aku, kau, dan laut
Laut kembali gaduh. Riak-riak ombak menari abstrak menerjang karang. Ia memporak-porandakan perkampungan yang tak jauh darinya. Hatinya panas melihat Angkasa. Ia sedang cemburu kepada Angkasa karena ia selalu diramaikan oleh Bintang.
"Kenapa lagi? Kamu masih marah padaku?" tanya Angkasa.
Laut hanya diam. Buih-buih putih membuncah. Ia menarik air ke tengah dan menyemburkannya kembali ke daratan dengan cepat. Ia tak memberi ampun. Bintang yang mengetahui kemarahan Laut hanya mengedip kepada kedua kawannya, Bulan dan Matahari.
"Laut," panggil Bintang pelan.
Laut tak menggubris. Ia masih dipenuhi emosi. Ia kembali mengirim air ke daratan, kali ini dengan kuantitas yang lebih besar dan dengan ombak setinggi lebih dari pohon kelapa. Ia marah, semarah-marahnya. Ia melampiaskan segala emosinya.
Awan yang melihat, menangis. Matahari meredupkan cahayanya. Bulan bersembunyi di balik kelam.
Laut merasa sendirian. Ia pikir semua lebih memilih Angkasa—Bintang yang setia menghiasinya, Awan yang menari di tubuhnya, juga Bulan dan Matahari yang seolah tak pernah benar-benar berpihak padanya. Kesepian itu menggerus.
Yang tak ia tahu, Angkasa pun menyimpan rahasia besar di bawah lengkung indah Pelangi: rahasia tentang sepi yang sama, sepi di tengah keramaian. Karena meski Bulan dan Matahari memang tak bergantung pada Laut, mereka ada untuknya. Sama seperti Laut selalu ada untuk Angkasa, tanpa pernah benar-benar mereka sadari.
Mungkin, semua hanya soal siapa yang lebih dulu berani mengaku kesepian.
