yang katanya 'surga'
Aku datang jauh dari dasar neraka, berjalan dengan luka di kaki dan sisa bara di dada, berharap di sini aku bisa bernapas lebih lama. Tapi ternyata, udara “surga” ini sama saja — cuma dibungkus lebih halus, diberi aroma bunga dan kata-kata manis agar terasa lebih bisa diterima.
Di sini memang tak sepanas asal usulku. Tak sebrutal dan sefrontal masa laluku. Tapi sisa-sisanya? Sama saja. Manusia tetaplah manusia — gemar menghakimi tapi takut dihakimi, sibuk memperbaiki citra tapi lupa memperbaiki isi kepala.
Racauanku dianggap aneh. Mereka bilang aku terlalu sensitif, terlalu emosional, terlalu... banyak mikir. Tapi kelakuan mereka tak jauh beda denganku. Hanya saja, mereka pandai membungkusnya dengan pakaian yang rapi, senyum yang dibuat-buat, dan doa yang dilafalkan hanya untuk didengar orang lain.
Balutan kulit mereka putih bersih, seolah kesucian bisa diukur dari seberapa terang warna epidermisnya. Tapi kalau kau bongkar sedikit lapisan luarnya, baunya sama. Busuk oleh iri, oleh pura-pura, oleh haus pengakuan.
Di sini, semua berlomba menjadi versi paling suci dari dirinya sendiri — bukan karena ingin berubah, tapi karena takut dibilang hina. Surga macam apa yang isinya orang-orang yang saling mengintip aib, sambil pura-pura mendoakan satu sama lain?
Aku tak tahu apakah aku terlalu rusak untuk tempat ini, atau justru tempat ini yang sebenarnya rusak tapi terlalu pandai berpura-pura utuh. Yang jelas, aku mulai rindu neraka — setidaknya di sana, semua orang jujur tentang betapa panasnya hidup.