perjalanan mencari rumah.
Badai yang katanya datang menghantam tak kunjung mereda. Semua sibuk mengitariku. Tak hanya satu atau dua, masalah datang beramai-ramai. Semua berotasi seolah aku sumber dari segala sumber. Air mata sudah tak mampu melegakan pikiran. Aku kembali lagi menguji lambung lewat air perjamuan. Apa semua akan reda setelahnya? Paling tidak aku bisa melupakan semuanya sesaat.
Entah ini sarapan atau makan malam, semua jadi tak ada bedanya buatku. Sayup suaramu jauh di sambungan telepon tapi aku terus menguatkan iman kalau dirimu bukan milikku dan aku bukan siapa-siapa bagimu. Semua yang ada nyatanya fana. Aku hanya seseorang yang mampir di teras rumahmu dan kamu menyapaku dengan ramah. Aku yang tak pernah dianggap menjadi merasa besar kepala dan menganggapmu hanya seperti itu kepadaku. Setelah pintu terbuka, aku melihat deretan fotomu bersama wanita lain dan aku langsung tersadar. Ternyata kamu bukan rumah yang aku cari.
Aku sudah tak terlalu bersedih bukan karena ini bukan kali pertama, bukan karena wanitamu yang nyatanya juga meninggalkanmu, tapi memang sedari awal aku tahu posisiku dimana. Lewat malam-malam penuh air mata, aku semakin tak tahu malu. Sayup suaramu masih terdengar dan aku sudah tak ada rasa. Semua yang dulu pernah ada, melebur entah kemana. Mungkin dahulu aku hanya kagum, tak pernah lebih, dan definisi rumahku tak ada di kamu.
Aku yang tak tahu arah hanya terus beranjak. Walau tak tahu bagaimana bentuk dan alamatnya, setidaknya aku bergerak dan berusaha mencari agar kakiku tahu kalau perjalanan ini belum selesai. Setidaknya aku menjadi tahu bagaimana rasanya mendapatkan pengharapan walaupun semu.
Perjalananku mencari rumah masih berlanjut.