Dear Tante Lina: Panggil Aku, Please!

Badanku terbujur kaku jiwaku melayang-layang menunggu panggilan dari seseorang yang entah dimana dan siapa. Sehari, dua hari, seminggu, sebulan berlalu begitu saja. Tak ada kabar darimu sama sekali. Kolong plafon kamarku ini jadi saksi bisu. Enam bulan usai pesta pora atas prosesi pemindahan temali dari kiri ke kanan yang memakan waktu dan biaya yang tak sedikit berbanding terbalik dengan apa yang dapat kulakukan sekarang.

"Nanti kalau prosesnya sudah selesai, kami hubungi via telepon atau e-mail. Ada yang mau ditanyakan lagi?" Senyum penuh misteri dipertontonkan olehmu kala itu. Aku hanya dapat membalasnya, "Sudah cukup." Aku merapikan kemeja merah mudaku, bergegas menyambar jabat tanganmu, dan meninggalkan ruangan bernuansa putih itu. Sepertinya bukan pertanda baik kalau dilihat dari ekspresimu tadi, sudahlah tunggu saja.

"Semoga ini harinya." doaku setiap kaliku membuka mata. Semilir sepoi surgawi berhembus. "Iya, firasatku hari ini. Semoga." Imbuhku dengan penuh optimis. Mataku berbinar mendengar bunyi notifikasi. Lekas kuambil ponselku, komat-kamit kupanjatkan doa. Nasib sial masih menghantui, ternyata cuma grup chat info lowongan.

Aku tak tahu apakah penantian panjang ini akan sepadan. Apa ekspektasiku yang terlalu tinggi? Atau aku tak pantas untuk mendapatkannya? Aku terheran.

Sore menjelang, jam kerja telah berlalu. Tak mungkin lagi kabar datang hari ini. Sehari berlalu begitu saja. Tak ada hasil. Tenggorokanku semakin kering tanpa pelepas dahaga.

Hari baru, harapan baru. Jemariku tak mau terdiam sedari tadi. Netraku menatap layar ponsel yang sedari pagi kupeluk. Baris demi baris ku baca. Satu viewed, dua viewed, tak hanya sebaris atau dua baris saja. Tiga puluh baris atau mungkin lebih. Kubuka tutup surel, siapa tahu kabarmu menyangkut di udara.

Aku masih menunggu kabar darimu, Tante Lina.


Postingan populer dari blog ini

ada hari yang patut disyukuri.

tangis yang kusimpan sendiri.

semua harus usai malam ini.