Postingan

Menampilkan postingan dengan label Catatanku

semua harus usai malam ini.

Kecemasan beberapa bulan belakangan, harus usai malam ini. Semua yang berenang di kepala dan suara bising yang merambat lewat daun telinga harus mulai tahu tujuannya ketika hari ini selesai. Hal-hal yang menganggu tak boleh lagi ikut aku.  "Ini bukan kamu yang biasanya. Lagi kemana yang biasanya?" Lewat pertanyaan itu, aku mulai sadar. Iya, kemana aku yang biasanya. Aku perlahan meninggalkan tawaku dan sekarang aku benar-benar lupa bagaimana aku yang dulu. Usai peristiwa Jumat itu, jiwaku menjadi goyah. Telingaku yang sudah aku sumpal dengan earbuds masih kurang kuat hingga aku harus mendengar obrolan dia dengan teman kuliahnya yang juga temanku. Perang dingin masih berlangsung kala itu. Dia masih diam dan akupun melakukan hal yang sama. Suasana kantor sepi tapi ketenangan itu redam ketika Ia berteriak mengaku tak punya teman. Aku yang mendengarnya hanya terdiam dan langsung menaikan volume lagu yang kuputar. Segelintir orang langsung menatapku tajam. Aku berpura tak melihat

perasaanku yang kacau dan bajingan yang baik hati.

Ya, ini masih merupakan tulisanku tentangnya. Teman lama yang sekarang entah apa. Degub jantungku tak bisa berbohong. Ia tak mau diam sepanjang perjalananku menuju Purwakarta. Entah darimana aku berasal, jantung ini tak bisa memelankan iramanya ketika mendekati kota ini. Perasaanku semakin kacau ketika melihat rumah bercat kuning tepat di ujung pertigaan jalan. Walau beberapa teman terus menghiburku, rasa takut ini terus menyelubungi. Mereka tetap mendengarkanku meski aku tak mau bercerita. Mereka tetap peduli meski aku tak meminta. Dan mereka tetap selalu ada meski aku selalu menghindar. Dari balik ketakutanku, aku menjadi tahu siapa yang benar-benar peduli dan tidak. Siapa saja yang mencari kebenaran bukan pembenaran. Dari diamku tersirat seribu bahasa. Ternyata beberapa orang memperhatikan dari jauh. Telinga mereka jauh lebih tajam. Setiap percik air yang menetes, mereka lebih peka. Semua yang tak aku sangka justru aku ketahui dari suara-suara tanpa tahu sumbernya. Mereka memang buk

patah sebelum sempat tumbuh.

Ini menjadi kesalahanku yang kesekian kali dan aku yang bodoh tak punya niat untuk mengakhirnya segera. Berulang kali aku menolak rasa ini. Meneriakannya keras-keras kalau aku tidak sedang jatuh hati. Dia hanya seorang teman yang memang peduli dengan siapapun, bukan hanya aku. Kuulang terus kata “bukan hanya aku” ribuan kali di kepalaku. Dia memang orang yang ramah, mudah dekat dengan siapapun. Orang yang selalu ada bila ada yang kesusahan bahkan mau menjadi tameng bila diperlukan. Memang, kehidupan tak selamanya terang. Ada beberapa ritual yang tak seharusnya dia lakukan malah menjadi rutinitas dan yang seharusnya dia lakukan malah dia abaikan. Tapi, terlalu banyak tapi yang menganjal di hatiku. Dia orang yang selama ini aku cari. Pemikiran sederhananya dan setiap gerak-geriknya selalu menarikku untuk lebih bisa dekat dengannya. Seperti beberapa hari ini, suasana yang membuatku agak ngeri bisa dibuatnya lebih hangat hanya karena kehadirannya. Tak banyak bualan, ia lebih menunjukan sik

aku meninggalkan perasaanku ketika berangkat ke kantor.

Tagihan menghajarku tak kenal ampun. Belum sempat aku menghindarinya, datang pekerjaan lain yang ikut menyiksaku. Hah . Semua itu belum cukup. Pundakku masih terasa ringan, hingga semesta menambahnya dengan nyanyian sumbang orang lapangan yang dipadukan apik dengan musik ala kadarnya dari vendor dan jangan lupa, semuanya dipimpin oleh pemimpin orkestra, bos divisi lain yang kerjaannya menganggu kehidupan orang.  Bagaimana aku pulang sudah aku pikirkan sejak keluar gerbang rumah. Sepanjang perjalanan ke kantor, kuputar ulang kumpulan perjalanan pulang yang setidaknya melegakan dada. Ketika aku membuka mata, bukan chat dari mas pacar yang kutemui melainkan mandor yang meminta hak mereka dipenuhi. Semuanya terus terulang tanpa tahu ujung ceritanya. Kujejalkan headset ke lubang telingaku untuk meredam gemuruh petir di kepala dan menangkal berisik dunia tipu-tipu. Namun paduan suara sumbang luput juga. Lidah beracun tetap melecut hati. Tembok memulai aksinya. Skenario yang awalnya entah da

hal sepele yang membuatku ingin bertemu esok.

Puji syukur kalau kamu masih bertemu aku hari ini. Aku sendiri tak tahu sampai seberapa jauh aku bisa bernapas. Belum tentu Tuhan yang akan mengambil nyawaku, bisa saja aku sendiri yang mencabut napasku sewaktu-waktu semisal aku lenggang namun kepalaku masih berisik atau orang asing di jalan yang iseng menancapkan pisau ke dadaku. Toh, ada tertulis kalau kematian adalah sebuah keuntungan. Lelap yang kukira ampuh untuk meredam semua teriakan ternyata hanya menyisakan lelah yang teramat. Dorongan secangkir kopi hitam tak membuat mata mau terbuka di teriknya matahari. Namun di gelapnya malam, dongeng dari tembok lembab kamar tak pernah berhasil membuaiku untuk tidur. Semalaman menelusuri kenangan masa lalu, mataku baru mau terpejam lewat sepertiga malam. Kadang rasa ingin tahu membawaku jauh menyelami pikiranku yang berliku. Hingga tak terasa aku sudah tenggelam di dalamnya. Sesaat kurasakan kelegaan usai air mata menenangkanku. Namun selesai badai itu reda, langkah yang berat membawaku k

jangan berubah ketika kalian membaca ini!

Aku sulit menyusun kata dan menyampaikannya secara langsung. Aku merasa setiap bercerita, ceritaku tak kunjung mencapai klimaks. Lidahku pun mendadak kaku ketika ditodong pertanyaan, "kamu kenapa?" Padahal dalam hati aku senang, ketika ada orang yang ternyata menunggu kisahku. Walau aku juga tak tahu, bagaimana responmu setelah mendengar kisahku. Jujur aku ingin kalian tahu bagaimana aku dan perjalanan hidupku. Ketakutan terlanjur membalut lukaku. Aku yang sekarang, sulit terbuka dan menjadi misterius. Mungkin ini adalah kombinasi dari goresan yang selama ini aku kumpulkan. Mereka kini berubah menjadi benteng pertahanan yang kokoh. Aku tahu tak adil rasanya kalau aku menyimpan semua kisahmu tapi kamu tak punya kisah tentangku. Aku tahu kamu juga bertanya-tanya bagaimana ceritaku. Tapi, aku minta maaf karena aku tak bisa menceritakannya secara langsung. Bukannya aku tak mau tapi aku tak bisa. Aku paham kalau kalian tak bisa mengerti aku sepenuhnya kalau kalian sama sekali tak

untuk kita yang tak tahu sedang menunggu apa.

Aku selalu menarik napas dalam ketika duduk bersama dengan kamu seperti saat ini. Dinginnya hujan di luar, tak membuat api dalam hati ini padam. Semua yang melayang di kepala, tetap seperti itu adanya. Kisah tak sengaja ini, pernah menjadi sesuatu yang aku impikan. Cerita ini sempat singgah di mimpiku beribu malam yang lalu. Sampai akhirnya, kisah ini benar terwujud dan kamu menjadi cerita yang esok akan kukenang walaupun pahit ketika diingat. Kita hanya duduk bersama sampai hari ini. Tak bercengkerama atau bercerita. Sehingga kita tak pernah saling dekat. Walau lama kita duduk bersama, aku tak tahu isi kepalamu, tak tahu maksudmu, dan tetap tak saling kenal. Tujuan kita saat ini sama namun kita tak seirama. Banyak cara untuk kita sampai namun kita memilih duduk dan diam menunggu. Konyol memang disaat yang lain bisa bergerak bersama, kita malah duduk saling menunggu tanpa tahu apa yang dinanti. “Bisakah kita memulainya sekarang?” Pertanyaan itu yang selalu muncul di kepala tapi aku sel

sedikit keluh kesah malam ini.

Seharian moodku seperti wahana. Menjelang pagi aku sangat bersemangat menghadapi Senin di akhir bulan. Semua kalimat positif sudah aku ucapkan, semua doa sudah kurapal agar hari ini bisa kulewati tanpa drama. Kugosok gigiku sembari mengeset schedule dan menata apa saja yang harus aku lakukan dari pagi. Senin harus produktif. Sebentar, biar aku tarik napas panjang sambil mengingat hari yang tak terlalu baik ini. I.  Sampai di kantor, aku mendapat kabar dari teman semasa berseragam putih biru. Teman yang lebih dari lima belas tahun lalu aku kenal. Tanpa berbasa-basi, ia membagikan tautan. Aku sudah tahu sejak lama kalau dia menjalin cerita bersama seseorang. Tapi aku tak berpikiran kalau akan secepat ini. Benar, tautan tersebut adalah undangan pemberkatan pernikahan. Dari empat orang teman dekat sejak putih-biru hanya aku saja yang belum tahu arahnya bagaimana, yang paling muda sudah punya tiga putra, yang tertua menikah dan menetap di pulau yang paling cantik di timur pulau Jawa, sedan

sudah jujur saja salah apalagi bohong.

Hari ini gajian kedua setelah kembali ke proyek. Setelah memaksa diri untuk keluar, ternyata Tuhan masih pakai diri ini di proyek. Mau sejauh apa aku menghilang, tarikan ini lebih kuat dari dayaku. Lucu memang kalau ingat bagaimana aku bisa kembali. Lewat sebuah panggilan yang awalnya kukira telepon biasa. Pertanyaan yang umum untuk basa-basi hingga ajakan untuk bergabung kesini. Tanpa pikir panjang, aku mengiyakan. Lalu, aku sampai di kota ini.  Aku merasa ini semua memang sudah jalan hidupku. Aku tak ingin ada penolakan lagi sehingga aku tak bisa fokus dengan tujuan utamaku. Apalagi kalau bukan gaji bulanan yang semoga bisa menggemukan rekeningku. Tapi rintangan sebenarnya bukan karena kembalinya aku. Melainkan tawaran lain yang seharusnya bisa ikut menyumbang lemak-lemak dalam rekeningku. Mereka dengan mudah menawarkannya kepadaku bahkan kali ini tanpa ada tedeng aling-aling. Sebulan disini, aku sudah ditawari tiga kali. Dua kali lewat udara dan yang terakhir baru pagi tadi. Seharus

belum tahu dan belum pernah tahu.

Hari ini hidupku terasa penuh. Banyak hal baik yang ternyata datang kepadaku tanpa disadari. Hal yang tadinya kukira kutukan ternyata dirasakan juga oleh beberapa kawan. Hal yang kusangka keberuntungan ternyata lebih dari itu. Hal yang kupikir karma buruk ternyata lebih baik dari semua yang pernah kuterima. Sampai aku merasa logikaku tak cukup untuk mencerna semuanya. Hari ini aku tertawa karena bisa membelikan makanan kesukaan bapak. Aku juga bisa mengirim sejumlah uang untuk ibuk karena tak pernah ada yang ia mi ta kepadaku dan aku berharap dengan sedikit uang itu ia bisa membeli sendiri beberapa barang atau makanan yang ia sukai. Meski malam harinya aku menangis karena mengingat obrolan mendalamku dengan kawan lama yang kembali bersama setelah hampir tujuh tahun berpisah. Kami banyak bercerita tentang keluarga kami yang ternyata punya banyak kemiripan. Dua keluarga yang punya empat anak, sepasang bapak yang memiliki kesibukan di kota lain, dan sepasang ibuk yang selalu ada untuk ana

bermimpilah ketika sudah tertidur.

Beberapa hal tentang bodohnya diri ini baru aku sadari. Semua terpancing keluar dari sumur luka yang ternyata aku gali sendiri. Pelan namun aku konsisten melakukannya sehingga sekarang alat ukur yang aku punya sudah tak sanggup untuk memeriksanya. Sekian lama aku menekuninya sehingga kini aku semakin mahir untuk membuat luka di hatiku sendiri. Hal itu juga membuktikan kalau tangga yang aku bangun ternyata tak membawaku keatas melainkan semakin menenggelamkanku ke angan yang abu-abu dan dipenuhi kabut. Selama ini aku terlalu sibuk menyuapi egoku, menyalurkan hobiku untuk menyangkal segala realita yang ada di depan mata, serta terlalu sering memupuk harapan palsu orang-orang sok tahu di sekitarku. Semua yang dulu aku lakukan tak berbuah apapun dan sekarang tersisa sesak dan sesal. Langkah kaki yang terlanjur jauh terasa sia-sia ketika dipaksa kembali ke titik awal. Keringat kering ini belum menerima upahnya. Semua yang dikorbankan telah selesai perjuangannya. Aku lupa seharusnya mataku t

berawal dari kedengkian.

Kilas balik, perihal kenapa pilih nama ini? Awalnya iseng aja. Dulu jaman SMP lagi asyik-asyiknya main Facebook kasih nama pet di sana nama ini, gabungan nama belakang sendiri sama imbuhan -wati, biar keliatan jenis kelaminnya apa. Lanjut, gimana bisa ngide buat blog ini. Awalnya bukan dari blog juga sih. Pada mulanya Wattpad, terus karena emang gue-nya nggak sabaran dan nggak konsisten, pindah ke beberapa platform lain dengan harapan pengen banyak follower aja. Sempet ke tumbrl, joypad, banyaklah. Step stone paling keren sih jadi kontributor hipwee, sempet kirim beberapa cerpen juga. Tapi yang namanya manusia, masih nggak puas sama pencapaiannya sendiri.  Darisana, nggak sengaja liat temen SMP yang punya podcast sendiri. Sebagai leo berdarah campuran, panas deh. Ngerasa kok gue gini-gini aja ya. Selidik punya selidik, dia juga punya blog. Langsung deh, buka-buka file lama yang dulu dilupakan.  Tadinya nama yang dipilih bukan catatan tapi cerita. Lama-lama kok pengen disisipin cerpen s

kata maaf untukku.

Lembar demi lembar yang dibuka terdengar dari balik selimut. Suara televisi yang biasanya berkumandang hari ini absen. Lolongan anjing tetangga sayup membangunkan tidurku yang belum lelap. Ribut di kepalaku masih belum selesai dengan perkaranya. Maaf ini tak patut untuk mereka, aku yang seharusnya mendapatkan maaf itu. Aku tak bisa memilih dari rahim mana akan dilahirkan. Tak bisa memberi pendapat bagaimana cara dibesarkan. Hingga sekarang tak diberi ruang untuk sekedar hadir memberi pandangan.  Waktu luang yang ada juga tak pernah disuguhkan hangat untukku. Remah-remahnya yang seharusnya dibuang malah dikumpulkan kembali. Mereka menempatkannya di bekas bungkus yang masih lumayan bagus, kembali memakaikan pitanya, dan memberikannya kepadaku seolah itu hadiah mewah jerih payah selama tak bersamaku. Aku yang polos sangat bahagia menerimanya tanpa bertanya apa aku layak menerimanya.  Esok paginya aku jauh lebih mengerti, mencoba memahami kalau ini semua memang sudah menjadi takdirku. Wala

bermimpi seharusnya ketika aku tertidur.

Beberapa hal tentang bodohnya diri ini baru aku sadari. Semua terpancing keluar dari sumur luka yang ternyata aku gali sendiri. Pelan namun aku konsisten melakukannya sehingga sekarang alat ukur yang aku punya sudah tak sanggup untuk memeriksanya. Sekian lama aku menekuninya sehingga kini aku semakin mahir untuk membuat luka di hatiku sendiri.  Hal itu juga membuktikan kalau tangga yang aku bangun ternyata tak membawaku keatas melainkan semakin menenggelamkanku ke angan yang abu-abu dan dipenuhi kabut. Selama ini aku terlalu sibuk menyuapi egoku, menyalurkan hobiku untuk menyangkal segala realita yang ada di depan mata, serta terlalu sering memupuk harapan palsu orang-orang sok tahu di sekitarku. Semua yang dulu aku lakukan tak berbuah apapun dan sekarang tersisa sesak dan sesal. Langkah kaki yang terlanjur jauh terasa sia-sia ketika dipaksa kembali ke titik awal. Keringat kering ini belum menerima upahnya. Semua yang dikorbankan telah selesai perjuangannya. Aku lupa seharusnya mataku

yang paling bersedih di hari minggu.

Tak terasa sudah hari Minggu lagi. Buat kamu mungkin ini hari yang ditunggu. Setelah enam hari digempur  deadline  dan rutinitas, akhirnya tiba saatnya untuk melepas penat dan lelah. Akhirnya punya kesempatan untuk bangun lebih siang dan bersantai. Banyak rasa yang datang hari ini. Sebal, lelah, sedih, marah, semua saling sikut ingin menjadi pemeran utama. Tak ada yang jadi juara. Saat mereka merangsek datang, hanya sepi yang muncul di kepala. Entah, seharusnya keramaian ini membuatku bahagia namun malah kebalikannya. Ramai ini hanya pura-pura, sementara namun menjadi akhir dari segalanya. Kepura-puraan ini membuatku semakin percaya kalau kebohongan yang akan menang. Semua yang dimulai dengan kebohongan pasti akan berakhir dengan kepura-puraan.  

utuh walau rapuh.

Gadis kecil yang bernama kejujuran itu meronta. Sekian lama ia dikurung, akhirnya kini ia bisa melihat langit. Tak ada lagi kegelapan. Tak ada lagi ruangan pegap. Sesak di dada ini ingin segera aku akhiri. Aku baru tersadar kalau diam dan memendamnya tak membuat aku lupa akan kejadian itu. Apa yang aku lakukan malah membuatnya semakin menggerogoti hatiku. Aku seperti menanam ingatan dan menantinya menjadi masa lalu yang semakin menghantui. Aku merawatnya, menyiangi dari rumput liar, menyiramnya dengan rutin, dan tak lupa memberinya pupuk terbaik. Kini aku menuai hasilnya. Ia telah menjelma menjadi ketakutan yang jelas sangat aku hindari selama ini. Aku masih sangat mengingatnya. Jelas. Semua terasa seperti baru kemarin terjadi. Dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu. Yoh 8:32   Siang itu rumah sepi, hanya ada aku dan budheku yang sudah lanjut. Ibuku pergi menginap beberapa hari keluar kota dan ketiga saudaraku belum pulang sekolah. Aku masih sekolah dasar dan entah kenapa aku sampai

merangkum sewarsa.

Gambar
Tak terasa tiga ratus enam puluh lima hari berlalu dan semesta kembali memberi tiga ratus enam puluh lima hari lainnya untuk aku yang tak terlalu memberi kontribusi untuknya. Rencana demi rencana yang lalu belum semuanya terlaksana, beberapa daftar panjang masih belum tercoret dan sebagian resolusi belum terealisasi.  Hari ini lembar pertama buku baru dimulai. Kegagalan yang sebelumnya menyerang belum bisa dihadang. Kecewa yang lalu belum sepenuhnya berlalu. Ruminasi kembali berkunjung di malam hari. Patah hati yang mendekap malah mempererat pelukannya.  Setelah melalui tangis, tawa, kegagalan, dan berulang kecewa kini banyak halaman kosong yang bisa saja akan sama dengan buku sebelumnya atau bisa jadi lebih buruk. Tapi sebelum pesimis, aku percaya bekal pengalaman dan pelajaran hidup kemarin cukup untuk membawaku dan bahagia melalui peperangan di tahun yang baru.

di tengah perayaan kegagalan.

Perihal masa depan siapa yang tahu. Selamat untuk engkau yang sedang dirayakan! Habiskan waktumu untuk berpesta, sebelum aku kembali  yang tertawa. Bahagiamu mengemis dariku. Ingatlah kalau aku tak akan lagi sembunyi darimu.  Selama ini aku menanti hari ini. H ari-hari terbebas dari rasa sakit, kecewa dan sedih. Hari dimana aku merasakan kebahagian yang abadi. Perjalananku baruku dimulai. Empat kali gagal dalam perang yang sama tak membuatku kapok. Aku seolah bangkit kembali dengan segala fitur yang paling baru dan canggih. Aku akan baik-baik saja.  Taktik yang aku pakai memang tak tangguh seperti milikmu tapi itu hasil usaha dan keringatku sendiri. Aku memperjuangkan semua bersama diriku saja. Orang hebat yang ada disekelilingku, aku tugasi untuk bertepuk tangan, meneriakan namaku, dan memelukku kalau aku menang apalagi kalah lagi seperti yang terjadi hari ini. Apa yang terjadi bukan salahku, kamu, semesta, apalagi Tuhan. Bisa jadi kemenangan di medan perang yang ini memang bukan disi

jangan ada dongeng pengerat lagi!

Tak tahu harus tertawa atau menangis. Tertawa karena semua kebaikan yang sudah lama dilakukan seakan sia-sia dan itu semua hanya kebodohan yang pernah dilakukan atau kenangis pilu karena kebodohan yang kamu lakukan bertahun ternyata berimbas padaku. Bagaimana tidak, mimpi yang kukira bisa jadi kenyataan hancur karena kebodohanmu. Iya kebaikanmu selama ini adalah kebodohan. Bodoh karena kamu baik kepada mereka. Pengerat tak tahu malu dan tak tahu diri. Sampai beranak cucu, dia mengemis. Rumahnya berkilau emas sedang yang iba dengannya hanya beralas tanah. Cukup mimpiku saja yang kamu kalahkan dengan kebaikan untuk mereka. Biar mereka bahagia dengan harta pemberian sedang aku bahagia dengan tangis perjuangan. Sekarang pintaku sederhana. Duduk diamlah disana, kursi nyaman yang aku bangun dengan sisa kebaikanmu itu, nikmati hari tuamu dengan baik, sehatlah terus sampai aku bisa membalas sedikit kebaikanmu ini dengan segalanya yang kamu ingin. Cukup jangan dongengi aku lagi kisah pengerat y

semesta yang enggan mengiba.

Gambar
Pergumulan, kepahitan, kecewa, putus asa, dan kesedihan merongrong kalbu ini. Entah mengapa, pikiran-pikiran itu sekelebat datang tanpa pertanda, merangsek hingga tembus ke dada yang berjubel dengan rasa sesal dan membaur menjadi satu dengan kebencian. Tubuhku terbaring di atas ranjang kamar, namun jiwaku berpetualang entah kemana. Ia pergi membawa serta kegelapannya, berkelana mencari kenyamanan.  Tanpa ekspresi aku menatap langit-langit kamar. Sesekali aku mengedipkan mata, membasahi permukaan kornea yang kering karena cahaya lampu. Hening. Tak ada satupun suara yang terdengar. Perlahan cairan transparan meleleh beranak sungai. Bibirku terkatup tak sanggup berbincang. Suara-suara berisik di kepala mulai berteriak dan berkecamuk. Mereka menyatakan kehendaknya bersamaan. Tak sanggup lagi aku melerai mereka. Tak terasa sudah berhari-hari aku melakukan ritual itu. Ritual yang membuatku lebih damai walau tanpa beraktivitas apapun. Lapar, dahaga, kantuk, silih berganti mendatangi namun tak