menyapa yang lama terabaikan.

Aku baru menyadari perubahan besar yang ada di diriku barusan. Mungkin kalau tidak ada seorang teman ini aku tidak menyadarinya sama sekali. Atau bisa jadi aku akan terus melakukannya hingga sadar ketika semua semakin jauh. Aku sudah tidak pernah lagi ada waktu untuk menanyakan kabar tentang diriku sendiri, menikmati secangkir kopi sendiri, bersepeda keliling kota sendiri, atau sekedar belanja sendirian. Siang hariku sibuk mengerti keadaan orang lain sedang malamku sudah terlalu lelah bahkan untuk membasuh lukaku sendiri.

Tawaku masih rutin terdengar, terutama ketika matahari masih menyingsing. Ketika malam mendekap, aku dan pojok lembab kamar kesepian menanti matahari datang. Dalam senyap, air mata menetes. Ia tak memberiku ruang untuk beristirahat. Isi kepalaku berputar memikirkan yang mungkin tak memikirkanku.

Aku sering merasa kesepian dan tak nyaman berlama-lama sendiri. Kadang aku merasa ketika aku butuh teman, mereka tak benar-benar hadir. Namun sebaliknya ketika mereka butuh, aku tak punya alasan untuk menolak. "Aman?" Kata klise yang dulu sering kulontarkan namun ketika aku yang mendapatkannya, si jahat berbisik, "Ia tak benar-benar peduli, ia hanya ingin tahu saja." Dan aku menuruti semua katanya, "Aman."

Lalu datang si pitam menghancurkan segalanya. Semua hal yang sudah disusun di kepala lenyap hanya dengan sejentikan jari. Makanan enak tak terasa lezat lagi, air perjamuan jadi pilihan pelarian lain. Hingga lelap datang menemani air mata yang beranak sungai.

Ketika aku berkali-kali menyaksikan orang merayakan jatuh cinta mereka, aku masih sibuk menatap cermin sembari bertanya pada diri sendiri. Apakah orang sepertiku layak untuk dicintai? Semoga habis ini waktuku datang. Apa? Aku tak melakukan apa-apa. Aku masih sendirian di pojok kamar lembabku. Aku masih belum tahu apa yang aku mau. Aku masih sibuk menunggu tapi tak tahu apa yang ditunggu. Apa yang kucari juga aku belum tahu wujudnya. Jadi bagaimana aku bisa menemukannya?

Aku masih tertawan oleh pikiranku sendiri. Ketakutan masih membuai diriku. Sebesar itu gelisahku sampai sekarang dariku tak ada yang berubah. Aku abai dalam memperhatikan diriku sendiri. Semua yang menjeratku membuatku sibuk sampai aku lupa kalau aku sendiri belum utuh. 

Diiringi dengkur teman sekamar dan sesekali desis pengharum ruangan, aku mencari cara untuk menangis. Sesak di dada semakin sulit dilegakan, isi di kepala semakin berantakan. Mungkin aku terlihat bodo amat, kurang cemas, kurang khawatir, kurang murung, atau kurang alasan untuk menangis namun itu hanya seperti cangkang rapuh yang membalut lukaku. Semua akan hancur dan air mata akan merembes ketika simpati menghampiri.

Aku, tolong segera sadar diri. Lukamu sudah terlalu lama kau biarkan. Bila bukan kamu yang peduli siapa lagi? Tak usah mengharap seseorang untuk kembali. Teriakan semua yang selama ini kau redam. Letakkan bebanmu kalau kau sudah tak mampu membawanya. Tak harus selalu terlihat kuat. Kamu juga manusia yang tak apa kalau sesekali bersedih. 

Postingan populer dari blog ini

ada hari yang patut disyukuri.

tangis yang kusimpan sendiri.

semua harus usai malam ini.