aku banyak takutnya.

Aku banyak takutnya: takut salah pilih, takut rumah tangga tak sesuai ekspektasi, takut beda pandangan di tengah jalan, takut omongan orang, takut tidak sepadan, bahkan takut tidak cukup membuat nyaman—tapi ya sudah, hidup memang tidak pernah adil, siapa suruh aku berharap terlalu banyak?

Kadang aku pikir cinta itu sederhana: ketemu orang yang bikin jantung deg-degan, lalu yakin dia soulmate. Tapi kalau cuma soal deg-degan, kopi sachet pun bisa bikin jantungku berlari. Soulmate ternyata bukan soal sensasi sementara, tapi soal rasa pulang. Aneh, ya. Ada orang yang bikin aku tenang meski kami sering nggak sepaham. Nggak selalu manis, nggak selalu romantis. Kadang malah bikin kepalaku penuh. Tapi entah kenapa, tetap ada rasa aman yang susah dijelaskan.

Lalu, ketakutan lain datang: “Bagaimana kalau karirnya nggak seimbang sama aku? Bagaimana kalau orang lain menganggap aku turun kelas karena pilih dia?” Aku sering lupa, ternyata aku lebih takut sama omongan orang ketimbang sepi di kamarku sendiri. Orang-orang memang hobi menilai hidup orang lain dengan standar yang bahkan mereka sendiri nggak sanggup penuhi. “Kok pasangannya gitu doang?”—padahal mereka sibuk ngutang di warung. “Kok masih ngontrak rumah?”—padahal cicilan rumah mereka sendiri macet. Ironis, aku bisa gemetar gara-gara bisik-bisik tetangga yang bahkan nggak bakal nungguin aku kalau sakit.

Lalu muncul lagi pertanyaan basi: “Apa aku sudah bikin dia nyaman?” Seolah aku harus jadi mesin serba bisa—bikin nyaman, bikin bahagia, bikin damai. Padahal kenyamanan itu cair. Kadang dia butuh ruang, kadang butuh pelukan, kadang malah butuh jauh dariku. Dan aku? Aku nggak harus selalu bisa memenuhi semuanya. Aku bukan hotel bintang lima. Kalau ada yang bilang pasangan itu harus selalu bikin nyaman 100%, ya suruh aja mereka bikin robot, bukan pasangan manusia.

Terus gimana kalau rumah tangga nggak sesuai ekspektasi? Ya, begitulah. Ekspektasi selalu terlalu mirip iklan: dapur rapi, anak wangi, pasangan harmonis. Kenyataannya? Kadang pintu dibanting, kadang piring pecah, kadang dingin menggantung berhari-hari. Dan anehnya, orang-orang tetap ikut komentar: “Sayang banget, dulu resepsinya mewah, lho.” Mereka lihat pesta, bukan luka. Mereka tahu gaun pengantin, tapi nggak tahu rasa sepi yang tidur di sebelahku.

Lalu ada pertanyaan paling berat yang kadang bikin aku ngeri: bagaimana aku bisa ikhlas punya anak? Tubuhku berubah, pikiranku digeser, ruang sosialku menyempit. Ikhlas? Kadang lebih mirip pasrah yang aku kasih bumbu makna supaya nggak pahit-pahit amat. Iya, ada balasan kecil yang bikin semua sakit terasa sepadan: tawa pertama, langkah goyah, panggilan “ibu”. Tapi jangan salah, nggak semua lelah terbayar lunas. Ada hari di mana aku tetap merasa hampa. Dan itu pun sah. Aku nggak mau lagi romantisasi seolah semua perempuan pasti akan “menemukan makna” dari luka.

Dan yang paling menjengkelkan, apapun pilihanku, omongan orang tetap datang. Punya pasangan mapan: “Ah, matre.” Punya pasangan sederhana: “Kok mau sama dia?” Nikah muda: “Nggak mikir panjang.” Nikah tua: “Kebanyakan milih.” Punya anak cepat: “Nggak pake KB, ya?” Belum punya anak: “Belum dikasih Tuhan, ya?” Rasanya semua orang punya komentar, padahal nggak ada satu pun yang ikut bayar listrikku.

Jadi ya, pada akhirnya, aku cuma bisa bilang ke diriku sendiri: soulmate atau bukan, karir seimbang atau tidak, rumah tangga indah atau berantakan, punya anak atau memilih jalan lain—semuanya tetap akan jadi tontonan gratis. Aku jungkir balik, mereka cuma duduk sambil ngemil kerupuk.

Dan kalau semua lelahku terasa nggak ada ujungnya, aku cuma bisa menarik napas panjang, lalu bilang pelan-pelan: "Ya sudah, hidup memang tidak pernah adil. Tapi siapa yang suruh kita berharap terlalu banyak?”


Postingan populer dari blog ini

apa aku boleh bahagia?

semua karena bacotmu yang jahat.

orang hanya percaya dengan apa yang mereka lihat