Postingan

tembok di 2050 Mdpl.

Sabtu dini hari, kami berangkat dari rusun — masih ngantuk, tapi pura-pura semangat. Rencana awalnya sih mau ngejar sunrise. Tapi kayaknya matahari pun tahu kami terlalu optimis untuk itu. Baru keluar dikit, jalanan udah kayak antrean sembako: macet. Ternyata ada kecelakaan di depan terminal Banyumanik. Ya sudah, kami ikut macet bersama puluhan kepala yang juga bertanya-tanya kenapa harus di jam segini. Belum cukup, kami masih sempat-sempatnya mampir ke Indomaret — karena, tentu saja, pendakian tanpa sosis, roti, dan pocari kurang sedap. Begitu lewat Pasar Jimbaran, suasananya sudah kayak simulasi neraka jam lima pagi. Lalu lalang sayuran segar, truk, pedagang yang teriak, motor zig-zag di antara karung kubis. Di situ aku baru sadar: mungkin yang paling tangguh di dunia bukan pendaki, tapi ibu-ibu pasar yang udah siap tempur sebelum subuh. Kami belok ke arah Umbul Sidomukti, berharap bisa langsung tancap ke Basecamp Mawar. Tapi ya, harapan tinggal harapan. Portalnya masih tutup. Pad...

manusia yang belajar jadi manusia.

Gambar
Kadang yang menakutkan bukan monster di film, tapi manusia yang tersenyum di kehidupan nyata. Dua hari ini aku belajar satu hal: jadi manusia itu pekerjaan seumur hidup — dan tidak ada satu pun dari kita yang benar-benar lulus. Dua hari ini aku menyelesaikan drama “Walking on Thin Ice.” Thriller, crime, penuh ketegangan dan kebohongan. Tapi justru di situ aku belajar banyak tentang satu hal yang seharusnya paling sederhana — tapi ternyata paling rumit: jadi manusia. Lucu, ya. Kita lahir sebagai manusia, tapi seumur hidup justru belajar caranya jadi manusia. Katanya, manusia harus punya hati. Tapi entah sejak kapan hati diganti dengan logika untung-rugi. Katanya, manusia itu makhluk sosial. Tapi aku lihat sekarang, banyak yang lebih nyaman bersosialisasi dengan layar, bukan dengan manusia lain. Kadang aku berpikir: apa manusia benar-benar tahu artinya jadi manusia? Atau kita semua cuma aktor yang memainkan peran moral di panggung sosial? Semua tampak baik di permukaan, tapi di balik lay...

kapan nyusul?

Di tengah tren nikah muda, aku merasa seperti anomali. Bukan karena aku anti pada pernikahan, tapi karena aku tidak ingin berbohong pada diri sendiri. Orang-orang di sekitarku seolah punya peta hidup yang sama: lulus, menikah, punya anak, menua bersama. Aku tidak menentang itu, tapi aku juga tidak ingin berlari hanya karena semua orang berlari ke arah yang sama. Kadang aku iri, bukan pada kebahagiaan mereka, tapi pada keyakinan mereka untuk mengikuti arus tanpa banyak bertanya. Aku iri pada kemampuan mereka untuk menyerah pada tekanan sosial dan tetap tampak bahagia di foto-foto yang penuh senyum. Aku hanya belum menikah. Tapi di mata mereka, status itu seperti dosa sosial. Seolah aku gagal jadi dewasa hanya karena belum ada cincin di jari. Mereka bertanya dengan nada ringan tapi penuh makna: “Kapan nyusul?” Pertanyaan sederhana yang menusuk di tempat paling sunyi dalam kepala. Aku hanya bisa tersenyum, pura-pura tidak terganggu, padahal ada keinginan untuk bertanya balik: kenapa merek...

Menang Atas Perasaan

Gambar
Pelan. Itu kata yang akhir-akhir ini sering aku ulang dalam kepala, seolah jadi mantra buat menahan diri supaya nggak kabur lagi. Aku sedang belajar keluar dari versi diriku yang selalu menghindar — yang pura-pura sibuk, pura-pura nggak peduli, padahal cuma takut disakiti. Aku pikir dulu menjauh adalah cara paling aman buat bertahan, tapi nyatanya justru bikin aku perlahan kehabisan napas, dicekik pelan-pelan oleh rasa sepi yang kuundang sendiri. Setiap kali sesuatu mulai terasa dekat, aku refleks menarik diri. Ada bagian dari diriku yang percaya kalau kedekatan cuma awal dari kehilangan. Jadi aku menyiapkan diri lebih dulu — bukan dengan kekuatan, tapi dengan jarak. Ironis, ya? Aku sibuk menjauh biar nggak kecewa, tapi malah kecewa karena terus menjauh. Sampai akhirnya aku sadar, aku nggak hidup, cuma sembunyi dalam versi aman dari diriku sendiri. Sekarang aku sedang belajar buat diam di tempat. Belajar buat nggak buru-buru menutup pintu setiap kali ada yang ngetuk, bahkan kalau bun...

sunrise yang tertinggal di mimpi

Gambar
Jumat malam, kami berangkat — delapan orang, delapan versi semangat yang berbeda. Ini kali pertama aku pergi bersama teman-teman kantor, dan entah kenapa rasanya agak canggung tapi juga seru. Kami naik motor bersama menuju Dieng. Malam itu gerimis, kabut turun pelan, dan udara dingin mulai menggigit bahkan sebelum sampai. Jam menunjukkan pukul 23.30 ketika akhirnya kami tiba di basecamp. Selesai registrasi dan beres mencari tempat, kami menggelar sleeping bag seadanya. Rencananya, cuma istirahat sebentar biar bisa ngejar sunrise di puncak. Tapi ternyata tidur di udara dingin itu nikmatnya nggak main-main. Alarm berbunyi berkali-kali, tapi cuma jadi musik latar mimpi. Sunrise yang kami kejar ternyata cuma bisa dinikmati di mimpi. Kami baru benar-benar bangun pukul 06.30 — telat jauh dari ekspektasi. Setelah mandi kilat, menyiapkan logistik, dan berdoa, kami mulai berjalan. Jalur awalnya melewati ladang kol dan kentang yang rapi seperti mosaik hijau. Sekitar lima belas menit kemudian k...

am i toxic?

Sometimes I catch myself wondering if I’m toxic. Not because I enjoy hurting people, but because it’s hard for me to believe that anyone could really care about me without a reason. Whenever someone gets too close, I start to tense up. My mind goes on high alert, scanning every word, every silence, every small delay in their reply. It’s like I’m always waiting for proof that I’m not worth staying for. And when I think I see it — even if it’s not really there — I start pulling away. Quietly. Casually. Like disappearing before they can notice I’m gone. It’s a habit that feels safe but also lonely. Every time someone tries to care, I question it. Every act of kindness feels suspicious, every compliment sounds rehearsed. I don’t know when I started doubting love like this. Maybe it began the first time I trusted someone who left without explanation. Or maybe it’s a mix of all the small heartbreaks that piled up until I stopped expecting people to stay. I built a version of myself that look...

yang katanya 'surga'

Aku datang jauh dari dasar neraka, berjalan dengan luka di kaki dan sisa bara di dada, berharap di sini aku bisa bernapas lebih lama. Tapi ternyata, udara “surga” ini sama saja — cuma dibungkus lebih halus, diberi aroma bunga dan kata-kata manis agar terasa lebih bisa diterima. Di sini memang tak sepanas asal usulku. Tak sebrutal dan sefrontal masa laluku. Tapi sisa-sisanya? Sama saja. Manusia tetaplah manusia — gemar menghakimi tapi takut dihakimi, sibuk memperbaiki citra tapi lupa memperbaiki isi kepala. Racauanku dianggap aneh. Mereka bilang aku terlalu sensitif, terlalu emosional, terlalu... banyak mikir. Tapi kelakuan mereka tak jauh beda denganku. Hanya saja, mereka pandai membungkusnya dengan pakaian yang rapi, senyum yang dibuat-buat, dan doa yang dilafalkan hanya untuk didengar orang lain. Balutan kulit mereka putih bersih, seolah kesucian bisa diukur dari seberapa terang warna epidermisnya. Tapi kalau kau bongkar sedikit lapisan luarnya, baunya sama. Busuk oleh iri, oleh ...