Postingan

saya adalah orang.

Gambar
Akhirnya bisa bilang: ya, aku adalah orang. Istilah setelah keterima ke pekerjaan yang sering dibilang idaman, terutama di mata orang tua dan calon mertua. Status yang katanya bikin hidup lebih aman, lebih jelas arahnya. Thank you big enough for You did! Satu-satu doa yang dulu sempat terucap akhirnya dijawab. Ada lega, ada haru, ada rasa seperti “akhirnya aku sampai juga.” Tapi setelah euforia itu mereda, muncul ruang kosong dalam hati. Pertanyaan yang berbisik: lalu apa? Apakah ini cukup? Apakah ini tujuan? Atau ini hanya sebuah tanda koma, bukan titik? Banyak orang jatuh bukan karena menabrak tembok besar, tapi karena tersandung kerikil kecil di jalan. Dan aku takut. Takut terlena dengan kenyamanan, takut terjebak dalam rutinitas yang membuatku lupa bermimpi lebih jauh. Aku pernah berjuang keras, pernah merasakan getirnya gagal, pernah menangis dalam doa. Maka saat pencapaian ini datang, aku ingin mengingat: jangan biarkan perjuangan berhenti hanya karena status sudah didapat. Lucun...

ketika manusia bodoh berkumpul

Gambar
Sebenarnya obrolan ini sering terjadi diantara kami. Terakhir menghabiskan waktu 6 jam lebih untuk saling berkabar. Obrolan yang awal mula hanya saling menanyakan kabar berujung saling adu nasib dan menertawakan kebodohan kami masing-masing. Seusai long weekend, ia bercerita panjang tentang hts-nya. Bukan untuk yang pertama kali karena jujur saja aku sudah cukup muak untuk mendengarkannya. Dua orang yang saling menyayangi tapi tak ada yang berani untuk melangkah. Ya, itulah premisnya. Kisah cinta semua orang terdengar mulus di telingaku. Rasa cinta tumbuh begitu saja dan mereka melenggang ke hubungan yang lebih jauh. Halangannya paling mbak-mbak lc dan jarak. Tidak ada terhalang agama yang berbeda, restu orang tua, atau adat. Terlihat mudah tapi aku merasa sulit untuk menjalaninya. Cerita yang sudah orang lain alami bisa jadi pelajaran berharga buatku. Awal mula aku merasa tak punya value apa-apa sehingga orang lain perlu memperjuangkanku. Tapi lama kelamaan setelah bertemu...

saat itu tiba.

Aku tak asing dengan situasi ini. Dua orang perempuan yang saling bicara tanpa ada rasa tak enak dan yang ditutupi. Semua mengalir begitu saja tanpa ada basa-basi kita bisa tahu bagaimana suasana hati lawan bicara kita. Tanpa sentuhan tapi setiap kata yang keluar dari mulut kita benar-benar didengarkan terlebih dahulu baru opini keras yang menampar dilontarkan namun tak ada sakit hati atau apapun itu. Dulu setiap Mak Wah datang, ibu akan selalu begadang di malam pertama. Bukan untuk mengerjakan sesuatu tapi mereka terus bicara tanpa henti. Meski sudah berbaring di atas kasur dan berbeda kamar, suara mereka masih terdengar semalaman. Aku kadang tak paham apa yang mereka bicarakan. Kadang mereka bicara tentang tingkah aneh tetangga mereka dulu, mengenang orang-orang yang mereka kenal, atau tentang apapun itu sampai salah satu diantara mereka tertidur. Esok harinya, dimanapun ada ibuk disitu juga pasti ada Mak Wah yang masih dengan ceritanya atau sebaliknya. Dalam hatiku, apa aku bisa sep...

semua karena bacotmu yang jahat.

"Janji ga marah?" "Iya, emang kenapa dulu tapi?" Aku hanya tertawa mendengar cerita dari Ibuk. Bingung saja harus merespon bagaimana. Apa aku perlu mengirim kue ke rumahmu untuk ucapan terima kasih? Atau aku harus bagaimana?  Gimana aku bisa marah? Katamu aku bisa kesana karena kamu memintakan doa ke 'orang pintar'. Terus, bagaimana dengan doa orang-orang yang memang tulus mendoakanku tanpa aku minta? Bagaimana dengan usaha belajarku siang dan malam sampai aku mengurangi waktu tidur, scroll, dan nongkrongku? Bagaimana dengan kursus online dan try out berbayar yang kuusahakan agar hidupku lebih baik dari hari ini? Apa Tuhan hanya mendengar doa dari 'orang pintar' mu itu saja?  Tapi kalau di tarik mundur jauh ke belakang, apa yang bisa aku capai sampai sekarang ini memang karena bacotmu yang jahat. Omonganmu memang jadi bahan bakarku untuk hidup lebih baik darimu tanpa meminta bantuan dari orang lain. Hinaanmu jadi semangatku untuk belajar lebih giat, ...

low pace, long story

Gambar
Awalnya aku lari bukan karena suka. Bukan juga karena ingin jadi pelari. Aku lari semata-mata untuk persiapan naik gunung. Biar kaki nggak kaget pas diajak nanjak, biar napas nggak engap waktu summit. Latihan pun simpel: seminggu dua kali, cukup sebulan sebelum hari H pendakian. Habis itu? Ya sudah, sepatu lari masuk lagi ke pojokan rak. Tapi ternyata kebiasaan kecil itu menempel. Lari yang tadinya cuma “bekal nanjak” perlahan jadi sesuatu yang kucari. Entah kenapa, meski nggak ada agenda mendaki, aku tetap pengin keluar, ikat sepatu, dan gas lari. Kadang di jalan sekitar rumah, kadang di jalan kota, kadang cuma keliling GOR. Pace? Masih keong. Long run? Masih belum bisa. Suka banget sama lari? Jujur aja, masih belum. Tapi yang jelas, lari sudah jadi bagian dari rutinitas. Walaupun latihan nggak selalu konsisten, setidaknya dalam seminggu aku bisa dapat 10K. Dan dari situ aku sadar, lari itu bukan soal siapa yang paling cepat atau siapa yang bisa jauh. Lari itu soal keberanian untuk te...

perempuan dan ubin kamar mandi

Ramai di sosmed kalau laki-laki memilih diam, duduk sendiri minum kopi kemasan botol sambil merokok di depan minimarket. Semua bisa saja benar — tapi hal itu juga bisa kulakukan. Bukan karena mau menyaingi, tapi karena itulah yang sebenarnya terjadi padaku. Kadang aku tak tahu harus bercerita ke siapa, jadi aku memilih menyendiri di kos sambil menggosok ubin kamar mandi. Ada sesuatu yang ritualis dari aktivitas itu: busa sabun, gerakan memutar kain lap, air yang mengalir. Semakin bersih ubin, seolah-olah semakin banyak pula masalah hidup yang kupentingkan untuk disikat sendiri. Ubin yang mengkilap menjadi ukuran betapa rapi kehidupan yang kubiarkan orang lihat—padahal permukaannya saja, bukan isi bak cucianku yang kusam. Aku kadang tidak bisa mengeluarkan perasaanku yang sebenarnya, terutama rasa sedih. Menangis di depan orang lain? Sampai hari ini itu terasa mustahil. Aku masih mengulik kenapa. Mungkin karena sejak lama aku diajari untuk kuat, untuk menahan, untuk tidak merepotkan. Mu...

the romantic part of my life is just beginning.

Aku duduk di coffeeshop yang baristanya sudah hafal pesananku. Tanpa banyak kata, aku membayar dan duduk di tempat biasanya. Usai menelepon, aku memutar album baru Hindia yang belom aku dengarkan semuanya. Walau puasa, tempat ini tetap ramai dengan orang-orang sibuk yang mengadakan meeting di luar kantor. Tak lama hujan turun. Aku hanya bisa mendengarkan suara Baskara, samar rintik hujan dan omongan tak jelas orang-orang yang mengomongkan topik yang menurut mereka penting. Detik itu aku merasa seperti di dalam film. Dibayanganku, aku seperti Bella Swan yang sedang duduk di depan jendela besar. Kamera berputar mengelilingiku, menangkap ekspresiku yang sebenarnya biasa saja tapi tak tahu detik itu aku merasa senang saja. Speed diperlambat sekian milidetik. Soundtrack hindia, everything you are sayup mulai terdengar. The romantic part of my life is just beginning . Satu persatu doaku tembus ke langit. Aku takut perayaan ini terlalu cepat. Aku takut salah menangkap perasaanmu. Aku takut p...