Menang Atas Perasaan
Setiap kali sesuatu mulai terasa dekat, aku refleks menarik diri. Ada bagian dari diriku yang percaya kalau kedekatan cuma awal dari kehilangan. Jadi aku menyiapkan diri lebih dulu — bukan dengan kekuatan, tapi dengan jarak. Ironis, ya? Aku sibuk menjauh biar nggak kecewa, tapi malah kecewa karena terus menjauh. Sampai akhirnya aku sadar, aku nggak hidup, cuma sembunyi dalam versi aman dari diriku sendiri.
Sekarang aku sedang belajar buat diam di tempat. Belajar buat nggak buru-buru menutup pintu setiap kali ada yang ngetuk, bahkan kalau bunyinya bikin jantung deg-degan. Aku mencoba menahan diri untuk nggak langsung kabur saat rasa takut datang, membiarkan perasaan itu duduk sebentar, lalu pergi sendiri. Aku ingin berhenti nge-ghost diriku sendiri setiap kali hidup mulai terasa ribut.
Nggak mudah, tentu saja. Kadang aku masih ingin lari sejauh mungkin, biar nggak perlu ngerasain apa-apa. Tapi aku mulai sadar, kabur itu bukan bentuk perlindungan, itu cuma cara halus buat bunuh diri pelan-pelan. Aku nggak lagi ngejar kesembuhan instan — karena nggak ada. Aku cuma pengen bisa hadir di tengah rasa takut, di tengah bingung, di tengah hidup yang sering terasa absurd.
Tapi “berdamai” ternyata bukan kata yang lembut seperti yang sering dikutip di internet. Nggak ada lilin aromaterapi, nggak ada playlist lo-fi, nggak ada journaling penuh afirmasi positif. Berdamai itu kotor, sunyi, dan kadang bikin muak. Karena nggak ada yang romantis dari duduk sendirian di kamar, ngerasa kosong, tapi harus pura-pura baik-baik aja. Di titik tertentu aku mulai bertanya-tanya: ini tenang, atau cuma mati rasa?
Lucu juga ya, dunia suka banget ngomong soal self-love, tapi nggak pernah ngajarin gimana cara mencintai diri sendiri yang rusak. Katanya, “terima dirimu apa adanya.” Oke, tapi gimana kalau yang ada itu cuma reruntuhan? Kalau setiap kali aku ngaca, yang kutemui cuma wajah yang capek pura-pura kuat? Kadang aku berpikir, mungkin aku nggak benar-benar pengen sembuh — mungkin aku cuma pengen berhenti berpura-pura.
Luka-luka ini anehnya justru terasa jujur. Mereka kasar, tapi nyata. Sementara versi “positif” dari diriku terasa seperti topeng yang lengket dan susah dilepas. Aku mulai bisa menghargai sisi gelap itu — bukan karena aku bangga, tapi karena di sanalah aku benar-benar hidup. Dunia nggak pernah suka orang yang jujur tentang sakitnya, tapi aku juga udah terlalu letih buat terus menutupi darah di balik senyum.
Sekarang aku tahu, nggak semua hal akan baik-baik aja. Beberapa luka nggak bisa sembuh — mereka cuma berhenti nyakitin karena kita udah kebal. Dan mungkin itu nggak apa-apa. Mungkin jadi dewasa bukan soal pulih, tapi soal bisa hidup berdampingan dengan yang retak tanpa berharap utuh lagi. Aku mulai belajar mencintai ketidakpastian, karena ternyata di sanalah kejujuran tinggal.
Malam ini aku nggak nyari cahaya. Aku cuma duduk di tengah gelap, ngerasain detak jantung yang masih ada, tanda kalau aku belum sepenuhnya menyerah. Mungkin ini bentuk keberanian yang paling sederhana — bukan berlari ke arah terang, tapi bertahan di tempat, walau semua hal dalam diri teriak pengen kabur. Aku nggak tahu apakah ini proses, atau cuma istirahat sebelum mundur lagi. Tapi untuk sekarang, biarlah begini dulu.
Karena besok, siapa tahu aku balik ngilang lagi. Dan kalaupun iya, mungkin itu juga bagian dari perjalanan — versi lain dari bertahan. Kadang bertahan memang nggak selalu berarti terus maju. Kadang bertahan cuma berarti… masih di sini, walau semuanya pengen pergi.