kapan nyusul?
Di tengah tren nikah muda, aku merasa seperti anomali. Bukan karena aku anti pada pernikahan, tapi karena aku tidak ingin berbohong pada diri sendiri. Orang-orang di sekitarku seolah punya peta hidup yang sama: lulus, menikah, punya anak, menua bersama. Aku tidak menentang itu, tapi aku juga tidak ingin berlari hanya karena semua orang berlari ke arah yang sama. Kadang aku iri, bukan pada kebahagiaan mereka, tapi pada keyakinan mereka untuk mengikuti arus tanpa banyak bertanya. Aku iri pada kemampuan mereka untuk menyerah pada tekanan sosial dan tetap tampak bahagia di foto-foto yang penuh senyum. Aku hanya belum menikah. Tapi di mata mereka, status itu seperti dosa sosial. Seolah aku gagal jadi dewasa hanya karena belum ada cincin di jari. Mereka bertanya dengan nada ringan tapi penuh makna: “Kapan nyusul?” Pertanyaan sederhana yang menusuk di tempat paling sunyi dalam kepala. Aku hanya bisa tersenyum, pura-pura tidak terganggu, padahal ada keinginan untuk bertanya balik: kenapa merek...