manusia yang belajar jadi manusia.

Kadang yang menakutkan bukan monster di film, tapi manusia yang tersenyum di kehidupan nyata. Dua hari ini aku belajar satu hal: jadi manusia itu pekerjaan seumur hidup — dan tidak ada satu pun dari kita yang benar-benar lulus.

Dua hari ini aku menyelesaikan drama “Walking on Thin Ice.” Thriller, crime, penuh ketegangan dan kebohongan. Tapi justru di situ aku belajar banyak tentang satu hal yang seharusnya paling sederhana — tapi ternyata paling rumit: jadi manusia.

Lucu, ya. Kita lahir sebagai manusia, tapi seumur hidup justru belajar caranya jadi manusia. Katanya, manusia harus punya hati. Tapi entah sejak kapan hati diganti dengan logika untung-rugi. Katanya, manusia itu makhluk sosial. Tapi aku lihat sekarang, banyak yang lebih nyaman bersosialisasi dengan layar, bukan dengan manusia lain.

Kadang aku berpikir: apa manusia benar-benar tahu artinya jadi manusia? Atau kita semua cuma aktor yang memainkan peran moral di panggung sosial? Semua tampak baik di permukaan, tapi di balik layar penuh retak dan hitungan. Saling menilai, saling menghakimi, saling menutupi boroknya masing-masing.

Dari drama itu aku belajar, ternyata yang paling menyeramkan bukan pembunuhnya. Tapi kenyataan bahwa setiap orang punya potensi untuk jadi jahat — asal ada alasan yang cukup, tekanan yang tepat, atau kesempatan yang pas. Semua orang bisa berubah jadi monster, asal diberi ruang untuk membenarkan diri.

Dan anehnya, kita masih berani menatap cermin dan bilang: “Aku orang baik.”

Padahal, kadang kebaikan itu cuma cara paling halus untuk terlihat lebih tinggi dari orang lain. Kebaikan yang bersyarat, yang menuntut tepuk tangan, yang haus validasi. Seolah kalau tidak diakui baik, maka hidup ini gagal.

Aku muak dengan narasi “jadi manusia yang baik.” Seakan semua harus berakhir dengan pencerahan. Padahal, kenyataannya nggak sesuci itu. Kadang kita cuma berusaha bertahan dari hari ke hari. Kadang kita berbuat salah, bukan karena niat jahat, tapi karena lelah. Kadang kita melukai orang lain tanpa sadar, hanya karena sedang berusaha menyembuhkan diri sendiri.

Menapak bumi, katanya. Tapi bumi ini juga sudah terlalu sesak oleh manusia yang merasa paling benar. Aku sering bertemu orang yang bilang, “Yang penting niat kita baik.” Tapi niat baik tanpa kesadaran cuma jadi pembenaran untuk mengulang kesalahan.

Aku belajar bahwa manusia bukan soal baik atau buruk. Tapi soal berani atau tidak untuk jujur pada dirinya sendiri. Berani mengaku takut. Berani bilang, “Aku belum bisa.” Berani mengakui bahwa ada sisi gelap yang tidak bisa dihapus dengan kutipan motivasi murahan.

Kadang aku merasa dunia ini seperti drama tanpa jeda. Semua orang sibuk tampil sempurna. Sibuk membuktikan bahwa mereka baik, pintar, mapan, bahagia. Padahal banyak dari mereka bahkan tidak tahu apa yang benar-benar mereka mau. Hidup jadi kompetisi absurd untuk jadi versi “terbaik” dari sesuatu yang bahkan tidak mereka pahami.

Dan aku? Aku sedang belajar menerima bahwa aku tidak akan pernah jadi sempurna. Bahwa kadang aku bisa marah tanpa alasan. Bahwa aku juga bisa egois, sinis, bahkan iri. Tapi dari semua itu, aku masih mau belajar. Masih mau sadar. Masih mau menatap ke dalam diri, meski sering kali yang kulihat bukan hal yang indah.

Karena mungkin, jadi manusia itu bukan soal menemukan kebaikan. Tapi tentang menahan diri untuk tidak tenggelam dalam keburukan. Tentang memilih untuk tetap waras ketika semua orang berlomba jadi yang paling benar. Tentang berani mengakui: “Aku juga bisa salah.”

Di dunia yang makin bising dengan klaim moral, aku hanya ingin jadi manusia yang tenang. Yang sadar bahwa menapak bumi artinya rela kotor. Bahwa hidup bukan untuk bersinar, tapi untuk bertahan. Bahwa menjadi manusia bukan perlombaan menuju kesempurnaan, tapi perjalanan panjang untuk mengenali diri sendiri — berkali-kali, jatuh, patah, lalu berdiri lagi.

Mungkin, memang tidak ada manusia yang benar-benar berjalan di tanah yang kokoh. Kita semua cuma berjalan di atas es tipis — menahan napas, berharap tidak retak. Tapi aku memilih terus melangkah. Karena mungkin di antara semua kebisingan dan kepalsuan ini, satu-satunya hal paling manusiawi yang tersisa hanyalah: keberanian untuk tetap berjalan, meski tahu dunia bisa pecah di bawah kaki kapan saja.

Postingan populer dari blog ini

semua karena bacotmu yang jahat.

apa aku boleh bahagia?

orang hanya percaya dengan apa yang mereka lihat