low pace, long story

Awalnya aku lari bukan karena suka. Bukan juga karena ingin jadi pelari. Aku lari semata-mata untuk persiapan naik gunung. Biar kaki nggak kaget pas diajak nanjak, biar napas nggak engap waktu summit. Latihan pun simpel: seminggu dua kali, cukup sebulan sebelum hari H pendakian. Habis itu? Ya sudah, sepatu lari masuk lagi ke pojokan rak.

Tapi ternyata kebiasaan kecil itu menempel. Lari yang tadinya cuma “bekal nanjak” perlahan jadi sesuatu yang kucari. Entah kenapa, meski nggak ada agenda mendaki, aku tetap pengin keluar, ikat sepatu, dan gas lari. Kadang di jalan sekitar rumah, kadang di jalan kota, kadang cuma keliling GOR.

Pace? Masih keong. Long run? Masih belum bisa. Suka banget sama lari? Jujur aja, masih belum. Tapi yang jelas, lari sudah jadi bagian dari rutinitas. Walaupun latihan nggak selalu konsisten, setidaknya dalam seminggu aku bisa dapat 10K.

Dan dari situ aku sadar, lari itu bukan soal siapa yang paling cepat atau siapa yang bisa jauh. Lari itu soal keberanian untuk tetap melangkah, meski rasanya berat, meski motivasi naik-turun, meski sering kali lebih banyak alasan untuk berhenti.

Kalau dulu lari hanyalah cara biar kuat nanjak, sekarang lari jadi cara untuk tetap bergerak, tetap waras, dan tetap merasa hidup.

Postingan populer dari blog ini

apa aku boleh bahagia?

semua karena bacotmu yang jahat.

orang hanya percaya dengan apa yang mereka lihat