Postingan

sekalipun aku menghilang, kalian tidak akan menyadarinya.

Aku tak tahu apa yang dibicarakan di belakangku. Omongan miring, tegak lurus atau bisa saja diagonal tentangku. Aku biasanya bodo amat. Peduli setan dengan omongan mereka. Toh tak membuat rekening tabunganku berkurang. Tapi akhir-akhir ini banyak hal yang baru aku sadari. Porsi cerita tentangku memang sedikit. Aku sadar diri kalau mau sesulit apa kisahku, pasti kalian akan menganggap kalau milik kalian yang lebih sulit because you only see the good side of me dan memang hanya itu yang ingin aku tunjukan saat itu. Lama-kelamaan, bibir yang terus tersenyum dan telinga yang selalu mendengar ini lelah. Walau aku bisa menyembunyikannya, sampai kapan aku bisa menahannya? Beberapa kali aku mengemis untuk meminjam telingamu. Tak apa hanya sebentar yang penting aku bisa lega setelah mengeluarkan semua yang lama tertahan. Sesekali aku juga menyelipkan ceritaku di tengah ceritamu yang selalu terdengar lebih menarik. Sampai aku hafal silsilah nenek moyangmu dan aku mengenal seisi duniamu tanpa ka

maaf aku lupa dengan doaku sendiri.

Kadang aku cuma butuh tahu tentang apa yang aku rasakan saat ini sebenarnya memang benar atau hanya asumsiku sendiri saja. Aku memang tak berani untuk mengungkapkannya tapi aku merasa kalau dia yang aku sasar sadar akan apa yang aku rasakan. Aku tahu dia memang sepeka itu tapi apa benar dia benar sadar atau ini masih jadi asumsiku saja? Tapi pertemuan hari ini membuat aku menyimpulkan kalau dia sadar sehingga dia bisa bercerita seperti itu. Dia secara tidak langsung mengatakan alasan mengapa tidak bisa ada kita yang sebenarnya aku juga sudah tahu. Kisah ini terdengar rumit namun kalau dirunut sejak awal sebenarnya hanya dua orang yang kebetulan saling terikat karena pemikiran yang mirip yang dari awal tidak bisa bersatu karena beberapa hal yang memang tak bisa dipaksakan. Mungkin ini salah satu doaku yang terjawab namun kebetulan aku sudah lupa dengan doaku sendiri. Tapi setidaknya ini jawaban dari doa wajibku, jauhkanlah kami daripada yang jahat. Bisa jadi dia masuk kategori 'yang

the last chapter in this place. finally i'm done.

Akhirnya perjalanan di tempat ini mencapai titik. Walau tak sesuai harapan, paling tidak semesta masih memberiku hal-hal baik yang mengiringi. Ini sebagian jawaban dari doaku dan sebagian lagi keinginan orang-orang yang menganggapku bukan apa-apa. Tapi tak apa, aku tetap merasa menang karena bukan aku yang menyerah namun keadaan yang memaksaku untuk pergi. Aku paham betul siapa aku dan bagaimana caranya aku bisa sampai ke titik ini, jadi aku bersyukur bisa ada di sini, di tengah keramaian tanpa istirahat yang seiring waktu meredup karena badai. Sedari awal aku sudah tahu kalau perpisahan ini akan terjadi tapi aku tak tahu kalau aku yang akan meninggalkan mereka, orang-orang yang ternyata memperhatikan dengan caranya masing-masing. Awalnya pun aku hanya ingin membubuhi koma di cerita ini. Aku sudah nyaman dengan semua yang ada, orang-orang yang sudah membuatku capek untuk heran, tempat nongkrong yang itu-itu saja, dan cuaca kota yang berubah tergantung moodnya. Namun memang tak ada yang

apa yang orang salah kira tentangku.

Kembali lagi di pinggir kolam koi depan musholla setelah makan siang. Hari ini masih sendirian, kantor sepi, dan semoga tetap begini. Atau setidaknya aku masih tetap berada disini sampai ada panggilan pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Sejak mampir ke rumah, banyak hal yang mengganjal di pikiran. Entah apapun itu aku merasa banyak kesesakan. Mulut ini sudah ingin meluapkan semuanya ke kalian tapi aku selalu merasa ini bukan waktu yang tepat. Cerita kalian lebih rumit dan aku tak mau ceritaku malah menjadi beban untuk kalian. Kalau kalian coba pakai kaca pembesar mungkin kalian akan lebih tahu tentangku. Aku tak secuek yang kalian pikir. Justru aku hapal setiap gerak-gerik, fashion, atau bisa saja aliran musik yang kalian sering dengar tanpa kalian sadari. Aku tak sebodo amat yang kalian kira.  Setiap malam, apa yang kalian katakan pagi harinya seperti kaset yang ter-rewind di kepalaku malah kadang titik koma sampai helaan napasmu aku bisa ingat. Pita kaset itu sampai kacau karena t

rest area km 72

Datang ke sini lagi setelah hampir setahun rutinitas untuk kesini menghilang. Dulu aku masih bodoh. Senang senang saja bila diajak kesini, nongkrong sampai larut, kopi gratis, makan gratis kalau lagi beruntung. Paling tidak aku tak perlu mencari kegiatan di mess. Setelah orang-orang itu pergi, aku baru sadar kalau selama ini aku hanya diperdayakan. Ya, aku diajak hanya untuk memenuhi kuota. Atau untuk kamuflase mereka saja. Jujur aku juga masih bingung dengan motif mereka. Tapi entah darimana aku yakin kalau mereka tak benar-benar tulus. Hampir setiap malam, kami bersama. Dari dongeng nabi-nabi sampai cerita orang-orang kantor yang lebih ajaib dari oki dan nirmala. Tapi setelah kisah itu usai, tak ada balasan dari semua pertanyaan yang terlontar. Semua menguap bersama kepergiannya. Semua cerita yang kutangkap sama sekali tak berguna. Apa aku dijadikan tameng? Apa aku jadi kambing congek? Apa aku dijadikan obat nyamuk? Apa aku jadi alasan agar bisa bersama? Menurutku tak perlu mengadaka

alasanku membenci wewangian.

Aku benci orang yang memakai parfum. Mereka begitu egois memaksakan indra orang lain mengikuti seleranya. Mereka sama sekali tak peduli perasaan orang lain seakan mereka melarang orang disekitarnya untuk bernapas dengan lega. Beberapa bisa dicerna dengan baik ketika bercampur dengan wangi tubuh mereka namun ada beberapa yang malah saling tumpang tindih tambah tak karuan ketika tercampur. Selain itu, entah mengapa memori penciumanku jauh lebih baik daripada ingatan kepalaku. Aku mendadak panik ketika sekelebat aroma mirip milikmu lewat. Semua tentangmu langsung menyerang ingatan. Semua berjubel tak mau kalah memaksaku untuk mengenangmu. Lalu, tidak salah kan kalau aku membenci wewangian? Karena semua yang dihadirkan bersamanya tak selalu yang indah.

seharusnya kamu bahagia kalau aku tidak mengganggumu (lagi)

Dering telepon berbunyi. Jam segini rasanya jarang urusan pribadi menghampiriku. Paling orang-orang yang berkaitan dengan pekerjaan yang mencari. Aku mengjangkau ponselku yang tak terlalu jauh kugeletakan. Tercantum namamu di layar ponsel. Semua masih sama. Aku tak merubah apapun sejak tak lagi ada apa-apa diantara kita. Kuhembusan napas panjang, mencoba menurunkan heart rate yang mendadak naik.  "Kukira semua sudah berlalu, ada apalagi kamu menghubungiku? Tak usah di angkat," ujar kepalaku. Tapi ternyata rasa ingin tahuku lebih menggebu.  "Apa?" Tanyaku tanpa basa-basi walau nada bicaraku tak menghentak seperti biasanya. "Aman, kan?" ucapnya dengan nada datar dan tenang seperti dia biasanya. Kepalaku mendadak kosong, lidahku kelu. "Aman," jawabku sekenanya. Dari hembusan napasnya yang berat, sepertinya jawabanku tak sesuai ekspektasinya. Aku yang biasanya tak seperti itu. Aku sering mengulur jawabanku agar bisa berlama-lama mengobrol dengannya