centang satu.

Hari itu perjalanan terakhirku dari Jakarta ke Cikarang. Perasaanku campur aduk antara senang dan sedih. Senang karena bisa mengobrol dengan kawan lama, dan sedih karena mungkin aku tidak akan bisa bertemu lagi dalam waktu dekat atau bisa saja tidak akan bertemu lagi selamanya.

Perjalanan dengan sisa baterai handphone di bawah 20% lumayan membuatku cukup ngeri. Aku harus menghematnya agar bisa keluar dari stasiun. Belum lagi aku perlu memesan ojek online. Aku tak memakainya sama sekali setelah masuk ke kereta.

Sepanjang perjalanan aku banyak dibuat berpikir. Malam itu suasana cukup ramai. Apalagi rintik hujan tak berhenti sejak sore hari. Keluarga kecil yang nampak bahagia menyelesaikan perjalanan mereka—lengkap dengan anak yang tertidur di pangkuan ibunya, ayah yang repot menenteng belanjaan. Aku diam-diam mencuri pandang. Apa aku boleh bermimpi membuat keluarga kecilku seperti mereka?

Aku menatap ke luar jendela kereta, lampu-lampu jalan berlarian mundur. Pertanyaan itu terasa menampar. Di sisi lain, hubungan kita sedang begini-begini saja. Kamu yang terlalu cepat ambil kesimpulan, dan aku si tukang menghilang. Kita berdua seperti stasiun yang tidak pernah selesai dibangun: selalu ada peron baru, tapi tak pernah ada kereta yang benar-benar berhenti.

Aku menghela napas. Battery tinggal 12%. Pikiran masih penuh tanda tanya. Layar ponselku gelap, layar pikiranku terang benderang. Dan entah kenapa, di antara hujan, lampu jalan, dan wajah-wajah asing di dalam gerbong, aku merasa seperti pesan yang tak pernah terkirim.

Aku hanya bisa mencentang satu:

datang.

pergi.

hilang.

Dan mungkin memang hanya itu yang bisa kulakukan sekarang.

Postingan populer dari blog ini

apa aku boleh bahagia?

semua karena bacotmu yang jahat.

orang hanya percaya dengan apa yang mereka lihat