perasaanku yang kacau dan bajingan yang baik hati.

Ya, ini masih merupakan tulisanku tentangnya. Teman lama yang sekarang entah apa. Degub jantungku tak bisa berbohong. Ia tak mau diam sepanjang perjalananku menuju Purwakarta. Entah darimana aku berasal, jantung ini tak bisa memelankan iramanya ketika mendekati kota ini. Perasaanku semakin kacau ketika melihat rumah bercat kuning tepat di ujung pertigaan jalan.

Walau beberapa teman terus menghiburku, rasa takut ini terus menyelubungi. Mereka tetap mendengarkanku meski aku tak mau bercerita. Mereka tetap peduli meski aku tak meminta. Dan mereka tetap selalu ada meski aku selalu menghindar.

Dari balik ketakutanku, aku menjadi tahu siapa yang benar-benar peduli dan tidak. Siapa saja yang mencari kebenaran bukan pembenaran. Dari diamku tersirat seribu bahasa.

Ternyata beberapa orang memperhatikan dari jauh. Telinga mereka jauh lebih tajam. Setiap percik air yang menetes, mereka lebih peka. Semua yang tak aku sangka justru aku ketahui dari suara-suara tanpa tahu sumbernya.

Mereka memang bukan ibu peri. Mereka punya masing-masing badainya di kepala. Beberapa dari mereka lebih bajingan dariku tapi paling tidak mereka masih mau menemaniku di tempat yang gelap, mau mendekapku sejenak hingga aku bisa sedikit tenang.

Aku yang tak bisa meminta tolong lagi hanya diam tak bersuara. Namun entah darimana tangan mereka datang. Ia, bajingan yang baik itu punya cara sendiri untuk melindungiku sampai aku sering tak sadar kalau tangan kotornya yang menghadang pisau mengejar setiap langkahku.

Jujur aku semakin tak mengerti. Perkara ini seperti benang kusut yang sudah tak bisa digunakan lagi. Bahkan untuk menemukan kedua ujungnya saja, sulit. Masalah yang awalnya sepele dan kupikir akan menguap begitu saja nyatanya tetap terus membara. Sesekali setetes air turun dan memadamkannya tapi akan berkobar ketika gesekan terjadi.

Ego yang tak bisa dibendung melawan perasaan yang patut diperjuangkan.

Aku tak mencari siapa yang benar. Aku tak butuh validasi akan itu. Kalau aku butuh, dari awal aku tak akan bungkam. Nyatanya aku tetap bungkam meski kadang rasanya sudah tak tahu lagi dengan apa aku menyumpal mulutku. Sering aku tak tahan untuk tak berteriak ketika dia merasa makhluk Tuhan yang paling tersakiti.

Diam yang kuperjuangkan malah dianggap angin lalu yang tidak akan merebahkan bulu. Semesta berjalan seperti biasa dan waktu terus berputar sebagaimana mestinya. Ia terus mencari panggung untuk menjadi yang paling bersinar di tengah gemuruh yang ia ciptakan.


Postingan populer dari blog ini

ada hari yang patut disyukuri.

tangis yang kusimpan sendiri.

semua harus usai malam ini.