badai menyambut di perjalanan menuju 3371 mdpl


Sebenarnya wacana ini sudah lama tapi baru terlaksana bulan Maret 2024 ini. Rencana awal kita akan naik ke Sumbing via Garung lalu nge-camp semalam disana, sehabis itu kita akan menginap di homestay sekitar dan besok harinya lanjut tektok ke Sindoro via Kledung. Kedua gunung itu jadi pilihan mengingat aku pernah gagal summit ke Sindoro via Kledung dan karena dekat serta tanggal merah yang mendukung kenapa tidak sekalian dua gunung.

Kami langsung booking Damri untuk ke Wonosobo lewat aplikasi usai keputusan bulat kami untuk berangkat bersama dari Jakarta. Aku tak mau berangkat sendiri karena aku belom tahu bagaimana kondisi Wonosobo yang sekarang. Maklumlah, aku jarang naik bis dan terakhir kali aku ke Wonosobo sekitar 2016 lalu.

Jumat malam tanggal 8 Maret kami berangkat setelah hampir di tinggal oleh bis. Bagaimana tidak, kami terlambat hampir 10 menit karena terjebak macet di dekat perlintasan kereta api Stasiun Kemayoran. Kamipun harus berlarian masuk ke pull Damri untuk mengejar bis. Semua mata langsung tertuju pada kami, tiga orang yang baru pulang kerja tidak langsung pulang malah berangkat ke gunung.

Subuh esok harinya, kami tiba di Terminal Mendolo Wonosobo. Kami langsung bersih-bersih badan di sana. Seingatku dulu, tak ada masjid, toilet, dan ruang tunggu yang sebersih sekarang. Dulu aku harus menumpang di warung sekeliling terminal untuk mandi dan itu pun aku harus minta tolong temanku untuk menjaga pintu yang tidak bisa menutup dengan sempurna. Kini toilet gratis, bersih, dan tak perlu was-was untuk kesana sendiri.

Setelah itu ngemil beberapa gorengan dan arem-arem, kami keluar terminal untuk mencari bus yang bisa kami tumpangi ke basecamp Garung. Belum sampai luar, sudah banyak bapak-bapak yang menawari kami. Kami naik bus yang kebetulan tujuannya searah. Mereka ke Kledung, Sindoro. Aku juga baru tahu kalau basecamp Kledung dengan Garung ini lumayan dekat, paling tidak sampai 2 km dan searah.



Kami turun di depan gang menuju Basecamp. Dari sana bisa naik ojek atau jika tak terburu-buru bisa jalan kaki saja karena jaraknya tak terlalu jauh paling hanya 500 m. Lagipula bisa sekalian untuk pemanasan dan pemandangannya di kiri dan kanan ada rumah warga dan kebun tembakau milik warga lokal.

Kami langsung mengurus perijinan sampai di basecamp, kami juga memilah kembali mana barang-barang yang tidak perlu kami bawa. Sebenarnya yang membuat aku tertarik dengan Garung ini karena kami akan naik ojek di depan. Tidak seperti biasanya penumpang duduk di belakang dan menggendong keril kami masing-masing. Hari ini akhirnya aku merasakannya, aku malah seperti bocah TK yang mau di antar bapaknya ke sekolah. Katanya untuk mencegah motor terbalik karena kemiringan yang ekstrem. Benar saja, setalah jalan aspal yang halus, kami harus melewati jalanan cukup terjal karena rata-rata masih macadam (batu-batu yang disusun) dengan kebun warga lokal di kanan-kirinya.



Sampai di pintu rimba, suasana mulai hening. Paling kami berpapasan hanya dengan satu atau dua rombongan pendaki yang mau naik. Hari itu langit tak terlalu bersahabat, tanah lumayan becek karena katanya semalam hujan. Hutan Cemara menyambut kami walau tidak terlalu panjang. Kami berjalan tak terlalu cepat juga. Hari itu aku juga tak terlalu ngos-ngosan karena sebelumnya aku sudah menyiapkan fisik dengan cukup.

Vegetasi hutan tidak terlalu rapat. Jalan setapaknya juga tak terlalu sempit, masih cukup enak untuk di lalui. Meski tidak banyak bonus, kemiringan jalan tidak terlalu menguras tenaga. Dari Pos 1 ke Pos 2 ini, juga ada aliran sungai yang cukup lumayan. Apalagi kami datang di saat penghujan seperti ini. Belum sampai Pos 2 kami ternyata sudah kelaparan. Melipir diantara pohon Cemara, kami membuka nasi bungkus yang sudah kami siapkan dari basecamp.



Setelah istirahat cukup lama kami melanjutkan perjalanan. Melalui Pos 2, hujan pun turun. Kami berhenti berhenti dan memakainya jas hujan. Kami lanjut berjalan karena sesuai rencana kami akan beristirahat di Pengkolan 9 yang memang tak jauh dari Pos 2. Selain itu, disana juga ada warung. Siapa tahu kami bisa membeli semangka untuk menyegarkan tenggorokan. Lewat Pengkolan 9 warung disana ternyata tutup, kami pun tak mampir untuk beristirahat hanya foto-foto sebentar.



Kami kembali berjalan menuju Pos 3 yang juga tujuan kami untuk mendirikan tenda. Hujan semakin deras. Niatnya kami mau memasang flysheet dulu untuk berteduh kemudian baru memasang tenda tapi angin terlalu kencang. Akhirnya kami berteduh dulu sambil menunggu angin reda. Tak lama angin mulai bersahabat. Kami bergegas membangun tenda dengan sisa tenaga yang ada. Belum selesai kami membangunnya, hujan kembali deras. Aku dan kakakku segera masuk ke dalamnya. Paling tidak, tenda kami tak mungkin terbang di terjang angin.

Beberapa barang kami masih ada di luar. Kami mengambilnya walau harus dengan basah kuyub. Sekalian kami membenahi tenda kami yang belum rampung 100%, belum selesai masalah tenda kami bocor dari bawah. Rupanya kami salah memilih tempat karena rupanya itu adalah jalur air dan kami tidak sempat menggali untuk membuat parit di sekitaran tempat kami mendirikan tenda.

Kami pun meringkuk kedinginan di dalam tenda.Kepala kami memang tak kehujanan tapi air masuk dari bawah dan kami terpaksa duduk di genangan air. Gelap menyambut kami yang masih menggigil. Hujan belum juga reda, kami memilih untuk ke warung yang ada di sekitaran camp area. Sesuai tebakan kami, warung tersebut juga ramai dengan pendaki lain. Beberapa dari mereka porter, guide dari open trip.

Pemilik warung yang melihat kami menggigil dan basah kuyub langsung menyuruh kami menghangatkan badan di depan perapian. Ia juga membuatkan teh hangat untuk kami. Baju yang masih basah tetap membuat kami kedinginan, pemilik warung menyuruh kami segera ganti. Barang kami masih di dalam tenda, Mas Aji berlari untuk mengambilnya.

Ia kembali menerobos kegelapan dan hujan untuk mengambil baju ganti kami. Mau bagaimana lagi, ia ketua di trip ini. Setelah ganti baju, kami kembali duduk di depan perapian. Badan kami sudah lumayan hangat ketimbang tadi, perutku juga sudah bisa merasakan kelaparan. Guide dari open trip menyuguhi kami makan malam. Kami pikir ya kami bisa membayarnya nanti, anggap saja kami membeli makanan dari mereka. Rupanya mereka masak terlalu banyak, daripada mubazir mereka membaginya kepada kami yang memang sedang kelaparan ini. Kami pun menikmatinya dengan gembira.

Hujan masih terus turun. Angin juga beberapa kali cukup kencang sampai dinding warung yang berbahan mmt bekas ini terasa mau terbang. Pemilik warung sepertinya kasihan melihat kami jika harus kembali ke tenda. Ia memperbolehkan kami tidur di depan perapian. Walau beberapa mas-mas melirik kami dengan wajah yang tak enak. Mungkin ia iri, pikirku.

Kami pun senang bisa bermalam disana, paling tidak kami tak perlu kembali kehujanan berjalan ke tenda. Dini hari kami memeriksa cuaca sepertinya memang Sumbing belum mengijinkan kami untuk sampai ke puncaknya. Di luar masih hujan, guide dari open trip juga tak berani summit ke puncak dan memilih untuk meneruskan lelapnya. Subuh, kami keluar dari warung dan mengecek tenda kami yang semalam tidak jadi kami tiduri.

Tenda kami masih aman. Tanpa banyak acara, kami langsung membereskannya. Hujan tak sederas semalam, cuaca lumayan bagus untuk kami segera turun. Percuma kalau kami nekad ke puncak, lebih baik kami segera turun dan pulang. Lagipula puncak juga tak kemana-mana.



Sebelum peserta open trip mengantri untuk turun, kami memulai langkah kami untuk turun gunung. Kembali dengan logistik kami yang masih utuh ternyata cukup berat juga. Kami memutuskan untuk berhenti di warung sebelum Pos 2 untuk memasak agar beban tas kami ringan. Kebetulan disana juga ada pendaki lain yang sedang memasak, kami pun menawari untuk join saja. Pendaki tersebut mau dan kami memasak bersama. Logistik kami yang masih utuh kami keluarkan semua. Mereka senasib dengan kami, kelaparan.

Jumlah makanan yang kami masak lumayan banyak. Belum lagi roti-rotian yang benar-benar basah, buah-buahan, cemilan lain yang sudah kami persiapkan. Kami memutuskan membuat nasi, mi sop, dan mengeluarkan lauk instan paru goreng dan kering tempe. Entah mengapa apapun makanannya jadi terasa enak ketika menyantapnya di gunung.



Setelah menghabiskan semuanya, kami membereskan bersama. Beban tas kami juga sudah banyak berkurang. Langkah kami jadi semakin cepat. Kami bergegas turun. Tepat adzan maghrib berkumandang, kami sampai di pintu rimba. Beberapa ojek sudah menunggu kami. Untung saja kami tiba pas sebelum maghrib karena katanya setelah maghrib harganya berubah. Kalau dari Basecamp ke pintu rimba kami duduk di depan, dari Pintu Rimba ke Basecamp kami duduk di belakang seperti pada umumnya.

Sampai di basecamp kami segera membersihkan diri, mandi, dan merapikan semua peralatan kami. Sebenarnya kami belum ada rencana mau pulang malam itu juga atau besok pagi namun karena badan kami capek sepertinya enak kalau kami mampir pulang saja. Kami pun segera mencari tumpangan ke terminal Mendolo. Tak lama kami mencari bis atau apapun yang bisa mengantar kami pulang ke Semarang. Yap, malam itu juga kami naik travel swasta sampai ke Semarang.

Ternyata perjalanan kami kali ini belum sampai ke puncak. Kami masih harus kembali ke Wonosobo untuk melunasi S1 kami. Semoga perjalanan selanjutnya kami tidak bertemu badai lagi karena jujur aku takut. Rasanya badan dingin, lapar, takut, dan campur aduk.

Fyi, beberapa hari setelah kami dari gunung banyak berita di reels kalau memang cuaca Wonosobo sedang tidak bersahabat. Bahkan di hari yang sama ketika kami kedinginan di camp area Sumbing, ratusan pendaki di Sindoro terpaksa di evakuasi oleh tim SAR karena badai dan cuaca buruk hari itu. Namanya juga orang Jawa, untung kami memilih Sumbing di perjalanan yang belum tuntas ini. Semoga ada kesempatan untuk kami remidi di kemudian hari.

Postingan populer dari blog ini

orang hanya percaya dengan apa yang mereka lihat

apa aku boleh bahagia?

semua karena bacotmu yang jahat.