sempurna saja tak cukup.
Entah mengapa aku selalu merasa tak pernah pantas menjadi “aku”. Aku memang biasa saja, belum punya banyak pencapaian seperti orang lain, namun aku merasa menjadi “aku” benar-benar tak ada beban dan aku tak pantas seperti ini. Rasa damai yang ku damba kini terjadi walau aku ada di kamar kost yang kecil. Rasa tenang yang ku ingin ada walau kehilangan beberapa orang rasanya tak mengenakan. Tapi menjadi “aku” tak pernah ku bayangkan seberat ini sebelumnya.
Orang kira tanyaku ini sekadar keluhan. Orang kira ini sekadar drama. Padahal ini bukan sekadar bertanya pada hidup, tapi bertanya pada diriku sendiri. Tentang kenapa aku selalu merasa harus mengejar sesuatu agar dianggap layak, tentang kenapa aku merasa tak pernah cukup meski sudah berusaha jadi versi terbaik.
Sempurna saja ternyata tidak cukup. Tidak cukup untuk menenangkan omongan orang yang selalu punya standar mereka sendiri. Tidak cukup untuk membuat mereka berhenti menilai kenapa aku belum menikah, kenapa aku belum punya ini, belum punya itu. Tidak cukup juga untuk menghapus takut yang diam-diam tumbuh di dalam dada: takut salah pilih pasangan, takut rumah tangga tak sesuai ekspektasi, takut beda pandangan di tengah jalan, takut tak mampu membuat orang lain nyaman, bahkan takut untuk sekadar berharap.
Kadang aku bertanya, hidup macam apa ini? Mengapa aku harus merasa seperti berlomba padahal garis finisnya pun samar? Mengapa aku harus mendengar suara-suara yang tidak pernah hidup di tubuhku, tidak pernah memikul bebanku, tapi selalu merasa berhak memberi komentar?
Aku tahu aku banyak takutnya. Takut ini, takut itu, takut masa depan, takut kehilangan, takut mengecewakan. Tapi ya sudah. Hidup memang tidak pernah adil. Siapa suruh aku berharap terlalu banyak? Kadang aku pikir mungkin salahku juga yang terlalu sering menggantungkan diri pada gambaran ideal yang bahkan tidak pernah benar-benar ada.
Di balik semua itu, aku menemukan satu hal kecil yang diam-diam jadi tempat pulangku: aku tetaplah “aku”. Aku dengan kamar kost kecilku, dengan waktu yang kadang terasa kosong, dengan rasa tenang yang hadir meski tanpa pencapaian besar, meski dengan kehilangan yang menyakitkan. Mungkin inilah aku. Mungkin inilah bentuk sempurna yang sebenarnya: bukan sempurna seperti standar orang, tapi sempurna dalam keberanian untuk tetap hidup meski takut, untuk tetap berjalan meski ragu.
Dan mungkin, meski sempurna saja tak cukup, menjadi “aku” yang sekarang — dengan segala takut, gagal, dan luka — justru adalah satu-satunya hal yang paling mendekati utuh.