diam bukan berarti tanpa luka.

Tidak ada yang benar-benar biasa saja. Setiap keluarga menderita dengan porsinya masing-masing, hanya cara menutupinya yang berbeda. Ada yang menutup rapat dengan doa, ada yang menertawakannya sampai lelah, ada juga yang memilih diam dan menganggap semua baik-baik saja. Tapi luka tetap ada, meski dibungkus dengan rapi.

Mungkin itulah mengapa orang kadang merasa berhak tahu. Mereka mengira ikut campur bisa memperbaiki keadaan, padahal sering kali justru menambah runyam. Ada batas tipis antara peduli dan mencampuri, antara perhatian dan mengorek-ngorek. Orang sering lupa bahwa ada hal-hal yang memang tidak perlu diketahui. Tidak semua cerita harus dibongkar, tidak semua luka harus dipertontonkan. Tapi kalau sesuatu itu melibatkan kita, tidak adil rasanya jika justru kita yang tidak diberi tahu.

Dan di tengah semua itu, ada orang-orang yang memilih diam. Yang tak banyak cerita biasanya punya kepekaan lebih. Mereka terbiasa membaca tanda, menangkap sinyal yang tidak terucap. Mereka tahu bagaimana rasanya disalahpahami, jadi belajar untuk lebih hati-hati memahami orang lain. Tapi kepekaan itu seringkali jadi beban—karena terlalu peka berarti juga mudah terluka.

Barangkali inilah sisi manusia yang jarang kita sadari: kita semua sedang menanggung sesuatu yang tidak selalu tampak di permukaan. Ada yang keras kepala, ada yang rapuh, ada yang sok kuat, ada yang diam-diam menangis. Dan mungkin itu yang membuat manusia mirip-mirip: tidak ada yang sungguh baik-baik saja, tapi kita tetap berjalan seakan tidak terjadi apa-apa. 

Postingan populer dari blog ini

apa aku boleh bahagia?

semua karena bacotmu yang jahat.

orang hanya percaya dengan apa yang mereka lihat