sunrise yang tertinggal di mimpi

Jumat malam, kami berangkat — delapan orang, delapan versi semangat yang berbeda. Ini kali pertama aku pergi bersama teman-teman kantor, dan entah kenapa rasanya agak canggung tapi juga seru. Kami naik motor bersama menuju Dieng. Malam itu gerimis, kabut turun pelan, dan udara dingin mulai menggigit bahkan sebelum sampai. Jam menunjukkan pukul 23.30 ketika akhirnya kami tiba di basecamp.

Selesai registrasi dan beres mencari tempat, kami menggelar sleeping bag seadanya. Rencananya, cuma istirahat sebentar biar bisa ngejar sunrise di puncak. Tapi ternyata tidur di udara dingin itu nikmatnya nggak main-main. Alarm berbunyi berkali-kali, tapi cuma jadi musik latar mimpi. Sunrise yang kami kejar ternyata cuma bisa dinikmati di mimpi. Kami baru benar-benar bangun pukul 06.30 — telat jauh dari ekspektasi.

Setelah mandi kilat, menyiapkan logistik, dan berdoa, kami mulai berjalan. Jalur awalnya melewati ladang kol dan kentang yang rapi seperti mosaik hijau. Sekitar lima belas menit kemudian kami sampai di pintu rimba. Napas mulai berat, tapi semangat masih penuh. Di pos satu, semua masih bercanda. Jalurnya nggak terlalu jauh dari basecamp, mungkin sekitar lima belas menit juga. Tapi mulai dari pos dua, rasanya tenaga mulai diuji. Medan lebih menanjak, dan kaki mulai protes pelan-pelan. Untungnya, pemandangan di sekitar menenangkan — dan setiap kali berhenti buat ambil foto, rasanya seperti alasan yang sah buat istirahat.

Lewat “akar cinta,” kami berhenti lagi. Spot itu memang terkenal, katanya siapa pun yang foto di situ bakal punya cinta abadi. Aku nggak tahu soal itu, tapi yang jelas cintaku saat itu cuma ke botol air minum. Dari pos dua ke pos tiga lumayan jauh, hampir satu jam perjalanan dengan beberapa kali berhenti.

Menjelang puncak, kami bertemu pendaki lain yang terlihat kelelahan. Satu orang tampak menggigil hebat — gejala hipotermia. Kami sempat membantu sebisanya: memberi air hangat, menyarankan turun. Tapi mereka keras kepala, tetap ingin lanjut ke atas. Aku sempat terpikir, kadang manusia memang aneh — lebih takut terlihat lemah daripada benar-benar sakit. Setelah kondisi mereka agak membaik, kami lanjut jalan.

Begitu sampai di puncak, semua rasa capek hilang. Prau memang seindah cerita orang-orang. Garis langitnya bersih, sabananya luas, dan udara di sana terasa beda — seperti dunia sedang menahan napas sejenak. Kami sempat antre cukup lama di plang “Gunung Prau” untuk foto, tapi akhirnya memutuskan lanjut ke sabana. Dan ternyata sabana itu luar biasa.

Bunga daisy yang sering kulihat di Instagram ternyata benar-benar ada, meski warnanya sedikit lebih pudar dari filter kamera. Tapi justru karena itu, keindahannya terasa lebih nyata. Kami makan siang di sabana sambil bercanda dan menikmati sisa dingin yang masih bersahabat. Rencana awalnya, kami mau lanjut ke Sunrise Camp, tapi belum sempat naik ke bukit itu, kabut datang lebih cepat dari rencana. Tembok putih dingin itu menelan pemandangan, dan kami sepakat untuk turun.

Perjalanan turun terasa lebih cepat. Entah karena jalurnya menurun, atau karena perut sudah terisi dan hati sudah tenang. Energi yang sempat terkuras, seperti diisi ulang oleh sabana yang tenang dan tawa ringan di antara teman-teman.

Perjalanan pulang pun tidak kalah dramatis. Di turunan Tambi, rem blong dan kami sempat menabrak bagian belakang Hi-ace. Motor tergelincir, dan entah gimana aku bisa koprol ke ladang warga. Dunia sempat berputar beberapa detik — dan ajaibnya, aku keluar dari kejadian itu tanpa luka sedikit pun. Teman-teman panik, aku malah ketawa. Kadang keberuntungan datang dengan cara yang absurd.

Malam itu, saat sudah kembali ke rumah, tubuh rasanya remuk tapi hati entah kenapa ringan. Sunrise memang gagal kulihat di puncak, tapi mungkin bukan itu tujuannya. Kadang yang berharga dari perjalanan bukan pemandangannya, tapi momen kecil di antara lelah dan tawa, dingin dan hangat, kabut dan cahaya. Gunung Prau mengajarkan hal sederhana: bahwa nggak semua yang indah harus disaksikan, dan nggak semua perjalanan butuh hasil sempurna. Beberapa hal cukup untuk dijalani — cukup untuk membuatmu merasa hidup. Tapi anehnya, setelah turun, aku malah ngerasa kosong. Seperti ada bagian dari diriku yang tertinggal di sabana, bersama kabut yang turun terlalu cepat.

Mungkin gunung memang begini — selalu memberi rasa rindu yang samar, tapi tajam. Dan mungkin itu juga cara alam mengingatkan: bahwa kedamaian nggak pernah permanen. Kadang kamu hanya menemuinya sebentar, di ketinggian, sebelum ia kembali hilang.

Postingan populer dari blog ini

apa aku boleh bahagia?

semua karena bacotmu yang jahat.

orang hanya percaya dengan apa yang mereka lihat