kembali menuju 3371 mdpl
"Libur tiga hari enaknya kemana ya?" tanyaku iseng. Kebetulan hari itu tepat seminggu sebelum libur panjang akhir pekan karena perayaan Idul Adha. Waktu itu aku sedang mampir ke rumah karena ada teman sekampus yang mengadakan pernikahan.
"Bawa keril ya, kalo jadi kita summit."
"Aku ga ada latihan sama sekali."
"Gapapa, sebisanya aja."
"Kita S2 kalo ga bisa ya, S1 dulu. Remidi."
"Ok."
Lewat percakapan singkat sore itu, kami bertiga berangkat ke Wonosobo. Memang ini bukan perjalanan pertama kami untuk naik gunung, tapi tetap saja tanpa latihan fisik sama sekali aku merasa ada yang kurang. Berbekal niat, ketua kami langsung booking tiket bus dari Bekasi ke terminal Wonosobo. Kami memutuskan untuk naik dari Cibitung agar tidak terjadi seperti kejadian yang lalu ketika kami terjebak macet di daerah Kemayoran.
Masalah dimulai ketika kami tiba di rest area Subang. Hal yang aku takutkan terjadi. Aku haid. Aku langsung lemas. Namun mbak Emma masih santai. Ia masih tidak ambil pusing, lagipula tak masalah juga kalau naik gunung sedang haid yang penting tidak membuang sampahnya sembarangan. Kami melanjutkan perjalanan kami.
Masih sama dengan perjalanan kami ke Sumbing sebelumnya, kami turun di terminal Mendolo. Sampai disana kami bersih-bersih badan dan mencari angkutan untuk ke Basecamp Garung. Kami tiba sore hari waktu itu. Rencananya kami akan bermalam di Basecamp dan naik besok paginya tepat di hari Idul Adha. Namun hari itu basecamp penuh. Pendaki lain mengejar bisa sholat ied di lapangan sebelah basecamp yang memang cantik jika cuaca bagus.
Kami menginap di warung seberang basecamp dan kamipun merubah rencana. Kami memutuskan untuk naik jam 2 atau 3 pagi agar bisa sekalian turun hari itu juga atau biasa disebut tektok. Mengingat kondisiku yang sedang haid hari pertama, aku mengiyakan. Tapi aku juga tidak menjanjikan akan sampai puncak. Semua akan disesuaikan dengan kondisi badanku nanti.
Sebelum tidur, kami sudah menyiapkan semua logistik yang akan kami bawa. Karena tektok tentu beban kami tidak seberat pendakian kami sebelumnya. Ditambah lagi kami juga sudah memesan nasi bungkus di tempat kami menginap. Jadi cukuplah tenaga kami karena pondasinya saja sudah nasi. Malamnya kami menyempatkan diri untuk makan indomie rebus yang memang cocok di udara seperti ini. Usai bertukar cerita dengan beberapa orang asing, kami memutuskan untuk beristirahat.
Pukul 2 ruangan sudah mulai ramai. Dinginnya udara luar masuk melalui celah pintu. Kami mulai terbangun. Tapi sepertinya masih terlalu dini hari mungkin kita bisa mulai beberapa jam lagi sembari menunggu tukang ojek. Ternyata perkiraan kita salah, kita mulai beranjak dari sana sekitar pukul 3 lebih dan penjual nasi bungkus terheran karena biasanya pendaki tektok sudah mulai berangkat sebelum jam 3 pagi.
Sebelumnya kami memang sudah pernah kesini walau dengan tim yang sama selalu ada cerita yang berbeda di setiap perjalanan. Naik ojek dari basecamp ke pintu rimba terasa seperti naik wahana ekstrim. Apalagi aku tidak bisa melihat apa-apa karena memang langit masih gelap, belum lagi headlamp punya mas-mas ojeknya sudah mati enggan hidup pun tak mau. Ia hanya mengandalkan feeling dan daya ingat untuk melewati setiap jalan terjal. Turun di pintu rimba terasa jantung masih tertinggal di ladang warlok.
Kami mulai menyalakan headlamp. Langkah kami ringan mengingat beban di pundak tak seberapa. Sepanjang jalan yang gelap kami tidak menghentikan langkah. Tak terasa langit mulai terang dan sayup adzan subuh berkumandang kami sudah tiba di pos 3. Perut kami masih aman mengingat pondasi mi rebus dan telur semalam namun tenggorokan kami jadi kering dan sering haus. Perjalanan kali ini benar-benar aman dan time management kami kali ini sangat baik. Terus berjalan walau pelan tapi pasti kami sampai di puncak sejati sebelum tengah hari.
Tali temali harus kami lalui. Salah sedikit bisa saja masuk ke postingan Mountnesia. Kaki-kaki tua kami tak bisa di bohongi, siang itu kami langsung memutuskan untuk tidak ke puncak Rajawali daripada terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Bisa dibilang salah satu dari kami tidak terlalu suka dengan ketinggian. Tapi kenapa ke gunung? Lain cerita kalau ini, kedua puncak Sumbing ini tidak bisa dilalui dengan berjalan tapi kami harus memanjat bebatuan dengan tali temali apalagi tanpa pengaman apapun.
Kami sempat menikmati bekal kami di puncak, bertemu dengan beberapa pendaki lain kami juga sempat membantu mengambil gambar mereka. Kami turun tengah hari ketika matahari sudah di pucuk kepala. Lewat camp area kami langsung berjalan tanpa melipir ke warung. Di Pengkolan 9 kami baru beristirahat sebentar, disana kami mampir membeli potongan semangka dan es nutrisari. Rombongan kami juga bertambah satu orang dedek-dedek yang berasal dari luar pulau Jawa. Katanya ia habis putus dengan pacarnya jadi langsung berangkat trail run ke beberapa tempat.
Tak lama kami langsung berjalan lagi. Harapannya kami bisa sampai di basecamp sebelum gelap. Langkah kaki kami benar-benar ringan. Jauh berbeda dengan perjalanan kami ke sini sebelumnya. Kami sampai ke pintu rimba sekitar jam tiga sore dan langsung ke basecamp dengan naik ojek. Beristirahat sejenak di sana, kami langsung bersih-bersih dan beres-beres. Sore itu juga kami langsung kembali ke