2250 Mdpl : seharusnya semua berawal dari sini

Rasanya jauh lebih enteng pas nggak bawa keril sama nggak ndengerin bacot kalian. Hari Sabtu yang tenang ini dimulai dari basecamp rumah Pak Darno. Dari sana, Gunung Ungaran berdiri gagah di belakang, seolah jadi tuan rumah yang siap menerima tamunya.

Kami berangkat tektok, tanpa banyak persiapan ribet. Jalurnya sudah sering kudengar: cocok buat warga Semarang yang baru pertama kali naik gunung, semacam starter pack pendakian. Tapi kali ini aku datang bukan untuk coba-coba, melainkan buat sekadar melarikan diri dari riuhnya kota dan kepalaku sendiri.

Via Perantunan, jalurnya lumayan ramai. Anak-anak kalcer bertebaran dengan outfit paling niat. Sepatu warna-warni, kacamata gelap, botol minum fancy, bahkan ada tripod kecil yang selalu siap dipasang tiap nemu spot kece. Ada yang ngos-ngosan tapi masih sempet update instastory, ada yang sibuk bergaya seolah perjalanan ini cuma pemotretan outdoor. Lucu sih, tapi yaudah. Aku cuma jalan, santai, kadang nyalip, kadang ngalah.

Jalurnya cukup bersahabat. Vegetasi rapat, angin sesekali mampir bikin adem, meski tanjakannya tetap bikin betis kerja keras. Di tengah ramainya jalur, aku merasa entah kenapa justru lebih bebas. Bebas karena langkahku sendiri yang nentuin kapan harus berhenti, kapan harus lanjut. Nggak ada keril di punggung, jadi tubuh lebih ringan. Dan mungkin, hati juga ikut terasa lebih ringan.

Sampai di pos-pos, aku lihat banyak yang berhenti lama hanya untuk berfoto. Aku sih cuma numpang tarik napas sebentar lalu lanjut lagi. Jalannya nggak terlalu ekstrem, tapi cukup buat bikin keringat mengucur deras. Dari beberapa spot, pemandangan hamparan kota dan sawah terbentang. Langitnya cerah, biru sempurna.













Menuju puncak, jalur makin terbuka. Angin lebih kencang, rumput ilalang tinggi bergoyang seirama. Di titik itu, aku diam sebentar, memandang jauh. Kadang, naik gunung bukan soal mencapai puncak, tapi tentang jeda. Tentang bagaimana diam sejenak bisa bikin hati nggak sesak.

Akhirnya sampai puncak Ungaran. Ramai, seperti yang kuduga. Anak-anak kalcer sibuk cari angle terbaik, beberapa buka bekal, ada juga yang teriak-teriak biar eksis di video. Aku cuma duduk di sudut, meneguk sisa air minum, dan membiarkan angin puncak menerpa wajah. Dari sana, gunung lain di kejauhan terlihat gagah, seolah saling menyapa.

Turun jalur terasa lebih santai. Betisku sudah mulai protes, tapi entah kenapa nggak terasa seberat biasanya. Jalur menurun dipenuhi tawa-tawa asing, dan aku ikut terseret di dalamnya meski dalam diam.

Sampai kembali ke basecamp, rasa lega bercampur lelah. Tektok selesai. Nggak ada pencapaian besar, nggak ada drama luar biasa. Tapi perjalanan singkat ini berhasil bikin tubuhku ringan dan pikiranku lebih lapang. Ungaran memang gunung starter bagi banyak orang, tapi buatku hari ini, dia adalah tempat singgah. Tempat yang diam-diam memberi ruang untuk bernapas lebih dalam.

Postingan populer dari blog ini

apa aku boleh bahagia?

semua karena bacotmu yang jahat.

orang hanya percaya dengan apa yang mereka lihat