tembok di 2050 Mdpl.
Sabtu dini hari, kami berangkat dari rusun — masih ngantuk, tapi pura-pura semangat. Rencana awalnya sih mau ngejar sunrise. Tapi kayaknya matahari pun tahu kami terlalu optimis untuk itu.
Baru keluar dikit, jalanan udah kayak antrean sembako: macet. Ternyata ada kecelakaan di depan terminal Banyumanik. Ya sudah, kami ikut macet bersama puluhan kepala yang juga bertanya-tanya kenapa harus di jam segini. Belum cukup, kami masih sempat-sempatnya mampir ke Indomaret — karena, tentu saja, pendakian tanpa sosis, roti, dan pocari kurang sedap.
Begitu lewat Pasar Jimbaran, suasananya sudah kayak simulasi neraka jam lima pagi. Lalu lalang sayuran segar, truk, pedagang yang teriak, motor zig-zag di antara karung kubis. Di situ aku baru sadar: mungkin yang paling tangguh di dunia bukan pendaki, tapi ibu-ibu pasar yang udah siap tempur sebelum subuh.
Kami belok ke arah Umbul Sidomukti, berharap bisa langsung tancap ke Basecamp Mawar. Tapi ya, harapan tinggal harapan. Portalnya masih tutup. Padahal, kami sudah cari info sekalian cari template video—katanya jalur tektok bisa dibuka dari jam dua. Jam di HP sudah menunjuk 03.30, dan kami cuma bisa bengong di bawah lampu jalan yang redup, sambil pura-pura gak bete.
Akhirnya, setelah debat kecil dan beberapa saran yang gak masuk akal “naik dari sini aja, toh sama aja gunungnya”, kami mutuskan lewat jalur Perantunan. Jalur yang katanya lebih ekstrem. Lebih alami. Lebih “murni”.
Langit masih gelap saat kami mulai bersiap untuk summit. Headlamp sudah menyala, wajah-wajah masih setengah sadar, dan langkah pertama terasa seperti negosiasi antara niat dan kantuk. Udara dingin menggigit, tapi kami pura-pura tangguh—karena gak lucu juga baru mulai sudah mengeluh.
Lewat Pos 1 kami terus jalan tanpa istirahat. Logika kami sederhana: mumpung napas masih panjang dan jalur belum tega bikin menyesal. Dari luar terlihat seperti semangat, tapi mungkin lebih karena gengsi—gak mau jadi yang pertama bilang “sebentar ya, minum dulu.”
Di Pos 2, cahaya mulai muncul dari balik kabut. Headlamp satu per satu padam, diganti sinar oranye lembut yang bikin gunung terlihat lebih ramah dari biasanya. Suasana berubah—yang tadinya sunyi, jadi penuh haha hihi palsu, bercampur antara euforia dan denial.
Masuk Pos 3, napas mulai tersengal, langkah mulai gonta-ganti kaki dominan. Lutut sudah mulai kirim surat protes. Tapi kami tetap berjalan santai, karena katanya slow is the new fast. Jalur berikutnya—dari Pos 3 ke Pos 4—adalah ujian mental. Tanah licin sisa hujan semalam, akar-akar menjulur seperti jebakan alam.
Begitu plang “Pos 4” muncul, kami seperti melihat oase. Tapi ya tentu saja, gunung gak suka kalau manusia terlalu senang. Langsung disambut hujan deras. Kami berhenti, menunggu reda, berusaha tidak kehilangan jari-jari karena kedinginan.
Beberapa dari kami mulai menggigil, dan karena diam terlalu lama bikin keadaan makin absurd, akhirnya kami lanjut. Jas hujan dikeluarkan—warna-warni: merah, kuning, biru, hijau. Di tengah kabut dan tanah basah itu, kami terlihat seperti rombongan ayam karet yang tersesat di dunia mistis. Setiap langkah disertai bunyi plastik gesek yang membuat suasana makin tragikomik.
Dan di titik itu, aku mulai bertanya-tanya dalam hati: ini pendakian atau parade sirkus tanpa penonton?
Badai belum juga berlalu. Angin makin jadi, hujan makin kurang ajar, dan kami tetap memaksa naik ke Pos 5—karena sudah terlalu jauh untuk menyerah, tapi terlalu sengsara untuk disebut menikmati.
Setiap langkah terasa seperti dada dan lutut sedang reuni penuh rindu—bertabrakan tanpa henti. Hujan yang tadi cuma deras sekarang berubah jadi ambisius. Tanah makin licin, akar-akar berubah jadi seluncuran alami, dan sepatu kami tidak lagi punya konsep “grip”.
Kami sampai di Pos 5 dengan kondisi yang bisa dibilang: putus asa tapi masih sok kuat. Hujan masih belum selesai memainkan konsernya, jadi kami tidak berlama-lama. Tanpa pikir panjang, kami langsung bergegas menuju puncak Bondolan.
Di tengah perjalanan, bonus datang: air terjun dadakan. Dan bukan air terjun estetik ala wallpaper—ini lebih seperti Milo panas yang ditumpahkan Tuhan tepat ke jalur. Lumpur coklat mengalir deras, membentuk sungai kecil yang gak kecil-kecil amat. Setiap kali melangkah, kami seperti sedang berjuang tidak hanyut oleh minuman energi versi murah ini.
Plastik jas hujan terus berkibas, muka kami sudah tidak bisa dibedakan mana keringat mana hujan. Suhu terus turun, stamina menolak naik.
Tapi puncak Bondolan sudah dekat. Atau minimal, itu yang terus kami bisikkan untuk menenangkan diri. Karena di balik kabut dan guyuran hujan itu, entah apa yang sebenarnya menunggu.
Dan akhirnya, puncak Bondolan atau sesuatu yang seharusnya puncak Bondolan. Karena yang terlihat dari atas hanya tembok putih raksasa—kabut tebal yang berdiri seperti dinding permanen, seakan-akan gunung sedang berkata, “Ngapain jauh-jauh naik kalau cuma mau lihat putih? Nih, ambil semuanya.”
Tidak ada pemandangan. Tidak ada lembah. Tidak ada matahari dramatis. Hanya angin kencang yang datang dari samping seperti tamparan realita.
Kami bertahan beberapa detik—sekadar untuk membuktikan bahwa kami sudah sampai. Lalu angin membuat keputusan untuk kami: segera turun, sebelum kalian terbang tanpa sayap.
Perjalanan turun adalah perjuangan lain, tapi setidaknya hujan mulai capek nyerang. Begitu kami kembali mencapai Pos 1, gunung tiba-tiba berubah mood. Langit cerah. Awan hilang. Matahari muncul dengan polosnya.
Kami saling pandang. Mau balik lagi? Tentu tidak.
Aroma Indomie dari warung basecamp sudah merayu seperti mantra.
Di titik itu, pemandangan indah bukanlah golden hour atau bukit yang selaras—tapi semangkuk mie kuah panas dengan telur ceplok yang bentuknya tidak sempurna.
Dan jujur… itu puncak paling masuk akal hari itu.