujur aku juga masih bingung dengan motif mereka. Tapi entah darimana aku yakin kalau mereka tak benar-benar tulus. Hampir setiap malam, kami bersama. Dari dongeng nabi-nabi sampai cerita orang-orang kantor yang lebih ajaib dari oki dan nirmala. Tapi setelah kisah itu usai, tak ada balasan dari semua pertanyaan yang terlontar. Semua menguap bersama kepergiannya. Semua cerita yang kutangkap sama sekali tak berguna. Apa aku dijadikan tameng? Apa aku jadi kambing congek? Apa aku dijadikan obat nyamuk? Apa aku jadi alasan agar bisa bersama? Menurutku tak perlu mengadaka...

seharusnya kamu bahagia kalau aku tidak mengganggumu (lagi)

Dering telepon berbunyi. Jam segini rasanya jarang urusan pribadi menghampiriku. Paling orang-orang yang berkaitan dengan pekerjaan yang mencari. Aku mengjangkau ponselku yang tak terlalu jauh kugeletakan. Tercantum namamu di layar ponsel. Semua masih sama. Aku tak merubah apapun sejak tak lagi ada apa-apa diantara kita. Kuhembusan napas panjang, mencoba menurunkan heart rate yang mendadak naik.  "Kukira semua sudah berlalu, ada apalagi kamu menghubungiku? Tak usah di angkat," ujar kepalaku. Tapi ternyata rasa ingin tahuku lebih menggebu.  "Apa?" Tanyaku tanpa basa-basi walau nada bicaraku tak menghentak seperti biasanya. "Aman, kan?" ucapnya dengan nada datar dan tenang seperti dia biasanya. Kepalaku mendadak kosong, lidahku kelu. "Aman," jawabku sekenanya. Dari hembusan napasnya yang berat, sepertinya jawabanku tak sesuai ekspektasinya. Aku yang biasanya tak seperti itu. Aku sering mengulur jawabanku agar bisa berlama-lama mengobrol dengannya ...

lima menit tentangmu.

aku tak tahu apa yang ada di kepalamu. aku berusaha dengan keras mengisi kepalaku sendiri. kita hanya dua orang asing yang tak sengaja bertemu dan kamu tak mungkin bisa melangkah lebih dekat ke arahku. aku bukan siapa-siapa. tapi apa? setiap aku berpikir tentangmu, notifikasimu muncul. dua kata biasa saja yang membuat perutku terisi kupu-kupu. sudah makan? sebenarnya kamu menganggapku apa? sekali dua kali kamu lakukan itu, aku masih kokoh dengan pikiranku. kita bukan siapa-siapa, tak mungkin orang sepertimu menyukaiku. cerita tentangmu memang banyak ku dengar. seringkali dari mulutmu sendiri malah. aku yang sibuk menahan semuanya hanya bisa menimpali seadanya. aku tahu batasan diriku. sekarang cerita tentangmu sudah selesai. apa aku ada kesempatan untuk bisa lebih? tapi apa bisa? aku tak pernah sebanding dengan masa lalumu tapi aku tak selamanya aku bisa menahan semuanya.

aku menyukai hal yang rumit.

Hai, kamu! Apa kabar? Apa sudah ada kabar lain yang kau tunggu? Apa sudah ada hati lain yang mengisi kekosonganmu? Apa sudah ada yang mengingatkanmu untuk hal-hal remeh yang sering kau lupa? Apa sudah ada yang mendengarkan celotehmu? Apa sudah ada yang mengkhawatirkanmu sepanjang hari? Apa sudah ada yang gantikanku? Kuharap semua itu belum terjadi. Kuharap kamu masih sama seperti yang kukenal. Kuharap kamu merasakan juga apa yang aku rasa. Kuharap kamu baik-baik saja. Harapku terlalu tinggi padamu. Semua ekspektasiku runtuh ketika yang ku harap tak terjadi sama sekali. Aku masih tak apa-apa. Toh, aku terbiasa melewati semuanya sendirian. Sembuh, sepertinya jauh dari bayanganku. Aku malah tak pernah merasa se-sehat ini. Aku hanya membiasakan hidupku tanpa kehadiranmu dan semua berjalan seperti biasa walau kadang air mata yang menemani. Mengapa semua tak kuketahui sejak awal saja? Paling tidak, aku bisa menyiapkan hati untuk patah kembali. Ya, aku tetap akan melakukan seperti yang kemar...

hidup yang begini-begini saja.

Gemericik kolam koi memenuhi telinga, sesekali suara decit burung ikut meramaikan isi kepala. Hembusan napas mulai terasa berat, pukul lima masih lumayan lama. Aku mulai bosan dengan rutinitas yang itu-itu saja. Pekerjaan yang sebenarnya diada-adakan. Seharian aku hanya memandangi jarum jam, berharap semua segera berakhir dan aku kembali ke liangku. Begitu terus sampai tak terasa sudah dua tahun aku disini. Jemariku semakin handal mengetik cerita, lidahku mulai lihai bersilat. Ilmu menghilang dan jurus mencuci tanganku semakin handal. Banyak orang menjadi panutanku dan banyak guru yang mengajariku. Tapi bukan itu semua yang ingin kudapatkan sebenarnya. Scroll sosial media menjadi salah satu jalan untuk menghabiskan waktu. Hingga satu hal yang mengganjal di hatiku dan terus berputar di benakku. Aku banyak tertinggal diantara yang lain. Handphoneku yang butut. Tasku yang tak semahal milik yang lain. Pakaianku yang itu-itu saja. Sepatuku yang tak pernah ganti. Saldo rekeningku yang tak pe...

you going to be ok.

Isn't it crazy, how we can put so much effort into someone who don't have same energy? You just keep lying to yourself hoping it will get better but in reality it's just getting worst. You just denial with everything what you feel, what you watch, and what you do. Sometimes you feel happy just because he do the small thing to you like respond your chat quickly or keeping his promise to give you a call.  But in the other day, you realise that he do the same with the other too. That's a sign but you keep trying to hurt yourself. How stupid you are! When you getting tired, you wanna give up on that one person but in the end of the day you going back, keep thinking that everything will be okay and everything will be change.  He ain't worth those tears. You have to love yourself before you can love somebody else. Stop worrying about that one person who ain't puttin effort into you. You learned that hard way, they may be going through things and you wanna help but som...

the last person I was thinking about before I go to bed.

Ini aku tulis untukmu yang namanya tak akan lagi aku sebut. Perjalanan kita akhirnya selesai setelah semuanya berjalan di tempat. Aku dan kamu yang tak berujung menjadi kita. Aku dan kamu yang akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan hidup masing-masing. Pertemuan kita seolah sudah diatur semesta. Semua terancang mudah seakan memang sudah jalannya. Tapi ternyata badai menghancurkan semuanya. Rasa yang tumbuh perlahan seolah hilang hanya semalam. Teriakan masih membekas di tenggorokan, sembab di mata masih membekas, dan dirimu sudah pergi dari dekapan. Aku dan kamu yang terlalu sibuk dengan dunia kita masing-masing tanpa ada yang sadar bibit curiga mulai tumbuh. Ia menjadi gulma di pohon yang kita tanam sejak lama. Semua resah membaur tanpa kejelasan yang padahal kita sudah tahu bagaimana cara untuk menjawabnya. Aku ikut andil memupuk luka untukku sendiri sedangkan dirimu punya tanggung jawab merawat lukaku. Jarak yang tadinya tak jadi masalah kini menjelma menjadi alasan mengap...

another timeline, another life.

Setelah siang hari aku belagak kuat, malamku dihiasi hujan air mata tanpa ada tanda-tanda mendung sebelumnya. Pojok kamar lembab dan bantal tidurku menjadi saksi bisu. Semua yang tak bisa kukatakan meluap begitu saja. Hingga kadang aku lelah dan tak sadar pagi kembali datang dan aku versi yang lain muncul. Kukira itu semua karena beban pekerjaan yang tak ada hentinya di pabrik tahu bulat tapi nyatanya ketika pabrik sepi, aku tetap seperti itu. Lelapku enggan datang. Hanya ada aku dan lelehan kesedihan yang menemani. Aku masih berusaha mencerna semua yang terjadi. Mungkin aku terlalu berjarak dengan yang Kuasa. Obat yang lama tak kusentuh nyatanya malah kembali rutin ku jamah. Seminggu tak berdaya di dalam kamar membuatku semakin merasa tak punya siapa-siapa. Notifikasi handphone kuabaikan. Paling hanya ibu mess yang sesekali menyuruhku untuk makan atau satu dua orang teman yang mengirimiku makanan. Ya, hanya karena tak ada notifikasimu aku merasa tak punya siapa-siapa. Kukira aku sudah...

orang hanya percaya dengan apa yang mereka lihat

Setelah semua yang terjadi, aku percaya kalau semua orang berwarna abu-abu. Tak ada dari mereka yang berwarna putih atau hitam setelah mereka membaur menjadi satu di sini. Mereka yang awalnya berwarna putih akan menjajal dunia hitam. Walau kadarnya berbeda, toh mereka akan menjadi keabuan. Sedang mereka yang berwarna hitam, tak mungkin selamanya hitam. Ada beberapa sisi yang masih berwarna putih, kembali lagi dengan kadar yang berbeda juga. Setiap sikap baik yang mereka lakukan berbumbu curiga. Tak tahu apa motifnya, pikiranku selalu menjadi negatif. Aku tak percaya ada ketulusan hati disetiap sikap yang mereka tunjukan. Pasti ada secuil maksud yang mereka inginkan. Aku sebenarnya tak ingin sikap ini mematikan langkahku lagi. Lama-kelamaan ini bisa menjadi racun untuk aku sendiri. Aku takut aku tertular sikap mereka yang selalu ada maksud ketika dekat dengan orang lain. Tapi bagaimana aku bisa membangun percayaku kalau tiap kali semua sudah siap harus dihancurkan dengan sikap mereka? H...

perayaan patah hati.

Aroma solar, rokok, pop mie, dan air laut bercampur. Gemuruh suara mesin dan teriakan pedagang menjajakan dagangannya diselingi dengan suara Nadin yang tak lelah menemani. Barisan pulau, lampu kota yang berkedip malu, dan penumpang yang lalu lalang mencari posisi terbaik meramaikan pemandangan. Semua berdendang indah selaras dengan gerak tenang ombak Selat Sunda. Gerimis kembali menyapa. Alam seolah menyemarakkan perayaan patah hatiku. Aku turut senang, kamu menemukan belahan jiwamu. Orang yang selama ini kamu perjuangkan dan tunggu. Tak ada yang salah dengan ini semua. Hanya ada aku dan ekspektasiku yang menenggelamkanku dalam kepedihan yang berlarut. Paling tidak dengan kehadiranmu yang sebentar, aku menjadi tahu kalau aku tidak sepenuhnya mati rasa. Masih ada sisa-sisa perasaan yang sementara ini kembali kosong. Sembari aku membersihkan serpihan lukaku, ijinkan aku merayakan kesedihanku agar nanti ketika seseorang datang, aku tak melukainya dengan puing peninggalanmu. Sekali lagi se...