Merbabu Sky Run 2025: Jalur, Dada, dan Diri Sendiri

Hidup memang kayak track trail: kadang mulus, kadang makadam; baru lega nemu turunan, eh lutut langsung protes. Begitu juga di Merbabu Sky Run 2025 ini. Jalurnya bikin dada ngos-ngosan, bikin kaki serasa ditarik paksa, tapi di tiap langkah ada jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang kubawa sendiri.












Aku sempat mikir, harusnya Virgin Trail Run-ku adalah Kendal Trail Run 7K. Tapi semesta bikin plot twist — Merbabu Sky Run kategori 10K jadi debut trail run-ku. Nggak tanggung-tanggung, langsung disuguhi jalur yang dar-der-dor: tanjakan panjang, turunan licin, semak liar, jalan makadam, sampai pemandangan gunung yang kayak nyinyir, ngetawain tiap kali aku berhenti ambil napas.

Tapi justru di jalur itu aku belajar lagi: bahwa semua orang lari dengan caranya sendiri, semua orang punya pace, semua orang punya pertarungannya masing-masing.

Dan aku sampai juga ke garis finish. Dengan wajah basah keringat, kaki gemetar, tapi senyum tetap lebar. Di depan kamera, aku angkat jempol — bukan buat gaya, tapi simbol bahwa aku bisa, meski jalur keras banget.

Finish kali ini bukan cuma soal catatan waktu di jam tangan. Tapi tentang bagaimana aku berdiri lagi setelah setiap turunan bikin lutut protes, tentang bagaimana aku berani bilang ke diri sendiri: “Kamu bisa, kamu kuat.”

Beauty and strong — bukan karena aku terlihat cantik di garis finish, tapi karena aku menyelesaikan lari ini dengan utuh: dengan rasa sakit, dengan keringat, dengan tawa, dan dengan hati yang penuh.

Merbabu Sky Run 2025 jadi lebih dari sekadar race. Ia jadi cermin, pengingat, bahwa hidup — seperti jalur ini — selalu penuh plot twist. Ngeselin tapi ngangenin.

Postingan populer dari blog ini

apa aku boleh bahagia?

semua karena bacotmu yang jahat.

orang hanya percaya dengan apa yang mereka lihat