Postingan

kapan nyusul?

Di tengah tren nikah muda, aku merasa seperti anomali. Bukan karena aku anti pada pernikahan, tapi karena aku tidak ingin berbohong pada diri sendiri. Orang-orang di sekitarku seolah punya peta hidup yang sama: lulus, menikah, punya anak, menua bersama. Aku tidak menentang itu, tapi aku juga tidak ingin berlari hanya karena semua orang berlari ke arah yang sama. Kadang aku iri, bukan pada kebahagiaan mereka, tapi pada keyakinan mereka untuk mengikuti arus tanpa banyak bertanya. Aku iri pada kemampuan mereka untuk menyerah pada tekanan sosial dan tetap tampak bahagia di foto-foto yang penuh senyum. Aku hanya belum menikah. Tapi di mata mereka, status itu seperti dosa sosial. Seolah aku gagal jadi dewasa hanya karena belum ada cincin di jari. Mereka bertanya dengan nada ringan tapi penuh makna: “Kapan nyusul?” Pertanyaan sederhana yang menusuk di tempat paling sunyi dalam kepala. Aku hanya bisa tersenyum, pura-pura tidak terganggu, padahal ada keinginan untuk bertanya balik: kenapa merek...

Menang Atas Perasaan

Gambar
Pelan. Itu kata yang akhir-akhir ini sering aku ulang dalam kepala, seolah jadi mantra buat menahan diri supaya nggak kabur lagi. Aku sedang belajar keluar dari versi diriku yang selalu menghindar — yang pura-pura sibuk, pura-pura nggak peduli, padahal cuma takut disakiti. Aku pikir dulu menjauh adalah cara paling aman buat bertahan, tapi nyatanya justru bikin aku perlahan kehabisan napas, dicekik pelan-pelan oleh rasa sepi yang kuundang sendiri. Setiap kali sesuatu mulai terasa dekat, aku refleks menarik diri. Ada bagian dari diriku yang percaya kalau kedekatan cuma awal dari kehilangan. Jadi aku menyiapkan diri lebih dulu — bukan dengan kekuatan, tapi dengan jarak. Ironis, ya? Aku sibuk menjauh biar nggak kecewa, tapi malah kecewa karena terus menjauh. Sampai akhirnya aku sadar, aku nggak hidup, cuma sembunyi dalam versi aman dari diriku sendiri. Sekarang aku sedang belajar buat diam di tempat. Belajar buat nggak buru-buru menutup pintu setiap kali ada yang ngetuk, bahkan kalau bun...

sunrise yang tertinggal di mimpi

Gambar
Jumat malam, kami berangkat — delapan orang, delapan versi semangat yang berbeda. Ini kali pertama aku pergi bersama teman-teman kantor, dan entah kenapa rasanya agak canggung tapi juga seru. Kami naik motor bersama menuju Dieng. Malam itu gerimis, kabut turun pelan, dan udara dingin mulai menggigit bahkan sebelum sampai. Jam menunjukkan pukul 23.30 ketika akhirnya kami tiba di basecamp. Selesai registrasi dan beres mencari tempat, kami menggelar sleeping bag seadanya. Rencananya, cuma istirahat sebentar biar bisa ngejar sunrise di puncak. Tapi ternyata tidur di udara dingin itu nikmatnya nggak main-main. Alarm berbunyi berkali-kali, tapi cuma jadi musik latar mimpi. Sunrise yang kami kejar ternyata cuma bisa dinikmati di mimpi. Kami baru benar-benar bangun pukul 06.30 — telat jauh dari ekspektasi. Setelah mandi kilat, menyiapkan logistik, dan berdoa, kami mulai berjalan. Jalur awalnya melewati ladang kol dan kentang yang rapi seperti mosaik hijau. Sekitar lima belas menit kemudian k...

am i toxic?

Sometimes I catch myself wondering if I’m toxic. Not because I enjoy hurting people, but because it’s hard for me to believe that anyone could really care about me without a reason. Whenever someone gets too close, I start to tense up. My mind goes on high alert, scanning every word, every silence, every small delay in their reply. It’s like I’m always waiting for proof that I’m not worth staying for. And when I think I see it — even if it’s not really there — I start pulling away. Quietly. Casually. Like disappearing before they can notice I’m gone. It’s a habit that feels safe but also lonely. Every time someone tries to care, I question it. Every act of kindness feels suspicious, every compliment sounds rehearsed. I don’t know when I started doubting love like this. Maybe it began the first time I trusted someone who left without explanation. Or maybe it’s a mix of all the small heartbreaks that piled up until I stopped expecting people to stay. I built a version of myself that look...

yang katanya 'surga'

Aku datang jauh dari dasar neraka, berjalan dengan luka di kaki dan sisa bara di dada, berharap di sini aku bisa bernapas lebih lama. Tapi ternyata, udara “surga” ini sama saja — cuma dibungkus lebih halus, diberi aroma bunga dan kata-kata manis agar terasa lebih bisa diterima. Di sini memang tak sepanas asal usulku. Tak sebrutal dan sefrontal masa laluku. Tapi sisa-sisanya? Sama saja. Manusia tetaplah manusia — gemar menghakimi tapi takut dihakimi, sibuk memperbaiki citra tapi lupa memperbaiki isi kepala. Racauanku dianggap aneh. Mereka bilang aku terlalu sensitif, terlalu emosional, terlalu... banyak mikir. Tapi kelakuan mereka tak jauh beda denganku. Hanya saja, mereka pandai membungkusnya dengan pakaian yang rapi, senyum yang dibuat-buat, dan doa yang dilafalkan hanya untuk didengar orang lain. Balutan kulit mereka putih bersih, seolah kesucian bisa diukur dari seberapa terang warna epidermisnya. Tapi kalau kau bongkar sedikit lapisan luarnya, baunya sama. Busuk oleh iri, oleh ...

kata-kata berbahaya

Aku sering heran kenapa orang begitu mudah bicara tentang love language . Seolah-olah cinta bisa diringkas jadi lima kategori rapi seperti di buku pegangan. Padahal bagiku, cinta tidak pernah sesederhana itu. Apalagi kalau sejak kecil aku tidak tumbuh di rumah yang mengenalkan cinta lewat kata-kata. Karena jujur saja, aku tidak tumbuh di rumah yang penuh kata-kata manis. Aku tidak terbiasa mendengar “aku sayang kamu” di meja makan, atau ucapan “kamu hebat” setiap kali berhasil melakukan sesuatu. Di rumah, cinta bukan lewat kata. Cinta itu dibungkus dalam hal-hal lain: piring nasi yang sudah tersaji, listrik yang tetap menyala, pakaian yang selalu bersih. Jadi jangan salahkan aku jika kini aku canggung. Aku bukan orang yang pandai mengekspresikan cinta lewat kata. Bagiku, kata itu tipis, rapuh, bisa hilang terbawa angin. Aku lebih percaya pada hal-hal kecil yang kasat mata: memastikan orang lain makan lebih dulu, menyiapkan sesuatu sebelum diminta, atau sekadar diam menemani. Kadang ...

10k di tangan istri yang tepat

Katanya, sepuluh ribu di tangan istri yang tepat bisa jadi berkat. Kalimat yang sering lewat di beranda media sosialku, biasanya disertai foto tangan perempuan yang sedang menanak nasi atau menyiapkan bekal sederhana untuk suaminya. Terlihat hangat memang, tapi di dunia nyata, sepuluh ribu bahkan sudah tak cukup untuk membeli rasa sabar, apalagi rasa kenyang. Jajan fotoyu dan kopi ku saja sudah gocap. Itu pun belum termasuk ongkos perasaan setelah sadar saldo e-wallet tinggal seharga parkir motor di mall. Lucu, bagaimana orang masih percaya bahwa cinta dan penghematan bisa mengalahkan logika ekonomi. Aku sering dengar orang berkata, “Uang bukan segalanya.” Kalimat itu memang terdengar bijak, tapi makin ke sini terdengar seperti candaan yang basi. Benar, uang bukan segalanya — tapi coba hilangkan uang dari hidupmu selama sebulan, nanti kamu akan tahu, bahkan sabun dan gas elpiji pun tak bisa dibayar pakai cinta. Ada banyak rumah tangga yang tampak baik-baik saja di permukaan, tapi re...