Postingan

maaf, aku belum bisa menjadi rumah yang nyaman untuk diriku sendiri.

Hari ini sebenarnya hari yang sudahku tunggu. Tapi entah mengapa semua yang tadinya menggebu menjadi melambat. Satu persatu menghilang. Semua yang tadinya menghadang ikut melawan. Aku meringkuk di kamar seorang teman. Aku terpaksa mengungsi karena banyak hal yang aku takutkan. Aku tak berani menatap dan datang ke medan perang. Nyaliku tak sekeras suaraku. Aku lebih memilih bersembunyi ketimbang menghadapinya (mungkin) untuk yang terakhir. Semua orang akan kalah dalam perang. Saat ini aku sudah tak peduli siapa yang kalah atau yang salah. Aku hanya ingin menata hati agar aku tak jatuh terlalu jauh lagi. Semua yang berantakan sudah tak bisa lagi aku satukan. Semua yang hilang tak bisa kembali kalau memang bukan aku rumahnya. Semua yang kusentuh tak ada lagi rasanya. Semua yang kugenggam malah pergi menjauh. Melihat mukanya lagi setelah sekian lama tak bertemu serasa menguji adrenalin. Seluruh tubuh mengejang seolah tahu hatiku. Degub jantung tak mau berhenti. Seharian sibuk memperhatika

menyapa yang lama terabaikan.

Aku baru menyadari perubahan besar yang ada di diriku barusan. Mungkin kalau tidak ada seorang teman ini aku tidak menyadarinya sama sekali. Atau bisa jadi aku akan terus melakukannya hingga sadar ketika semua semakin jauh. Aku sudah tidak pernah lagi ada waktu untuk menanyakan kabar tentang diriku sendiri, menikmati secangkir kopi sendiri, bersepeda keliling kota sendiri, atau sekedar belanja sendirian. Siang hariku sibuk mengerti keadaan orang lain sedang malamku sudah terlalu lelah bahkan untuk membasuh lukaku sendiri. Tawaku masih rutin terdengar, terutama ketika matahari masih menyingsing. Ketika malam mendekap, aku dan pojok lembab kamar kesepian menanti matahari datang. Dalam senyap, air mata menetes. Ia tak memberiku ruang untuk beristirahat. Isi kepalaku berputar memikirkan yang mungkin tak memikirkanku. Aku sering merasa kesepian dan tak nyaman berlama-lama sendiri. Kadang aku merasa ketika aku butuh teman, mereka tak benar-benar hadir. Namun sebaliknya ketika mereka butuh, a

kata mereka kisahku tak seberapa.

Obrolan ringan di dalam mobil membuat malamku lebih panjang. Topik yang selalu baru dan sudut pandang baru membuat aku semakin ingin lebih dan lebih menggali. Semua yang sudah dilewati jauh berbeda dengan yang aku lewati. Semua emosi terdengar selalu tepat sasaran. Luka yang timbul akibat perjalanan hidup terdengar sempurna seolah semua seperti sembuh tanpa usaha. Entah memang dilupakan, sudah sembuh, atau disangkal. Semua terdengar samar. Dunia seolah berotasi kepadanya hingga dalam keheningan muncul pertanyaan, "bagaimana dengan kisahmu? Kuat, memendamnya sendiri?" Aku hanya terdiam. Hening, hingga ia kembali membuka obrolan, "Gimana?" Tanyanya sekali lagi. "Bisa, masih bisa." Aku menjawab sekenanya. Memang jika di tarik lagi kebelakang, aku yang paling antusias untuk mendengarkan cerita semua orang. Aku dengan senang hati meminjamkan telingaku untuk mereka. Entah kisah percintaan mereka, kisah hidup mereka, perjalanan karir mereka, hubungan dengan kelua

merayu Tuhan

Apa salahnya menaruh harapan ke Tuhan. Toh, Dia sendiri yang bilang Matius 7:7 (TB) "Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu." Tuhan, aku tak tahu lagi harus bagaimana aku merayu-Mu. Entah caraku yang salah, entah aku yang tidak bisa mendengar-Mu, atau memang Engkau belum menjawab doaku yang satu ini. Aku tahu kalau Engkau sudah tahu apa yang aku mau sebelum aku merayu-Mu lewat tulisan yang bisa saja dianggap banyak basa-basi menurut orang lain. Tapi tak tahu apa, ada sesuatu yang menggerakan hatiku untuk menyelesaikan tulisan ini. Tuhan, jalan yang aku lewati memang belum jauh, masih banyak hal yang belum aku lalui, coba, atau bahkan aku ketahui. Tapi jujur aku sudah lelah berpura kuat, menahan air mata, dan berjalan sendirian. Aku sudah capek menghadapi dunia ini sendirian. Aku lelah hanya menjadi pendengar cerita-cerita romansa orang lain. Aku lelah hanya menjadi penonton kisah cinta mereka. Jauh

tangis yang kusimpan sendiri.

Sampai sekarang aku masih belajar bagaimana cara meluapkan sedihku. Aku tak pernah menangis di depan seseorang. Aku tak tahu mengapa air mataku malu pada matahari sampai ia harus lelah menanti gulita. Aku tak mengerti mengapa ia begitu kuat tertahan padahal sesak di dada sudah tak sanggup di rasa. Hatiku koyak tercabik keadaan tapi mulutku selalu bilang tak apa. Entah mengapa sulit berkata yang sejujurnya tentang perasaan. Aku tak terbiasa bicara apa adanya tentang apa yang aku rasa. Suara berisik yang hanya ada di kepala tak bisa aku redam. Semua seakan berputar di situ saja. Siangku lelah dengan kesibukan tapi malamku diteror dengan rasa kesepian. Rutinitas, menu makanan, dan topik pembicaraan yang mulai membosankan menjadi bahan bakar overthinking ku. Sulit untuk melepas topengku satu-persatu. Ikatan mereka terlalu kuat di bibirku. Aku langsung merasa bersalah ketika lupa mengenakannya sebelum bangun dari tempat tidur. Aku tak berani melepaskannya barang sebentar sebelum semua orang

semoga yang tak kunjung sampai.

Aku mencoba sekuat tenaga menghentikan segala imajinasi liar. Detak jantung semakin kencang tiap kali notifikasi berbunyi belum lagi getaran ponsel yang semakin membuatku gemetar. Tanda-tanda ini muncul kembali. Semua yang sudah pernah kukubur kembali bangkit dari liangnya. Ambang warasku samar. Jam tidurku semakin kacau. Hari yang biasanya kulalui biasa saja menjadi mencekam. Suasana damai di kantor namun tidak dengan isi kepala yang meracau. Aku takut halusinasi ini berubah menjadi ekspektasi yang tak direstui semesta dan membuatku semakin menggila. Di sela gelisah, aku tetap mengalihkannya untuk bekerja. Dalam kebisuan, aku berusaha menata hati yang tak tahu apa maunya. Mungkin sebentar lagi ini semua akan selesai. Mungkin besok aku sudah kembali atau mulai terbiasa. Tiap hembusan nafas selalu terasa salah. Tiap gerak selalu ada mata yang mengintai. Aku ingin segera lepas dari perasaan ini. Rasa yang tidak bisa aku bilang sedih atau marah. Rasa yang  kadang bisa mendorong emosiku un

dingin, diam, menghilang, dan asing

Aku masih diam hingga aku menuliskan ini semua. Aku tahu, semua dipicu oleh masalah sepele yang kekanakan. Aku tak ingin memakai alasan, pembenaran dan tapi yang bisa menyudutkan kamu. Jadi aku memilih untuk diam 1. Sepanjang Purwakarta — Jakarta Sore ini aku kembali ke Ibukota. Ibu yang katanya lebih jahat dari ibu tiri. Buatku yang sekarang, Ibukota adalah pilihan cepat untuk sebentar melepas penat diantara tumpukan tagihan yang tak ada berhenti mengejarku sampai proyek ini selesai. Aku asal naik gerbong hari ini. Tak banyak memilih tempat duduk karena aku sengaja datang mepet dengan jam keberangkatan kereta. Aku sedang tak tahu dengan perasaanku sendiri. Akhir-akhir ini aku lebih sensitif dengan segalanya. Dia yang memang selalu ternganggu mood -nya ikut mengusik pikiranku. Padahal biasanya aku biasa saja dengannya. Entah, aku rasanya ingin terus membalas segala ucapan yang menurut dirinya benar. Mungkin aku sedikit bosan selalu memilih mengalah dengannya. Aku merasa dia marah denga