belantara yang tak terpetakan.

Sejauh ini, ini adalah keputusan paling besar yang pernah kubuat dalam tiga puluh tahun hidup. Langkahku tidak ringan, tapi keyakinan dalam dadaku meluruhkan keraguan. Aku datang ke tempat ini membawa ekspektasi: bahwa aku akan tiba di sebuah cagar alam. Satu wilayah yang telah lama dijaga oleh tangan manusia—dirawat, dicintai, dicatat.

Peta yang kubawa menggambarkan sesuatu yang tertata. Semua flora dan fauna konon telah diinventarisasi. Diberi nama. Dipahami perilakunya. Tidak ada celah yang tak diketahui, tidak ada ruang liar yang belum disentuh.

Namun baru seminggu aku menelisik dari dalam, dan kenyataan mulai menanggalkan topeng. Peta yang kubawa terasa seperti dongeng masa lalu. Apa yang kutemui jauh dari yang tertulis. Wilayah ini bukan museum kehidupan yang tenang. Ia adalah belantara: penuh napas, penuh rahasia, dan tak mengenal garis tepi.

Aku melangkah dengan hati-hati, lalu berhenti di satu titik yang peta tandai sebagai kubangan kecil. Tapi di hadapanku justru membentang danau—tenang di permukaan, tapi dalamnya lebih tinggi dari tubuhku. Diam-diam, danau ini menyimpan sesuatu yang tak akan ditemukan dari ketinggian satelit atau tinta cetakan. Ia hanya membuka diri pada mereka yang bersedia terjun, bukan sekadar menatap dari pinggir.

Apa aku kecewa?

Tidak. Bahkan sebaliknya. Sejak momen itu, detak jantungku berdentum seperti genderang. Adrenalinku terpacu. Belantara ini hidup, dan ia tak mengenal siapa pun yang datang dengan harapan untuk mengendalikannya.

Makhluk-makhluk yang kutemui tak ada dalam daftar. Beberapa menatapku dalam diam, sebagian menghilang begitu cepat seakan waktu tak cukup luas untuk mengenal mereka. Ada pohon yang mengeluarkan aroma masa lalu. Ada semak yang menggoreskan pertanyaan yang tak bisa dijawab dengan kata-kata.

kita boleh kapan saja memejamkan mata dan menutup telinga.

Tempat ini bukan seperti yang kubayangkan. Tapi mungkin justru karena itulah aku datang. Mungkin selama ini, aku tak sedang mencari peta yang lengkap. Aku sedang mencari tempat di mana aku bisa hilang, untuk menemukan diriku kembali.

Dan kini, meski bekalku hampir habis dan malam datang lebih cepat dari biasanya, aku belum ingin pulang. Karena di sini, setiap ketidaktahuan adalah pintu. Dan aku baru saja belajar cara mengetuknya.

Hari demi hari berlalu seperti kabut yang tak pernah benar-benar sirna. Semakin jauh kakiku menjejak, semakin samar jejakku sendiri. Tak ada jalan kembali. Aku sempat mencarinya—berharap ada tanda, percabangan, atau bahkan bayangan samar dari jalur yang membawaku ke mari.

Tapi hutan ini tak mengenal kata pulang. Ia hanya mengajarkan satu arah: masuk. Dan setelah masuk, tak ada pintu keluar. Peta yang kubawa telah usang, sebagian robek digerus lembab, sebagian lagi tak lagi relevan. Tak ada kompas yang bisa membaca medan tempat seperti ini. Tak ada suara dari luar yang bisa menuntunku pulang.

Pernah, aku berdiri di tengah celah pohon tua, menatap langit yang terhalang ranting, dan bertanya dalam diam: apakah ini semua jebakan? Apakah aku seharusnya takut?

Tapi belantara ini tak memberiku jawaban. Ia hanya memberi cuaca. Kadang gerimis yang meluruhkan kenangan, kadang terik yang membuka luka. Ia memberiku makhluk-makhluk baru, aroma yang asing, suara-suara malam yang tak dikenal tapi entah kenapa terasa akrab. Aku mulai mengenal ritmenya. Bukan untuk menguasainya, tapi untuk hidup bersamanya.

Sekarang aku tahu: aku tak bisa putar arah.

Aku tak akan kembali ke awal, karena awalnya telah lenyap ditelan waktu dan tanah basah. Jalan pulang sudah ditutup rapat oleh semak-semak kehidupan yang terus tumbuh, menutup masa lalu seperti tubuh menutup luka.

Yang bisa kulakukan hanyalah terus di sini—berjalan saat bisa, berhenti saat lelah, dan belajar mendengarkan lebih daripada bertanya. Tidak semua makhluk harus dinamai. Tidak semua rahasia harus dipecahkan. Sebagian hal hanya bisa diterima, diresapi, dan dicintai dalam bentuknya yang liar.

Aku akan tinggal di sini. Menikmati apa pun yang datang, sampai akhir hayatku. Karena meski tak ada jalan pulang, tempat ini telah menjadi rumah dengan caranya sendiri. Bukan rumah yang kusangka, tapi rumah yang ternyata aku butuhkan.

Dan siapa tahu—mungkin suatu hari nanti, seseorang lain akan masuk membawa peta mereka sendiri. Dan mereka akan tahu, bahwa di tempat ini dulu pernah ada aku—yang datang tanpa benar-benar tahu arah, dan memilih untuk tinggal, karena akhirnya aku tahu, bahwa hidup tak harus selalu pulang untuk merasa selesai.

Postingan populer dari blog ini

apa aku boleh bahagia?

semua karena bacotmu yang jahat.

orang hanya percaya dengan apa yang mereka lihat