Postingan

orang hanya percaya dengan apa yang mereka lihat

Setelah semua yang terjadi, aku percaya kalau semua orang berwarna abu-abu. Tak ada dari mereka yang berwarna putih atau hitam setelah mereka membaur menjadi satu di sini. Mereka yang awalnya berwarna putih akan menjajal dunia hitam. Walau kadarnya berbeda, toh mereka akan menjadi keabuan. Sedang mereka yang berwarna hitam, tak mungkin selamanya hitam. Ada beberapa sisi yang masih berwarna putih, kembali lagi dengan kadar yang berbeda juga. Setiap sikap baik yang mereka lakukan berbumbu curiga. Tak tahu apa motifnya, pikiranku selalu menjadi negatif. Aku tak percaya ada ketulusan hati disetiap sikap yang mereka tunjukan. Pasti ada secuil maksud yang mereka inginkan. Aku sebenarnya tak ingin sikap ini mematikan langkahku lagi. Lama-kelamaan ini bisa menjadi racun untuk aku sendiri. Aku takut aku tertular sikap mereka yang selalu ada maksud ketika dekat dengan orang lain. Tapi bagaimana aku bisa membangun percayaku kalau tiap kali semua sudah siap harus dihancurkan dengan sikap mereka? H

perayaan patah hati.

Aroma solar, rokok, pop mie, dan air laut bercampur. Gemuruh suara mesin dan teriakan pedagang menjajakan dagangannya diselingi dengan suara Nadin yang tak lelah menemani. Barisan pulau, lampu kota yang berkedip malu, dan penumpang yang lalu lalang mencari posisi terbaik meramaikan pemandangan. Semua berdendang indah selaras dengan gerak tenang ombak Selat Sunda. Gerimis kembali menyapa. Alam seolah menyemarakkan perayaan patah hatiku. Aku turut senang, kamu menemukan belahan jiwamu. Orang yang selama ini kamu perjuangkan dan tunggu. Tak ada yang salah dengan ini semua. Hanya ada aku dan ekspektasiku yang menenggelamkanku dalam kepedihan yang berlarut. Paling tidak dengan kehadiranmu yang sebentar, aku menjadi tahu kalau aku tidak sepenuhnya mati rasa. Masih ada sisa-sisa perasaan yang sementara ini kembali kosong. Sembari aku membersihkan serpihan lukaku, ijinkan aku merayakan kesedihanku agar nanti ketika seseorang datang, aku tak melukainya dengan puing peninggalanmu. Sekali lagi se

perjalanan mencari rumah.

Badai yang katanya datang menghantam tak kunjung mereda. Semua sibuk mengitariku. Tak hanya satu atau dua, masalah datang beramai-ramai. Semua berotasi seolah aku sumber dari segala sumber. Air mata sudah tak mampu melegakan pikiran. Aku kembali lagi menguji lambung lewat air perjamuan. Apa semua akan reda setelahnya? Paling tidak aku bisa melupakan semuanya sesaat. Entah ini sarapan atau makan malam, semua jadi tak ada bedanya buatku. Sayup suaramu jauh di sambungan telepon tapi aku terus menguatkan iman kalau dirimu bukan milikku dan aku bukan siapa-siapa bagimu. Semua yang ada nyatanya fana. Aku hanya seseorang yang mampir di teras rumahmu dan kamu menyapaku dengan ramah. Aku yang tak pernah dianggap menjadi merasa besar kepala dan menganggapmu hanya seperti itu kepadaku. Setelah pintu terbuka, aku melihat deretan fotomu bersama wanita lain dan aku langsung tersadar. Ternyata kamu bukan rumah yang aku cari. Aku sudah tak terlalu bersedih bukan karena ini bukan kali pertama, bukan ka

maaf, aku belum bisa menjadi rumah yang nyaman untuk diriku sendiri.

Hari ini sebenarnya hari yang sudahku tunggu. Tapi entah mengapa semua yang tadinya menggebu menjadi melambat. Satu persatu menghilang. Semua yang tadinya menghadang ikut melawan. Aku meringkuk di kamar seorang teman. Aku terpaksa mengungsi karena banyak hal yang aku takutkan. Aku tak berani menatap dan datang ke medan perang. Nyaliku tak sekeras suaraku. Aku lebih memilih bersembunyi ketimbang menghadapinya (mungkin) untuk yang terakhir. Semua orang akan kalah dalam perang. Saat ini aku sudah tak peduli siapa yang kalah atau yang salah. Aku hanya ingin menata hati agar aku tak jatuh terlalu jauh lagi. Semua yang berantakan sudah tak bisa lagi aku satukan. Semua yang hilang tak bisa kembali kalau memang bukan aku rumahnya. Semua yang kusentuh tak ada lagi rasanya. Semua yang kugenggam malah pergi menjauh. Melihat mukanya lagi setelah sekian lama tak bertemu serasa menguji adrenalin. Seluruh tubuh mengejang seolah tahu hatiku. Degub jantung tak mau berhenti. Seharian sibuk memperhatika

menyapa yang lama terabaikan.

Aku baru menyadari perubahan besar yang ada di diriku barusan. Mungkin kalau tidak ada seorang teman ini aku tidak menyadarinya sama sekali. Atau bisa jadi aku akan terus melakukannya hingga sadar ketika semua semakin jauh. Aku sudah tidak pernah lagi ada waktu untuk menanyakan kabar tentang diriku sendiri, menikmati secangkir kopi sendiri, bersepeda keliling kota sendiri, atau sekedar belanja sendirian. Siang hariku sibuk mengerti keadaan orang lain sedang malamku sudah terlalu lelah bahkan untuk membasuh lukaku sendiri. Tawaku masih rutin terdengar, terutama ketika matahari masih menyingsing. Ketika malam mendekap, aku dan pojok lembab kamar kesepian menanti matahari datang. Dalam senyap, air mata menetes. Ia tak memberiku ruang untuk beristirahat. Isi kepalaku berputar memikirkan yang mungkin tak memikirkanku. Aku sering merasa kesepian dan tak nyaman berlama-lama sendiri. Kadang aku merasa ketika aku butuh teman, mereka tak benar-benar hadir. Namun sebaliknya ketika mereka butuh, a

kata mereka kisahku tak seberapa.

Obrolan ringan di dalam mobil membuat malamku lebih panjang. Topik yang selalu baru dan sudut pandang baru membuat aku semakin ingin lebih dan lebih menggali. Semua yang sudah dilewati jauh berbeda dengan yang aku lewati. Semua emosi terdengar selalu tepat sasaran. Luka yang timbul akibat perjalanan hidup terdengar sempurna seolah semua seperti sembuh tanpa usaha. Entah memang dilupakan, sudah sembuh, atau disangkal. Semua terdengar samar. Dunia seolah berotasi kepadanya hingga dalam keheningan muncul pertanyaan, "bagaimana dengan kisahmu? Kuat, memendamnya sendiri?" Aku hanya terdiam. Hening, hingga ia kembali membuka obrolan, "Gimana?" Tanyanya sekali lagi. "Bisa, masih bisa." Aku menjawab sekenanya. Memang jika di tarik lagi kebelakang, aku yang paling antusias untuk mendengarkan cerita semua orang. Aku dengan senang hati meminjamkan telingaku untuk mereka. Entah kisah percintaan mereka, kisah hidup mereka, perjalanan karir mereka, hubungan dengan kelua

merayu Tuhan

Apa salahnya menaruh harapan ke Tuhan. Toh, Dia sendiri yang bilang Matius 7:7 (TB) "Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu." Tuhan, aku tak tahu lagi harus bagaimana aku merayu-Mu. Entah caraku yang salah, entah aku yang tidak bisa mendengar-Mu, atau memang Engkau belum menjawab doaku yang satu ini. Aku tahu kalau Engkau sudah tahu apa yang aku mau sebelum aku merayu-Mu lewat tulisan yang bisa saja dianggap banyak basa-basi menurut orang lain. Tapi tak tahu apa, ada sesuatu yang menggerakan hatiku untuk menyelesaikan tulisan ini. Tuhan, jalan yang aku lewati memang belum jauh, masih banyak hal yang belum aku lalui, coba, atau bahkan aku ketahui. Tapi jujur aku sudah lelah berpura kuat, menahan air mata, dan berjalan sendirian. Aku sudah capek menghadapi dunia ini sendirian. Aku lelah hanya menjadi pendengar cerita-cerita romansa orang lain. Aku lelah hanya menjadi penonton kisah cinta mereka. Jauh