kalau diceritain panjang, jadi aku mending lari.
Hidup yang monoton menjalani rutinitas yang itu-itu saja seharusnya banyak-banyak aku syukuri. Itu berarti badai kehidupan tidak sedang bersamaku. Di tengah hiruk pikuk undangan pernikahan dan tentang semua asumsi orang terhadapku, terima kasih karena menurut kalian aku berbahagia.
Aku tak setenang itu, sesekali aku ingin mencabik mulutnya saat ia mulai mengoceh menyalahkan semua orang seenaknya. Aku ingin menarik rambutnya sampai lepas dari kulit kepala ketika dagunya sudah mulai lebih tinggi dari lubang hidungnya. You will never understand the hell I feel inside my head. Aku diam bukan karena apa, aku diam karena sibuk menenangkan monster yang ada di dalamku.
Di umur yang tak lagi muda ini aku memutuskan untuk berhenti membandingkan nasibku. Aku sudah lelah melihat pencapaian orang lain yang kadang di usia mudanya sudah mendapatkan apa yang belum aku punya, pasangan hidup, rumah, pekerjaan tetap, mobil, destinasi liburan menarik, konser band luar negeri, tas mahal, dan segala bentuk berhala masa kini lainnya.Dulu aku merasa hidupku tertinggal jauh. Kini aku memilih jalan berbeda: berhenti berlari mengejar standar orang lain, dan mulai belajar berlari dengan ritmeku sendiri. Mungkin aku belum punya semua itu, tapi aku punya ruang untuk bernapas, waktu untuk diriku sendiri, dan keberanian untuk tetap melangkah meski pelan.
Monster di kepalaku tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya bisa diajak kompromi. Ada hari-hari ketika ia diam, ada juga saat ia meraung tak terkendali. Tapi aku menemukan cara sederhana untuk menenangkannya: melangkah keluar rumah, menapaki jalan, dan membiarkan tiap detak jantung mengalahkan riuh pikiran.
Kalau diceritakan panjang, mungkin kalian tidak akan peduli. Jadi aku lari saja. Biar sakit kepala berubah jadi sakit kaki. Biar monster di kepala diam, meski cuma sebentar.

