Oliv.


"Pertemanan itu bukan kayak rumus fisika atau matematika yang satu tambah satu sama dengan dua dan semua orang bakal agree hasilnya. Lo ngertiin gue dong. Kaku banget kayak kanebo kering lo!" seru Oliv, tepat di telinga kananku. Aku pun hanya diam merunduk tak berdaya. Entah mengapa, lidahku kelu bila bersamanya.

Menurutku, apapun yang ia pinta serasa titah seorang ratu yang selalu aku laksanakan. Namun, selalu ada ragu dalam diri saat hendak mengungkapkan rasa yang telah lama mengendap di hati. Bagaimanapun, aku tak ingin kehilangan sahabat terbaik yang sudah dihadiahkan semesta.

Olivia. Dia orang yang mengetahuiku sampai akar termurni dan tanpa diduga, dan harus kuakui kalau aku jatuh cinta padanya. Dia adalah saksi hidup kenakalanku yang kadang terasa tak masuk akal jika ditilik lagi hari ini sejarahnya. Dialah yang paling tahu keisenganku, bau khas seragamku yang terpanggang matahari karena belum kenal parfum yang wangi.

"Liv, gue suka sama lo," ucapku dengan jelas, "gue beneran suka sama lo. Lo mau nggak, jadi pacar gue?"

"Lo buta?" Teriaknya. Ia membanting tas ranselnya ke kursi dan pergi keluar kelas.

"Curtis Milano! Kuping lo dimana sih? Lo nggak denger, dari tadi gue teriak-teriak manggil lo? Dasar, Cumi." omelan Alex, sahabatku yang lain, pagi ini membuyarkan lamunan. Keberadaannya yang ternyata sudah sedari tadi tak aku sadari. "Lo kenapa, Cumi? Wajah lo kusut amat. Udahlah, balik demi nikahan gue ini, nggak bikin hidup lo berakhir. Di lab juga banyak orang yang backup kerjaan lo. Udah lama lo nggak balik. Don't worry be happy, brother."

"Enggak, gue lagi berfilosofi Lex."

"Bahasa lo ketinggian, Cumi. Ngayal apaan lo?" ujar Alex, sembari terkekeh memperhatikan tingkahku.

"Nasib lo bagus juga ya. Lo tau hukum Hooke kan?" tanyaku lemas, "Gaya itu berbanding lurus sama jarak pergerakan pegas. Nah, seharusnya ya kalo dikomparasikan, wajah tampan, otak encer, dan dompet tebel gue, berbanding lurus sama nasib percintaan gue. Tapi nyatanya? Lo duluan yang nikah, sama...." Aku tak melanjutkan ucapanku. Tenggorokanku tersekat ketika mengucap namanya.

"Maksud lo? Paras gue kurang rupawan? Otak gue kurang brilian? Dompet gue kurang nyata, nih, nih." Alex mengeluarkan dompetnya dari saku celana yang isinya penuh dengan bon-bon tagihan.

"Halah, tapi kan lo-lo nggak inget janji lo?" tanyaku, setengah emosi.

Segerombolan bocah berpakaian putih abu-abu menjajah bangku kantin. "Cumi, kapan lo ajak gue ketemu Anti?" tanya Oliv sembari menyomot mendoan yang masih panas. Mulut Alex yang penuh, melongo tak percaya dengan kalimat yang baru beberapa detik lalu dilontarkan oleh Oliv.

"Nyo-nyo nyo-nyo-nyo!" ucap Alex tak jelas.

"Ngomong apaan lo Lex? Gak jelas banget kayak idup lo. Jadi cowok tuh kayak Cumi gitu lo. Anteng, kalem, ganteng, tajir pula. Nah, elo? Udah jelek, belagu, kere, nyusahin, idup lagi." Seperti biasa, omongan Oliv persis dengan komentar netijen yang lagi kurang asupan kuota.

"Kampret lo Liv! Omongan lo bener semua. Liat lo, kalo gue udah kerja. Gue traktir lo tiap gue abis gajian." ujar Alex tak gentar.

"Mau ngapain lo ketemu Anti? Gue aja males ketemu dia, lo malah pengen." jawabku singkat. Ia lebih asyik menikmati gorengannya.

"Mamam tuh rawit kalo kurang pedes." ejek Alex dengan suara tawanya yang menggelegar. Ia melemparkan beberapa cabe yang ia comot dari plastik gorengan yang kubeli.

"Sialan. Nih, cabe-cabean buat lo!" balas Oliv dengan menjejalkan cabe ke mulut Alex dengan paksa.

"Bentar lagi kan lo mau sekolah di luar Cumi. Nasib gue sama si belek gimana kalo lo tinggal. Kita nggak ada sponsor lagi dong. Kalo lo kenalin gue ke calon lo, paling nggak gue kalo butuh duit bisa minjem sama dia. Bener nggak?" Kedua alis Oliv naik turun, mencoba meyakinkanku akan ide anehnya.

"Apaan sih lo? Sana lo! Katanya lo dipanggil Bu Trias. Keburu dia ngaung lagi ntar!" Aku mendorong tubuh mungil Oliv untuk segera pergi. Oliv pun pergi meninggalkan kedua kawannya. Suara tawanya tak henti ia tawarkan hingga suara khasnya itu terdengar samar semakin menjauh.

"Coba lo ngertiin gue dikit, Liv." ucapku lirih.

"Ngomong apaan lo?" tanya Alex. Aku hanya diam tak bergeming, memasang tampang innocent dan kemudian menggelengkan kepala dengan cepat.

"Heh, lo mau denger cerita gue nggak? Mumpung nggak ada si tai lalat Isyana." Bisik Alex, "Gue naksir sama Dhita. Lo tau nggak Dhita?"

"Dhita siapa? Anaknya Ncang Rohim tetangga lo?" sahutku asal.

"Sialan, dia masih SD, bego. Dhita? Pramudhita Soetardjo, anak IPA 5, Cumi." Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala dan masih tak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Alex.

"Aduh, Dhita, masak lo nggak tau cewek secantik dia sih. Anak baru yang naik mini cooper warna kuning, kata anak-anak bapaknya anggota dewan, lahir dua hari sebelum gue, makanan kesukaannya ayam goreng mbah jenggot, penyanyi favoritnya Charlie Puth, apalagi ya? Oh, kemaren pas ulangan Biologi, dia dapet nilai 8, keren nggak calon pacar gue?" ujar Alex dengan antusiasnya. Kumis tipis yang sengaja tak ia cukur, naik turun ikut menceritakan semua hal yang ia ketahui tentang pujaan hatinya, Dhita.

"Nggak sekalian, Dhita yang kalo pipis jongkok, kalo makan dikunyah 38 kali, kalo nyetir mobil sambil duduk. Gimana kabar cewek-cewek yang lo ceritain ke gue kemaren-kemaren?" ucapku sinis.

"Siapa? Kaka? Irma? Siska? Mereka udah pada jadi mantan calon pacar gue. Sekarang, di hati gue cuma ada seorang Pramudhita Soetardjo." Manik mata hitam pekat Alex berputar. Sudah menjadi rahasia umum kalau dirinya merupakan seorang Don Juan. Rahasia itu tak hanya dikenal seantero sekolah, pelosok kota Jakarta yang mungkin belom terjamah tangan pemerintah pun mengetahuinya.

"Yakin lo? Gue harus check dulu, dia beneran cantik apa kagak. Lo kan type cowok gampangan. Agung Hercules pake gincu aja lo taksir." sindirku.

Ini bukan kali pertama sahabatku menceritakan kisah cintanya. Di usianya yang baru menginjak enam belas tahun, ia sudah mengantongi beberapa nama deretan mantan pacar. Belum lagi kalau ditambah dengan mantan calon pacar yang jumlahnya tak tahu persisnya berapa. Tubuh atletis, manik mata hitam pekat, dan rambut bergelombang kecoklatan, mendukungnya untuk melakukan hobby bergonta-ganti pasangan.

"Enak aja lo. Lo pikir gue cowok apaan. Nih lo liat foto di sosmed dia. Cantik kan. Bidadari aja minder kalo ketemu dia." ucap Alex menggebu-gebu.

"Efek kamera paling itu. Di edit empat hari empat malem sebelum di upload." sindirku, mengingat jaman sekarang semakin moncer aplikasi edit foto yang luar biasa gampang penggunaannya.

"Awas lo kalo naksir dia! Gini aja, mending kita bikin perjanjian. Kita sebagai sohib, enggak bakal pernah punya satu gebetan yang sama. Gimana?" usul Alex.

"Oke. Selera gue kan lebih oke daripada selera lo. Gue lebih suka yang kayak Tatjana Safhira. Putih, cantik, mulus, body-nya aduhai. Lagipula kan gue udah kayak Pangeran William, kaya, cakep, sempurna. Dia kayak Kate Middleton. Udah pasti cocok." Tanpa banyak ba-bi-bu ia menyodorkan tangan kanannya. Alex pun menyambarnya, "Ngimpi lo ketinggian, Cumi." Tak lupa ia membalas menoyor kepalaku dan meninggalkanku sendiri.

Hatiku masih belum sembuh sepeninggal Oliv menolak cintaku. Tapi, sayap-sayapku masih belum patah seutuhnya. Masih ada serpihan harapan yang siap aku untai lagi untuknya. Aku sudah hapal di luar kepala bagaimana lengkung bibirnya terbentuk setiap ia mengucapkan satu-dua kalimat canda yang sebenarnya sungguh garing tak ada duanya. Timpalannya yang lucu, balasannya yang kadang diselingi sipuan malu membuatku merindu.

"Rocker masak nangis? Melankolis amat lo." ucapku seraya melempar jaket kulit hitam Alex yang tersampir di daun pintu kamarnya.

"Siapa yang nangis? Gue cuma sedih." pekik Alex, tak terima akan statement yang aku tujukan padanya.

Ia membersihkan wajahnya dengan selimut. Rambut hitamnya acak-acakan tak karuan, kaos bergambar pistol dan bunga mawar tak ia ganti berminggu-minggu, dan bau tubuhnya lebih asam dibanding jeruk nipis. Sudah seminggu ini, Alex terlihat murung dan tak keluar dari kamarnya. Tunggu, bukan kamar, ini lebih tepat kalau dibilang kandang.

Tak ada cahaya yang masuk ke dalam kamarnya, gelap gulita. Belum lagi pakaian yang berserakan di setiap sudut kamar, tak tahu bersih atau kotor, selagi belum bau, ia akan memakainya kembali. Kertas kusam bekas bungkus nasi dengan tulisan tangan dibaliknya menumpuk di sebelah nakas, tak tahu nasibnya. Kasur dan ubin memiliki warna senada, abu-abu, seperti habis dihujani abu vulkanik Gunung Sinabung.

Alex memeluk gulingnya, menarik selimut untuk menutup seluruh tubuhnya. Ia kembali membenamkan tubuhnya. Pikirannya masih belum dapat melupakan peristiwa malam itu. Peristiwa dimana Dhita memutuskan hubungannya dengan Alex. Banyak rasa penyesalan yang ia pendam dan terlalu banyak kenangan manis ketika bersamanya. Setahun, Alex mengejar cinta Dhita dan satu bulan setelah mereka berpacaran, Dhita memutuskannya dengan tragis.

"Dhita, jangan putus! Gue masih sayang sama lo. Masak lo cemburu sama bulu idung Song Hee Kyo, Oliv? Dhita!" pekik Alex, dalam kamarnya.

"Jangan putus, Dhita! Gue kan enggak ada maksud ke elo. Oliv temen gue. Masak lo cemburu sama makhluk kayak dia, sih." mohon Alex. Dhita tetap tak bergeming, rasa cemburunya telah membakar habis kepercayaannya pada Alex. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau Alex bermesraan dengan Oliv.

"Dhita, denger penjelasan gue dulu. Gue sama Oliv itu cuma temenan. Lo tahu kan." tatapan mata Alex tak bisa lepas dari Dhita. Ini sudah seperti makanan sehari - hari buat Alex. Setiap ia memiliki kekasih, semuanya akan berakhir seperti ini. Putus karena cemburu melihat hubungannya dengan Oliv.

"Teman mana yang mesra-mesraan di Mall? Temen mana yang makan di restaurant sambil suap-suapan? Temen mana yang diajak live music cuma berdua?" tanya Dhita. Ia sudah jengah menghadapi ini semua. Ini bukan sekali atau dua kali ia melihatnya. Kejadian ini terus berulang di hubungan mereka yang masih seumur jagung.

"Aku ini pacar kamu." suara Dhita bergetar menahan tangis.

"Please, hubungan aku sama Oliv cuma temenan. Lo bisa tanya sama Cumi. Kita bertiga temenan dari jaman Ucil belom kenal Mbak Yul. Please, jangan putusin gue!" Alex memegang kedua tangan Dhita dan kemudian memeluknya dengan erat.

"Aku mau putus." dengan tegas dan jelas, Dhita kembali mengulang perkataannya. Ia meronta dari pelukan Alex, mendorongnya pelan, dan pergi berlalu meninggalkannya.

Begitulah, akhir kisah cinta Dhita dan Alex. Diusia pacaran mereka yang baru satu bulan, Dhita mengatakan kata putus di hadapan Alex. Dengan mata kepalanya sendiri, Dhita mempergoki Alex bermesraan dan jalan berdua dengan Ojak. Sungguh malang kisah percintaan Alex.

"Seminggu lo enggak sekolah, nyet! Putus cinta sih putus cinta, tapi enggak sampe segitunyalah. Masih banyak cewek lain. Tapi mereka juga enggak bakalan mau sama lo, kalau lihat lo begini. Bau, kucel, putus sekolah lagi." nasehat Cumi pada sahabat baiknya itu.

Ini bukan kali pertama Alex berbuat demikian. Sebelumnya ia melakukan hal yang sama karena cintanya ditolak oleh Wina, digantung oleh Dewi, dan yang paling mengenaskan ketika ia diputuskan oleh Venya. Sudah panjang daftar wanita yang jadi mantan pacar ataupun masih sekedar mantan calon pacar dari Alexander Toda. Kalau mereka dikumpulkan menjadi satu, mungkin akan sama dengan jumlah peserta upacara di Istana Negara tiap hari ulang tahunnya.

"Lu kesini mau hibur gue apa cuma mau ngledek gue? Tau temennya lagi putus cinta. Kayak nenek gue, lo. Berisik." balas Alex. Ia melanjutkan sepinya, meringkuk dibalik selimut tebal biru bergambar karakter kucing robot kenang-kenangan dari mantannya.

"Terserah, lo! Gue mau balik." Aku meringsut berdiri dari duduknya.

"Eh, jangan balik dulu! Pinjemin gue duit buat beli makan." Alex membuka selimutnya, menarik kaki kawannya yang hendak melangkah pergi.

"Besok kalo emak gue balik  gue ganti. Please, selametin nasib gue!" imbuh Alex, wajahnya memelas seperti anak kucing meminta jatah makan.

"Au, gelap." Kaki Cumi meronta dari genggaman tangan Alex.

"Ayolah, please! Katanya cengli." rengek Alex.

Tak tega melihat kondisi naas kawanku, aku mengeluarkan dompet dari kantong belakang celana jeans-ku. "Gue juga lagi bokek. Nih, kalo nggak percaya." Aku menjereng sisa uang di dompet. Hanya ada tiga lembar Kapiten Pattimura dan dua lembar Idham Chalid.

"Bullshit, kalo lo enggak punya duit. Kalo nggak kita nongkrong aja sekarang, sekalian ngehibur gue, sekalian bayarin gue makan." pekik Alex tak mau tahu.

"Dasar lo!" Aku melempar selembar kertas kusam yang mendarat sempurna di muka Alex

"Thanks, my brother!" teriak Alex dengan wajah berhias senyum lebar. Tak lama, terdengar sayup suara honda cub butut yang biasa kupakai kemana-mana, semakin menjauh dari rumah Alex.

Alex sibuk mengunyah makanan yang ia pesan. Ia seolah tak peduli dengan apa yang baru saja terjadi, sampai Oliv datang. "Hai, guys!" Sapa Oliv dengan nada manjanya, seperti biasa. "Lo putus sama Dhita, Lex? Dhita teror gue mulu, tauk." Oliv mencebik bibir merahnya.

Melihatnya, membuatku merasa bahagia. Tenunan kain satin yang aku buat dari serpihan hati yang telah patah, hampir selesai. Aku memiliki asa untuk mencobanya kembali. Mencoba untuk mengutarakan isi perasaanku kepada Oliv. Di sisi lain ada setitik takut di hatiku karena kamu tak ingin persahabatan ini pecah, hancur berserak, dan mati.

"Eh, gue kasih tau. Kayaknya sekarang serius deh." ujar Alex tiba-tiba.

Aku mengeryitkan dahiku, "Maksudnya?"

"Apaan sih lo, Lex? Gak jelas! Gue pesen dulu." pamit Oliv. Dengan sepatu sneakers merah jambunya, ia melangkah menjauhi meja.

"Setelah gue pikir, telaah, dan amati, gue mau move on dan kayaknya, Oliv boleh jadi persinggahan terakhir hati gue deh. Ya, nggak?" Alisnya bergerak naik-turun dan itu meruntuhkan benteng pertahanan yang hampir selesai kususun. Benih yang baru kusemai, mendadak gersang. Aku yang sedadi tadi terkesima memandangi Oliv, seketika dibuat kaget oleh statement-nya.5

"Kenapa lo? Aneh. Lihat tuh, Oliv. Cantik, body-nya oke, pinter, bapaknya dubes pula, dan menurut gue kita udah ada chemistry." imbuhnya. Aku diam tak percaya.

"Ngomongin gue ya? Udahlah, gue udah tau kalo gue ini cantik. Nggak perlu lo perjelas." sahut Oliv yang tiba-tiba kembali muncul dihadapan kami.

Sepeninggal itu, Alex semakin gencar mendekati Oliv. Ritual harian yang biasa kita lalui bertiga, mulai aku tinggalkan perlahan. Kegiatan sederhana seperti berbagi gelak tawa pun sudah tak lagi sama rasanya. Berbagai alasan aku berikan demi tak melihat kemesraan mereka berdua. Aku tak sanggup jujur kepada Alex meskipun ia sahabatku. Perjanjian yang telah kami buat, malah menjadi awal kisah kehancuran hubungan kami bertiga. Hingga tepat 7 tahun kepergianku ke Massachusets, undangan pernikahan Alex dan dia tiba.

"Nih lo bawa. Ntar lo kasih ke gue ya! Jangan sampe ilang, berliannya asli bukan hadiah chiki. Nabung dari SD cuman bisa bayar dp doang," ujar Alex. Ia memberikan ring box pernikahannya yang terbuat dari kaca dengan grafir inisial namanya dan calon istrinya. Aku gelagapan menerimanya, seakan masih tak percaya dengan apa yang terjadi.


"Lo kenapa, sih? Yang mau nikah gue, kok elu yang grogi?" Tanya Alex. Ia mengeryitkan dahinya, menautkan kedua alis tebalnya.

"Gue, gue masih nggak habis pikir aja. Kok elu tega, Lex."

"Tega kenapa gue? Hah? Ngomong apaan sih, lo? Lo masih jetlag apa gimana?" Wajah Alex yang tadinya berbinar jadi kebingungan menatapku.

"Lo nggak tau, kalo gue-gue...."

"Kenapa? Lo masih suka sama Oliv?" Ucapan Alex barusan seakan memberiku headshot, tembus hingga ubun-ubunku. Kakiku menjadi lemas dan aku jatuh terkulai di sofa putih di kamar Alex.

Perasaanku yang terpendam selama ini, perlahan memaksa mengucur keluar dari bibir. "Oliv." Nama seorang kawan yang kini sulit aku ucap. Nama seseorang yang sempat dan belum terganti di hati hingga hari ini. Seseorang yang sempat singgah sementara di hatiku.

Alex mengekor, ia ikut duduk di sebelahku. Ia menepuk pundakku perlahan, "Gue kenal lo, dari jaman lo masih berak di celana, Cumi. Gue paham sama kelakuan lo gimana." Aku terdiam, tak berani menatap atau sekedar melirik Alex. Aku diam terperanjat tak berdaya.

"Lo pergi ke luar juga karena dia tolak lo, kan? Lo diemin gue, selama ini? Karena dia juga, kan? Dia udah cerita semua dan lo tau nggak?" Alex bersikap santai, tak menggebu-gebu panik atau seperti yang aku kira dan aku hanya sanggup menggeleng lemas.

"Kenapa lo nggak jujur ke gue? Lo takut ngelanggar janji kita?" Tanya Alex kembali.

Sempat terpikir olehku untuk melanggar janji itu dulu. Tapi hati kecilku menolaknya. Aku tak ingin menodai persahabatan yang sudah lama terjalin dengan mereka berdua. Namun, justru aku meruntuhkannya dengan menjauh dari mereka.

"Udahlah, Lex." Jawabku pasrah. Semuanya sudah terjadi. Beberapa menit lagi, kami akan berangkat untuk pemberkatan. Tak ada yang dapat aku lakukan untuk mencegahnya.

"Apa yang bisa gue lakuin buat nebus kesalahan gue? Hah? Gue bakal cariin lo cewek, yang lebih dari segalanya dari Oliv."

"Udahlah, biar gue menata hati gue dulu."

Mereka bukan orang asing dalam hidupku. Tujuh tahun kepergianku, belum sepenuhnya memulihkan sakit hatiku. Alex dan Oliv bisa jadi sepasang teman sekelas yang awalnya membuatku jengah disandingkan sekelompok hanya karena urutan nomor absennya berdekatan. Mereka bisa juga sepasang partner di Lab Fisika yang selalu cekikikan bersama setiap guru menjelaskan langkah praktikum. Bersama merekalah aku menuntaskan kegilaan di masa sekolah.

Pemberkatan hendak dimulai, sebagai groomsmaid aku berdiri di dekat altar, samping Alex. Ia mengenakan jas berwarna broken white yang bagus, rambutnya diberi minyak, disisir rapi ke belakang dan tak lupa ia memamerkan senyumnya. Calon pengantin wanita memasuki ruangan, ia di gandeng oleh ayahnya nampak anggun mengenakan gaun putih berenda senada, dihiasi kerlip permata, dan berekor lumayan panjang. Aku tak bisa melihat ekspresi dan wajahnya karena ditutup oleh tile berwarna senada dengan gaun gemerlapnya.

Mereka mengucap janji suci mereka, disaksikan dengan malaikat Tuhan, keluarga serta teman dekatnya. Alex dan Oliv, telah resmi menjadi satu daging, menjadi suami-isteri. Air mata tak bisa kubendung. Aku ikut bahagia di hari besar sahabatku ini.

Alex berjalan mendekati isterinya, ia membuka kain tile yang menutup wajah isterinya, dan ia mengecup bibir mempelai wanita yang telah resmi menjadi isterinya. Seisi ruangan bergembira dan bertepuk tangan, ikut bahagia menyaksikan Alex dan Oliv.

"Congrats, Lex. Doain gue cepet nyusul lo." ucapku, usai acara.

"Kenalin nih, isteri gue. Sayang, ini Alex. Dia ini temen gue dari jaman megalitikum. Gue udah pernah cerita kan?" Kata Alex, "Tujuh taun dia ngilang, padahal gue hubungin dia tiap hari, gue cari dia, tapi ngak papa yang penting pas gue kirim undangan nikahan kita, dia langsung balik. Tamu jauh lo dia."

"Hai, Oliv." Mataku memandangi isteri Alex lekat-lekat. Ku putar kembali memori yang sempat ku singkirkan. Suaranya, gestur tubuhnya, wajahnya nampak berbeda dengan Oliv yang aku kenal dulu. Oliv, isteri Alex, berwajah bulat, kulitnya putih pucat, tingginya tak sampai pundakku, di pipinya bertumpuk berkat yang terlalu melimpah sehingga menyebabkan hidungnya tersembunyi.

"Lo oplas, Liv?" Entah apa yang ada dibenakku. Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku. Alex memukul kepalaku dengan buku tata ibadah yang ia pegang.

"Heh, Cumi! Oliv gue, sama Oliv lo beda. Oliv gue lebih cantik, lebih punya sopan santun, nggak kayak Oliv punya lo, blangsak!"

Inderaku masih belum percaya. Kuputari Oliv perlahan. Kupandangi dia dari ujung rambut hingga ujung kali. "Plaaak!" Kali ini buku tata ibadah, mendarat di pipiku. "Lihatnya nggak gitu juga kali. Dia bini gue sekarang."

Aku tak percaya. Jauh aku membelah bumi untuk datang ke pernikahan Alex, menyiapkan hati yang akan patah kembali, membangun bendung untuk air mata yang akan tumpah. "Lo pikir, gue bakal makan temen? Gue jelek juga tau diri, Cumi. Kalo Oliv yang lo cari, tuh." Kedua lengan Alex memegang kepalaku, ia memutarnya ke arah jam 9 secara paksa.

Ada rasa hangat setiap memandang matanya, ada rindu yang tak tertahankan selama perpisahan panjang ini. Tapi cinta memang tak bisa diminta datang dan pergi sesuka hati. Bagaimanapun aku bersyukur karena hatiku berlabuh kepada dia yang segala tabiatnya telah aku pahami. Kehadirannya memang menggenapkan, keberadaannya menenteramkan.

Aku mulai harus berdamai dengan debar yang sering tiba-tiba muncul tanpa diundang. Menjumpainya tak lagi jadi kebiasaan kosong yang bisa dengan mudah dilupakan, perjumpaan dengannya perlahan jadi sungguh kamu nantikan. Tapi tetap saja, ada sumbatan yang menghalangi saluran tumpahan perasaan. Bagiku perasaan ini layak atau saatnya diungkapkan. Asal bersama dan bisa berbagi tawa semua perihal lain rasanya tak lagi penting di dunia.

"Oliv."

"Hai, guys! Selamat ya Lex. Kembaran aku, Oliv selamat juga."

"Hai, Cumi. Lama nggak nongol lo, kemana aja? Kecanduan sama cewek bule lo?" Tanya Oliv, diiringi tawanya yang khas. Aku mematung, tak sanggup berkata.

"Dia habis bertapa, Liv. Cari cara buat dapetin hati lo. Apa kalian mau pake tempat bekas gue ini, biar gak bayar dekor gitu. Biar ntar kalo kita anniv, beli hadiahnya paketan. Lebih irit, bro." goda Alex.

"Oliv."

Pertemuan sederhana macam ini sudah bisa membuatku bahagia, mengetahui bahwa kamu adalah alasan di balik setiap gelak tawa yang keluar dari mulutku. Sekuat tenaga aku berusaha bersikap dengan sewajarnya. Menempatkan diri sebagai sahabat terbaikmu sudah cukup membuatku bahagia. Namun sungguh, sesungguhnya ada rasa yang tak lagi bisa dikategorikan sebagai biasa. Debar-debar itu harus segera menemukan jawabannya.

Postingan populer dari blog ini

ada hari yang patut disyukuri.

tangis yang kusimpan sendiri.

semua harus usai malam ini.