kapan nyusul?

Di tengah tren nikah muda, aku merasa seperti anomali. Bukan karena aku anti pada pernikahan, tapi karena aku tidak ingin berbohong pada diri sendiri. Orang-orang di sekitarku seolah punya peta hidup yang sama: lulus, menikah, punya anak, menua bersama. Aku tidak menentang itu, tapi aku juga tidak ingin berlari hanya karena semua orang berlari ke arah yang sama. Kadang aku iri, bukan pada kebahagiaan mereka, tapi pada keyakinan mereka untuk mengikuti arus tanpa banyak bertanya. Aku iri pada kemampuan mereka untuk menyerah pada tekanan sosial dan tetap tampak bahagia di foto-foto yang penuh senyum.

Aku hanya belum menikah. Tapi di mata mereka, status itu seperti dosa sosial. Seolah aku gagal jadi dewasa hanya karena belum ada cincin di jari. Mereka bertanya dengan nada ringan tapi penuh makna: “Kapan nyusul?” Pertanyaan sederhana yang menusuk di tempat paling sunyi dalam kepala. Aku hanya bisa tersenyum, pura-pura tidak terganggu, padahal ada keinginan untuk bertanya balik: kenapa mereka begitu terganggu dengan pilihan hidup orang lain? Aku tak pernah menanyakan kenapa mereka menikah, kenapa terburu-buru, kenapa tetap bertahan padahal sudah tak bahagia. Tapi dunia ini aneh—diam dianggap sombong, jujur dianggap takut, dan berbeda dianggap salah.

Kadang aku berpikir, mungkin diamku salah. Kukira dengan diam, orang-orang akan berhenti menggonggong. Tapi rupanya semakin aku tenang, semakin keras mereka menilai. Mereka yang menikah dengan sponsor orang tua berbicara lantang soal kemandirian. Mereka yang hidupnya masih ditopang berbicara tentang tanggung jawab. Mereka yang tak pernah benar-benar memikul beban berbicara tentang kesiapan. Ironi yang terlalu nyata, tapi dibiarkan karena status “sudah menikah” seolah cukup untuk menutup semua celah logika.

Aku tidak menolak menikah. Aku hanya tidak ingin menjadikannya pelarian. Aku ingin hidup yang dijalani karena sadar, bukan karena takut. Aku ingin cinta yang lahir dari kesiapan, bukan kepanikan. Karena di balik banyak pernikahan yang tampak bahagia, aku melihat mata yang lelah, hati yang dingin, dan kehidupan yang penuh kompromi tanpa arah. Mereka menang di mata sosial, tapi kehilangan diri mereka sendiri pelan-pelan.

Tidak semua orang punya privilese yang sama. Tidak semua bisa memulai hidup baru dengan tabungan aman dan restu tanpa beban. Beberapa dari kami masih berjuang untuk berdiri sendiri, bukan karena ego, tapi karena ingin memastikan bahwa nanti, saat waktunya tiba, kami benar-benar siap berbagi hidup, bukan sekadar menambah beban. Tapi dunia tidak sabar pada orang yang sedang mempersiapkan diri. Dunia hanya tahu hasil, bukan proses.

Aku lelah, tapi juga sadar. Bahwa diam bukan kelemahan, melainkan bentuk perlawanan paling halus. Bahwa tidak menikah belum tentu berarti kesepian. Kadang justru di kesendirian, aku menemukan kejujuran yang tidak kupahami saat berada di tengah keramaian. Karena di dunia yang sibuk berpura-pura bahagia, mungkin kesendirian adalah satu-satunya ruang di mana aku benar-benar jadi diriku sendiri.

Postingan populer dari blog ini

apa aku boleh bahagia?

semua karena bacotmu yang jahat.

orang hanya percaya dengan apa yang mereka lihat