perempuan dan ubin kamar mandi
Ramai di sosmed kalau laki-laki memilih diam, duduk sendiri minum kopi kemasan botol sambil merokok di depan minimarket. Semua bisa saja benar — tapi hal itu juga bisa kulakukan. Bukan karena mau menyaingi, tapi karena itulah yang sebenarnya terjadi padaku. Kadang aku tak tahu harus bercerita ke siapa, jadi aku memilih menyendiri di kos sambil menggosok ubin kamar mandi.
Ada sesuatu yang ritualis dari aktivitas itu: busa sabun, gerakan memutar kain lap, air yang mengalir. Semakin bersih ubin, seolah-olah semakin banyak pula masalah hidup yang kupentingkan untuk disikat sendiri. Ubin yang mengkilap menjadi ukuran betapa rapi kehidupan yang kubiarkan orang lihat—padahal permukaannya saja, bukan isi bak cucianku yang kusam.
Aku kadang tidak bisa mengeluarkan perasaanku yang sebenarnya, terutama rasa sedih. Menangis di depan orang lain? Sampai hari ini itu terasa mustahil. Aku masih mengulik kenapa. Mungkin karena sejak lama aku diajari untuk kuat, untuk menahan, untuk tidak merepotkan. Mungkin juga karena setiap kali aku pernah buka sedikit, suara itu—penilaian, komentar, solusi yang tidak diminta—datang terlalu cepat, dan aku belajar menutup mulut.
Perasaan yang tidak pernah tervalidasi membuatku merasa salah bila meluapkannya. Jadi aku simpan. Aku simpan sampai tukang ingatanku penuhilah satu lemari penuh barang. Sampai suatu malam aku berdiri di kamar mandi, tangan pegal karena menggosok, dan bertanya pada ubin yang kian bersih: apakah ada cara agar isi kepala ikut bersih seperti ini?
Ternyata tidak. Ubin bisa mengkilap, tapi noda di kepala tidak selalu luntur oleh air. Namun ada satu hal yang kuberi pada diriku lewat kebiasaan sederhana itu: ruang. Ruang untuk merasa, tanpa drama publik. Ruang untuk bernafas ketika segala macam ekspektasi menekan dari luar. Menjadikan kamar mandi sebagai tempat kecilku supaya tidak menambah beban orang lain—ini pilihanku, dan aku menerima itu meski kadang menyakitkan.
Bukan berarti aku menolak bantuan. Aku hanya sedang belajar bahwa cara memproses luka berbeda-beda. Untuk sebagian orang berbagi adalah obat; untukku, ada fase aku butuh menyendiri, menggosok, merapikan permukaan dahulu sebelum berkata apa-apa. Dan kalau suatu hari aku membuka mulut itu pun, mungkin kata-kataku akan datang dari ubin-ubin yang sudah kucuci: jujur, polos, dan tak lagi takut dimarahi.
Jadi, biarlah mereka bicara tentang laki-laki di depan minimarket. Aku punya caraku sendiri — bukan lebih salah, bukan lebih benar. Hanya caraku. Aku menggosok ubin bukan untuk menyembunyikan, tapi untuk memberi tanda bahwa aku masih berusaha. Dan ketika malam turun, aku duduk di lantai kamar mandi yang dingin, merasa kelelahan dan anehnya sedikit lega, karena setidaknya hari ini ada satu sudut kecil yang kusentuh sampai selesai.