lihat saja nanti.
Lihat saja nanti, kalimat yang sampai detik ini masih terngiang baik intonasi maupun ekspresi dari seseorang yang melontarkannya kepadaku secara langsung seperti baru terjadi kemarin. Itu juga yang melecut semangatku untuk terus menjadi yang lebih baik sampai hari ini seolah hidup hanya untuk pembuktian. Sampai dititik dimana aku merasa belum bisa memenuhi itu semua, aku baru tahu kalau semua harus dikolaborasikan kebahagiaan yang kita inginkan versi kita sendiri.
bagian 1. aku, si-biasa saja.
Aku kembali dikepung tembok cemas malam ini. Entah sudah berapa ratus domba yang melompat tapi kepala masih enggan diajak rehat. Padahal besok schedule padat yang pasti akan membuat mulut mengumpat.
"Lihat saja nanti!" kalimat yang seolah baru saja terjadi hingga ekspresi dan intonasi orang tersebut masih membekas. Dia memang bukan siapa-siapa buatku, tak ada kontribusi dalam proses dewasaku yang ternyata melelahkan ini tapi lewat ucapannya hari itu, sedikit banyak memberi motivasi untukku agar menjadi yang lebih baik daripada dirinya.
Kepalaku seakan diseret masuk kedasar pensieve. Ingatan masa lalu yang selama ini beku, mengantarkan aku sampai disini. Titik dimana aku baru sadar kalau hidupku ini cuma berisi pembuktian diri.
Aku masih bocah kala itu. Hidup santai, penuh haha-hihi, kepala belum ada isi, pokoknya yang nomor satu urusan duniawi. Sampai tibalah penyihir itu menceritakan semua anaknya yang bisa sukses dengan jalannya sendiri sedangkan aku, si-biasa-saja ini belum tahu bagaimana nasibnya besok sampai terucaplah mantra tersebut.
Setelah bertahun, si-biasa-saja mulai sadar. Mantra itu bukan sekedar kata-kata biasa. Kalimat itu pertanda kalau si-biasa-saja cuma secuil dari rakyat jelata yang masa depannya tidak ada apa-apa.
Komparasi yang tak seimbang terngiang di kepala dan si-biasa-saja tumbuh di dalamnya. Takdir tertulis kalau si-biasa-saja tidak menjadi apa-apa. Bukannya merendah tapi memang tidak ada yang bisa ditinggikan.
Kegelapan mulai menyelimuti. Dunia haha-hihi kini berubah sunyi. Hanya pertanyaan dari kepala yang menemani. Apa sekarang aku sudah sampai di "nanti"? Apa itu kutukan dari mantra ini? Kutukan itu menyiksa perlahan dan tak termaafkan. Dimulai dari jiwa dan kalau terabaikan akan menjalar hingga kemana-mana.
Semua orang memajang kesuksesan versinya masing-masing. Sedangkan aku, si-biasa-saja, hanya bisa memandangi dan mengagumi milik yang lainnya saja. Aku tak tahu apa yang sebenarnya mereka alami tapi yang pasti mereka semua kini sukses dengan jalan ceritanya masing-masing.
Malam kembali datang, mataku enggan terpejam meski ragaku merindukan kedamaian. Semua kenikmatan yang orang lain rasakan tumpah ke kepalaku dan membanjirinya. Satu persatu pertanyaan muncul sampai aku kewalahan menjawabnya.
Banyak kenapa bertebaran di kepala. Banyak tanya yang tak menemukan jawab. Banyak koma yang enggan bertemu titik. Banyak harap yang ingkar.
Mari kembali kuperkenalkan, aku, si-biasa-saja.
bagian 2. semua hanyalah komedi.
Hidup merupakan sebuah perjalanan panjang untuk mengenal semesta, Pencipta, dan kita. Lucunya, bagian paling rumit untuk dikenal adalah kita. Bagaimana tidak, kita bisa dengan mudah berkenalan dengan semesta lewat sains, Pencipta lewat agama, namun bagaimana kita bisa tidak kenal dengan diri kita? Padahal dalam kondisi apapun selama kehidupan, kita tetap bersama kita, tak pernah berpisah barang se-senti.
Terus jawabannya apa?
Jawabannya tak perlu sampai pergi ke ujung langit dengan seorang anak yang tampan dan pemberani. Semua sudah ada serta tak jauh dari pertanyaannya. Ya, ada di dalam diri kita sendiri dan hanya kita sendiri yang dapat menjawabnya.
Waktu?
Ia hanya akan terus bergerak, mengamati seberapa kuat kita bertahan, dan menertawakan ketika kita menyerah.
Kok lucu. Ya begitulah hidup yang kalau diibaratkan buku, halamannya tak terhingga, tebalnya jangan ditanya, belum selesai satu halaman sudah nambah tiga halaman.