Postingan

aku banyak takutnya.

Aku banyak takutnya: takut salah pilih, takut rumah tangga tak sesuai ekspektasi, takut beda pandangan di tengah jalan, takut omongan orang, takut tidak sepadan, bahkan takut tidak cukup membuat nyaman—tapi ya sudah, hidup memang tidak pernah adil, siapa suruh aku berharap terlalu banyak? Kadang aku pikir cinta itu sederhana: ketemu orang yang bikin jantung deg-degan, lalu yakin dia soulmate. Tapi kalau cuma soal deg-degan, kopi sachet pun bisa bikin jantungku berlari. Soulmate ternyata bukan soal sensasi sementara, tapi soal rasa pulang. Aneh, ya. Ada orang yang bikin aku tenang meski kami sering nggak sepaham. Nggak selalu manis, nggak selalu romantis. Kadang malah bikin kepalaku penuh. Tapi entah kenapa, tetap ada rasa aman yang susah dijelaskan. Lalu, ketakutan lain datang: “Bagaimana kalau karirnya nggak seimbang sama aku? Bagaimana kalau orang lain menganggap aku turun kelas karena pilih dia?” Aku sering lupa, ternyata aku lebih takut sama omongan orang ketimbang sepi di kamarku ...

kalau diceritain panjang, jadi aku mending lari.

Gambar
Hidup yang monoton menjalani rutinitas yang itu-itu saja seharusnya banyak-banyak aku syukuri. Itu berarti badai kehidupan tidak sedang bersamaku. Di tengah hiruk pikuk undangan pernikahan dan tentang semua asumsi orang terhadapku, terima kasih karena menurut kalian aku berbahagia. Aku tak setenang itu, sesekali aku ingin mencabik mulutnya saat ia mulai mengoceh menyalahkan semua orang seenaknya. Aku ingin menarik rambutnya sampai lepas dari kulit kepala ketika dagunya sudah mulai lebih tinggi dari lubang hidungnya. You will never understand the hell I feel inside my head. Aku diam bukan karena apa, aku diam karena sibuk menenangkan monster yang ada di dalamku. Di umur yang tak lagi muda ini aku memutuskan untuk berhenti membandingkan nasibku. Aku sudah lelah melihat pencapaian orang lain yang kadang di usia mudanya sudah mendapatkan apa yang belum aku punya, pasangan hidup, rumah, pekerjaan tetap, mobil, destinasi liburan menarik, konser band luar negeri, tas mahal, dan segala bentuk...

Merbabu Sky Run 2025: Jalur, Dada, dan Diri Sendiri

Gambar
Hidup memang kayak track trail: kadang mulus, kadang makadam; baru lega nemu turunan, eh lutut langsung protes. Begitu juga di Merbabu Sky Run 2025 ini. Jalurnya bikin dada ngos-ngosan, bikin kaki serasa ditarik paksa, tapi di tiap langkah ada jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang kubawa sendiri. Aku sempat mikir, harusnya Virgin Trail Run-ku adalah Kendal Trail Run 7K. Tapi semesta bikin plot twist — Merbabu Sky Run kategori 10K jadi debut trail run-ku. Nggak tanggung-tanggung, langsung disuguhi jalur yang dar-der-dor: tanjakan panjang, turunan licin, semak liar, jalan makadam, sampai pemandangan gunung yang kayak nyinyir, ngetawain tiap kali aku berhenti ambil napas. Tapi justru di jalur itu aku belajar lagi: bahwa semua orang lari dengan caranya sendiri, semua orang punya pace, semua orang punya pertarungannya masing-masing. Dan aku sampai juga ke garis finish. Dengan wajah basah keringat, kaki gemetar, tapi senyum tetap lebar. Di depan kamera, aku angkat jempol — bukan buat gaya,...

3428 Mdpl : jalur cantik tapi luka.

Gambar
Lama sudah tidak gandeng tracking pole, akhirnya long weekend terakhir di tahun ini jalan juga ke Tegal. Berbekal keyakinan penuh kami bertiga yang terpencar berangkat dari tempt kami masing-masing dengan tentunya drama yang penuh emosi. Dari aku yang hampir cancel di hari H karena ada latihan padus yang sebenarnya di haruskan untuk anak baru ini. Tapi dengan keberanian dan keyakinan penuh, nekat meninggalkan tugas negara demi Atap Jateng yang harapannya bisa di daki sampai puncak Soerono. Perjalanan ke Tegal memakan waktu 3 jam dari Semarang. Perut cukup lapar karena terakhir makan siang tadi dan menjelang sore sudah harus berkejaran dengan jam keberangkatan sampai beli air mineral saja tidak ada waktu. Berlarian masuk ke Stasiun Poncol untung saja sudah ada teknologi face regconize yang sangat mempercepat proses check in. Tak lama kereta berangkat, kaki langsung melangkah ke gerbong makan. Semangkuk cuangki dan sebotol air mineral langsung membanjiri lambung yang kosong. Tak lama, a...

2250 Mdpl : seharusnya semua berawal dari sini

Gambar
Rasanya jauh lebih enteng pas nggak bawa keril sama nggak ndengerin bacot kalian. Hari Sabtu yang tenang ini dimulai dari basecamp rumah Pak Darno. Dari sana, Gunung Ungaran berdiri gagah di belakang, seolah jadi tuan rumah yang siap menerima tamunya. Kami berangkat tektok, tanpa banyak persiapan ribet. Jalurnya sudah sering kudengar: cocok buat warga Semarang yang baru pertama kali naik gunung, semacam starter pack pendakian. Tapi kali ini aku datang bukan untuk coba-coba, melainkan buat sekadar melarikan diri dari riuhnya kota dan kepalaku sendiri. Via Perantunan, jalurnya lumayan ramai. Anak-anak kalcer bertebaran dengan outfit paling niat. Sepatu warna-warni, kacamata gelap, botol minum fancy, bahkan ada tripod kecil yang selalu siap dipasang tiap nemu spot kece. Ada yang ngos-ngosan tapi masih sempet update instastory, ada yang sibuk bergaya seolah perjalanan ini cuma pemotretan outdoor. Lucu sih, tapi yaudah. Aku cuma jalan, santai, kadang nyalip, kadang ngalah. Jalurnya cukup be...

aku baik-baik saja.

Banyak orang mengira aku baik-baik saja. Iya, mereka melihat aku baik-baik saja karena mereka melihatnya dari kata orang saja, dari sosial mediaku saja, atau dari potongan diriku yang sengaja kubagikan ke mereka. Tapi jauh lebih dari itu, aku pun baik-baik saja. Aku akan menjawab “baik” bila seseorang menanyakan kabarku. Bukan apa-apa, tapi aku memang baik-baik saja, dan aku tidak mau merepotkan banyak orang kalau aku menjawab “tidak baik-baik saja.” Karena jawaban itu hanya akan menimbulkan pertanyaan baru yang mungkin tidak ingin aku jawab. Baik-baik saja itu kadang bukan tentang benar-benar baik, tapi tentang bertahan. Tentang bagaimana aku menyembunyikan badai di kepala dengan senyum tipis di bibir. Tentang bagaimana aku mengalihkan rasa sakit dengan cerita ringan. Tentang bagaimana aku memilih diam ketika isi hati sebenarnya ingin berteriak. Ada kalanya aku iri pada orang-orang yang bisa bebas menceritakan masalahnya. Mereka yang punya telinga untuk mendengarkan dan bahu untuk ber...

keluh kesah donatur tak kasat mata

Kenapa semua maksud baikku selalu dianggap sebuah tuntutan yang berat untuk orang-orang? Aku mau membantu, tapi jangan bebankan semua ke pundakku. Aku mau menolong, tapi bukan berarti semuanya menjadi tanggung jawabku. Semua yang sudah aku lakukan sepenuh hati seolah tak pernah terlihat. Aku sadar posisiku, tapi apakah akan terus seperti ini? Aku tidak boleh sakit hati. Aku tidak boleh marah. Aku harus selalu menurut. Aku tidak boleh bicara. Aku hanya boleh mendengar. Sampai kapan? Kadang aku merasa seolah hanya dijadikan wadah: menampung keluh kesah, menampung tuntutan, menampung segala hal yang tidak diinginkan orang lain. Tapi ketika aku sendiri penuh, siapa yang mau menampungku? Semua kebingungan yang kutemui hanya berubah jadi emosi. Semua solusi yang kucari hanya sebatas omong kosong. Dan pada akhirnya, aku kembali lagi ke diam. Diam yang katanya emas, tapi sebenarnya lebih sering terasa seperti beban di dada.