berjalan bersama orang asing.
Siang hari, silih berganti menunggu antrian pemeriksaan berlembar-lembar plano. Makan siang terasa tak berlaku. Puncak di depan mata, tinggal revisi yang menanti. Tugas hampir berakhir, semoga besok datang yang lebih baik.
Kabut jatuh, diiringi suara saling sahut dengan suara dari ponsel masing-masing. Lewat rerimbunan pohon cemara yang menjulang, sebuah warung kecil menjadi penyelamat perbauan duniawi. Sesak di dada datang lagi. Entah karena rindu yang belum terbalas atau virus yang menginfeksi.
Malam yang hangat bersama orang asing yang dingin. Riuh tepuk tangan untuk pemenang, pujian untuk yang lewat orang dalam, dan guyonan internal yang disambut oleh mayoritas. Campur sari mempererat persaudaraan. Foto bersama, pondasi kenangan. Prokes dilonggarkan, kerumunan diperketat. Tak ada yang tahu pasti apakah ini semua sudah kembali seperti dulu.
Pagi datang dan hari akan segera berakhir. Deras air hangat melegakan bahu. Singgasana telah diduduki. Perut siap diisi kembali. Sayup keroncong memanjakan telinga. Selimut tebal membekap raga.
Piring-piring menjulang. Berbagai menu sarapan disuguhkan. Deretan hijau pinus menyayangkan kepergian. Derai dedaunannya menolak ku meninggalkannya.
Waktu kosong kembali menyatukan orang-orang asing ke dalam liang. Buaian lagu pop kuno menjadi pilihan yang menyatukan suara parau kami. Diiringi suara om Is yang syahdu, kami pun tenggelam dalam nada.
Es kampul di Karanganyar tapi rasa Sulawessi. Berburu batik untuk buah tangan dari sini. Kaos smiley yang menghibur serta pertigaan arah Bekonang yang menguar memori.
Hujan yang baik tahu waktu yang tepat untuk jatuh. Kata pamit yang terakhir ini jadi awal yang baru untuk perjalanan selanjutnya. Walau belum tahu akan kemana namun aku percaya kakiku akan sanggup melanjutkannya. Hal yang paling disenangi ketika bepergian adalah pulang.
Tawangmangu, September 2021.